BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Ilmu Hukum mencakup
dan membicarakan segala hal yang berhubungan dengan hukum. Hukum adalah
himpunan petunjuk hidup berupa perintah atau larangan yang dibuat oleh penguasa
dan wajib ditaati untuk mengatur tata tertib dalam masyarakat.
Kita tahu bahwa
fungsi hukum dan tujuan hukum itu banyak. Banyak pendapat pula yang memaparkan tentang itu.
Begitupun juga tentang Asas hukum dan sosiologi. Pada kesempatan kali ini kami
akan menjelaskan dan memaparkan terkait tentang itu yaitu “Fungsi dan Tujuan
Hukum” serta “Asas hukum dan Sosiologi”.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa itu perundang-undangan ?
2. Apa itu administrasi peradilan ?
3. Apa itu kepolisian?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui ihwal perundang-undangan.
2.
Untuk mengetahui ihwal administrasi peradilan.
3.
Untuk mengetahui ihwal kepolian.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Ihwal Perundang-undangan
1.
Hakikat perudang-undangan
Pembuatan
hukum yang di lakukan secara sengaja oleh badan yang berwenang untuk itu
merupakan sumber yang bersifat hukum yang paling utama. Kegiatan dari badan
tersebut disebut sebagai kegiatan perundang-undangan yang menghasilkan subtansi
yang tidah meragukan lagi kesalahanya, yang ipso
jure. Tindakan yang dapat di golongkan ke dlam kategori perundang-undangan
ini cukup bermacam-macam. Baik yang berupa penambahan terhadap
peraturan-peraturan yang sudah ada, maupun yang mengubahnya. Hukum yang
dihasilkan oleh proses seperti itudisebut sebagai hukum yang diundangkan (enacted law, statute law) berhadapan dengan
hukum yang diundangkan (unenacted law,
common law). Orang romawi menyebutnya (cus
sriptum dan non sciptum).
Suatu
perundang-undangan menghasilkan peraturan yang memiliki ciri-ciri sebagai
berikut:
1.
Persifat umum dan komperhensif, yang demikian
merupakan keblikan dari sifat-sifat yang kusus dan terbatas.
2.
Bersifat
universal. Ia diciptakan untuk menghadapi pristiwa yang akan datang yang belum
jelas bentuk konkritnya. Oleh karena itu ia tidak di rumuskan untuk mengatasi
pristiwa-peristiwa tertentu saja.[1]
3.
Ia memiliki kekuatan untuk mengoreksi dan
memperbaikidiriya 1sendiri. Adalah lazim bagi suatu peraturan untuk
mencantumkan klausul yang membuat kemungkinan di lakukan peninjauan kembali.
Dibandingkan aturan kebiasaan, maka perundang-undangan
memperlihatkan karakteristik, suatu norma bagi kehidupan social yang lebih
matang, khususnya dalam hal kejelasan dan kepastianya. Hal ini tidak terlepas
dari kaitanya dengan pertumbuhan negara itu sendiri. Aturan kebiasaan bisa di
katakana mengurusi hubungan orang dengan orang, sedangkan perundang-undangan
antara orang dengan negara. Bentuk
perundang-undangan itu tidak akan muncul sebelum pengertian negara seagai
pengemban kekuasaan yang bersifat sentral dan tinggi.(Allen, 1958:410
Beberapa kelebihan perudang-undangan
dibandingkan dengan norma-norma lain adalah.(algra & duyyendijk, 1981:29):
1.
Tingkat
predikbilitasnya yang besar. Hal ini berhubungan dengan sifat prospektif dari
perundang-undangan,yaitu yang penganturanya di tunjukan ke masa depan. Oleh
karena itu pula ia harus memenuhi syrat agar orang-orang mengetahui apa atau
tingkah laku apa yang diharapkan dari mereka pada waktu yang akan datang dan
bukan yang sudah lewat. Dengan demikian
peraturan perundang-undangan senaniasa di tuntut untuk memberi tahu
secara pasti terlebih dahulu hal-hal yang diharapkan untuk dilakukan oleh
anggota masyarakat. Asas-asas hukum, seperti “asas tidak berlaku surut”
memberikan jaminan. Bahwa kelebihan yang demikian itu dapat dilaksanakan secara
seksama.
2.
Kecuali
kepastian yang lebih mengarah kepada bentuk formal di atas, perundang-undangan
juga memberikan kepatian tentang nilai yang dipertaruhkan.[2] Sekali suatu peraturan dibuat, maka menjadi pasti
pulalah nilai yang hedak di lindungi oleh peraturan tersbut. Oleh karena itu
orang tidak perlu lagi memperdebatkan apakah nilai itu bisa di terima atau
tidak.
Di
samping kelebihan-kelebihan di atas, beberapa kelemahan yang terkandung dalam perundang-undanganadalah:
1.
Kekuatanya, kelemahan ini sebetulnya segera
tampil sehubungan dengan kehendak perundang-undangan untuk menampilkan
kepastian. Apabila kepastian ini hendak di penuhi, maka ia harus membayarnya
dengan mumbuat rumusan-rumusan yang jelas, terperinci dan tegar dengan resiko
menjadi norma-norma yang berlaku.
2. Keinginan
perundang-undangan untuk membuat rumusan-rumusan yang bersifat umum mengandung
resiko, bahwa ia mengabaikan dan dengan demikian memperkosa perbedan-perbedaan
atu ciri-ciri khusus yang tidak dapat di sama ratakan begitu saja. Terutama
sekali dalam suasana kehidupan modern yang cukup kompleks dan sepesialistis
ini, kita tidak mudah membuat perampatan-perampatan(generalizations)
2.
Hakikat sosial perundang-undangan
Sebagai
sumber hukum, perundang-undangan mempunyai kelebihan dari an karenanya pula
memilliki kekuasaan memaksa yang besar sekali.
Dengan demikian,norma-norma sosial yang lain, karena ia di kaitkan pada
kekuasaan tertinggi di suatu negara d adalah mudah bagi perundang-undangan
untuk menentukan ukuran-ukuran sendiri tanpa perlu menghiraukan tuntutan dari
bawah.[3]
3.
Perundang-undangan bahasa
Hukum di abat kesepuluhan pada dasarnya adlah hukum yang
dituliskan. Oleh karena itu, apabila dikatakan, bahwa bahasa peranan penting
dalam kehidupan hukum maka di situ masih harus ditambahkan: bahasa yang
dituliskan atau bahasa tertulis. Hukum dalam wujud bahasa tertulis ini tidak
lain: perundang-undangan.
Bahsa dan ragam
bahasa yang di pakai dalam perundang-undangan sekarang adalah unik untuk
zamanya. Karena dalam sejarah, tidak selalu di jumpai penggunaan ragam bahasa
perundang-undangan sekarang mempunyai ciri sendiri yang khas, yaitu berusaha
untuk memaksa melalui penggunaanbahsa secara rasional oleh karena itulah kita
bisa melihat perincian dari ciri utama tersebut kedalam ciri-ciri berikutini,
yaitu:
1). Bebas dan emosi
2) Tanpa perasaan
3) Datar seperti rumusan matematik(radbruch, 1961: 44)
Dengan hubungan dengan masalah penggunaan bahasa ini,
berikut ini dibicarakan dua fungsinya, yaitu:
1). Sebagai alat komunikasi
Sebagai sarana komunikasi, maka
perundang-undangan harus dapat menggunakan pemikiran dan kehendak dari pembuat
undanag-undang kepada rakyat. Pada waktu di bicarakan mengenai asas-asas bagi
suatu sistem hukum yang baik, kita telah mengutip pendapat fuller yang
diantaranya mensyaratkan, agar hukum itu dirumuskan dalam bahsa yang bisa
dimengerti rakyat. Tetapi, perkembangan hukum yang semakin formal dan rasional
sekarang ini tampaknya tidak mudah untuk memenuhi persy Subagai suaratan
tersebut.
2) Sebagai ragam tehnik (algra & jansen, 1981 : 42-48)[4]
Sebagai bahasa dengan ragam tehnik, bahsa
perundang-undangan merupakan sarana komunikasi di antara para ahli hukum.
Disini istilah-istilah di usahakan untuk bisa memenuhi kebutuhan akan tuntutan
kerja mereka itu, idtilah-istilah yang khusus diciptakan sebagai hasil
konsensus antara mereka, memudahkan mereka berhubungan satu sama lain dan
menghindarkan kesalahfahaman. Dengan demikian, apa yang dirasakan sebagai suatu
yang memusingkan pada orang kebanyakan, di kalangan para ahli hukum justru
merupakan sarana komunikasi yang dibutuhkan. Mereka ini tidak bisa bekerja
dengan bahasa dan istilah-istilah yang umum dan samar-sama. Oleh Karena itu
untuk dapat memasuki dunia ilmu (para ahl) hukum, orang perlu memahirkan diri
terlebih dahulu dalam ragam bahasa yang dipakai di situ. Pada saat ini kita
membicarakan masalah interprensi di belakang nanti, kita akan kembali pada
pembicaraan mengenai masalah ini.
Bagaimanapun keadaan yang dihadapi dan pendapat orang mengenai
perundang-undangan merupakan sarana yang diunggulkan dan sekaligus puncak dari
perkembangan hukum. Ia tidak dapat di lepaskan dari peradapan manusia dan telah
menjadi standar baginya, sehingga lain-lain bentuk hukum sedikit banyak
dianggap sebagai vaisasi abnor (fitzgerald, 1966 ; 124)[5]
B. Ihwal
Administrasi Peradilan
Peradilan administrasi atau “administratieve rechtspraak”
atau “judicial control of administrative action” adalah suatu pengertian yang
dalam masa-masa yang lampau banyak menimbulkan suatu polimiek antara para
sarjana.Peradilan administrasi yang timbul pada zaman revolusi Perancis sejak
saat itu mengalami suatu perkembangan yang pesat sekali.Disini kami tidak akan
menguraikan pertikaian antara sarjana tersebut,tetapi untuk dapat mengikuti
jalan pikiran dalam disertai ini, kami menganggap perlu.untuk menguraikan
seperlunya,pengertian mana yang kami
anut dalam tulisan ini.
Peradilan administrasi adalah suatu peradilan
pula.kata-kata ini kelihatannya bersehaja sekali,akan tetapi sesungguh nya
tidak demikian.John Locke umpamanya dalam bukunya “Two Treatises On Grovern
Ment” memasukkan peradilan dalam administrasi.Menurut teorinya trias ia
membedakan tiga macam “Power” yakni :[6]
a.
Legislative
Power
b.
Executive Power
c.
Federative Power
dan
peradilan dalam sistimnya dimasukkan dalam “Executive Power”. kami bukan menganut ajaran trias dari john locke
dan dari montesquieu yang memisahkan tiga macam kekuasaan itu dengan
mutlak,akan tetapi kami sering menggunakan tiga mcam pengertian kekuasaan
(pouvoir)dari sarjana yang kami sebut yakni :
a.
Legislative
power
b.
Executive power
dan
c.
Judicative power
Bukan
sebagai pemisahan mutlak melainkan semata-mata sebagai pembedaan. selain dari
pada itu,montesquei tidak mengemukakan perbedaan antara”functie” dan ”orgaan”
yang di serahi pelaksanaan ”functie” itu.
Kami dapat menerima pembedaan ketiga “functie”
itu, tetapi “orgaan” yang melakukan masing-masing “functie” itu dalam negara
modern tidak dapat dipisahkan secara mutlak.
Dan sejalan dengan ajaran Montesquieu
(setelah di sesuaikan) maka peradilan
merupakan suatu kekuasaan (dalam arti “functie”) yang berdiri sendiri berdampingan dengan
kekuasaan lainnya. Dalam sistim ini maka peradilan
administrasi termasuk dalam kekuasaan peradilan
dan tidak termasuk
dalam kekuasaan “Executive”. Oleh
karena itu peradilan administrasi harus pula memenuhi syarat-syarat
peradilan. Hal ini akan kami uraikan lebih lanjut.
Dengan sengaja
kami mempergunakan istilah “peradilan Administrasi”. Sering pula dalam
tulisan-tulisan bahkan dalam undang- undang atau penjelasannya dijumpai kata
“Peradilan Administratip”. Kata “administratip” merupakan suatu perusakan
bahasa, karena dalam Bahasa Indonesia suatu kata yang merupakan “Ajective” dari
suatu kata lain tidak mengalami perubahan, seperti : kursi kayu,meja besi,rumah
batu dan lain sebagainya. Oleh karena itu kata sifat “Administrasi” tidak kami
ubah.[7]
Lagi pula kami menggunakan kata-kata “Administrasi” dan
bukan “Tata
Usaha” karena sebab-sebab tertentu.
1.
Kata Administrasi itu sudah diterima umum dan pola telah digunakan oleh pemerintah kita: buktinya dengan adanya
nama “Lembaga
Administrasi Negara”. “Administrasi Niaga” dsb.
2.
Kata “Administratie” yang asalnya dari kata
Latin “Administrare”, dapat
mempunyai dua arti :
a.
“elke stelselmatige, schriftelijke vavastlegging en
ordening van”. “gegevens, samengesteld met het doel een overzicht van deze”.
“gegevens te verkrijgen in hun onderling verban. Niet alle” “losse
gecompileerde verzamelingen van aantekeningen kan”. “daaronder begrepen”.
(setiap penyusun keterangan yang di lakukan secara
tertulis dan sistematis dengan
maksud mendapatkan suatu ihtisar dari keterangan-keterangan
itu dalam keseluruhan dan dalam hubunganya satu
dengan lain. Tidak semua himpunan catatan yang lepas dapat dinyatakan administrasi)
b.
“ wordt ook in bijzonder gebruikt voor het bestuur van
de”
“staat,
de provincien, de waterschappen, de gemeenten en”
“grote
maatschappijen. In de V.S. verstaat men onder the”
“administration”
het gehele staatsbestuur, den president”
“daaronder
begrepen”
(digunakan juga istimewa untuk menyatakan pemerintah
suatu negara, propinsi, watersghap(=subak), kota-kota dan maskape-maskape
besar. Di amerika serikat dengan kata “the administration” di maksudkan
keseluruhan pemerintahan, termasuk presiden. Bila “administratie” di artikan
seperti dimaksudkan di bawah sub (b), maka akan kami gunakan terjemah
“administrasi”).
Dalam arti kedua maka sudah pula tersimpul, kata tata
usaha. Jadi
jika kami menggunakan kata Administrasi Negara, maka di dalamnya sudah tersimpul pula tata usahanya.
Mengenai terjemahan kata “Administratie” ini antara para sarjana di Indonesia masih belum terdapat suatu
keseragaman, buktinya ada suatu golongan yang menterjemahkan “Administratief Recth” dengan “Hukum Tata
Pemerintahan”, ada pula yang menggunakan kata-kata “Hukum Tata Usaha Negara”.
Drs.Utrecht S.H., walaupun untuk judul bukunya “Pengantar
Hukum Tata Usaha Negara Indonesia” cet ke-2 menggunakan
istilah tata usaha Negara, pada hakekatnya beliau lebih suka menggunakan istilah “Hukum Administrasi”. Dalam cetakan ke-5 beliau
kembali lagi
menggunakan istilah Hukum Administrasi Negara.
Kata Administrasi itu mengingatkan kita pada kata-kata
asing yang mirip
yaitu “Administratie” yang mempunyai arti yang sama, sehingga penggunaan istilah itu akan memudahkan kami bila
kami mempelajari buku asing dalam bahasa Inggris, Perancis dan
Belanda.
C.
Ihwal Kepolisian
1.
Pengertian Polisi Menurut terjemahan Momo Kelana yang
diambil dari Polizeirecht dikatakan, bahwa istilah polisi mempunyai dua arti,
yakni polisi dalam arti formal yang mencakup penjelasan tentang organisasi dan
kedudukan suatu instansi kepolisian, dan kedua dalam arti materiil, yakni
memberikan jawaban-jawaban terhadap persoalan-persoalan tugas dan wewenang
dalam rangka menghadapi bahaya atau gangguan keamanan dan ketertiban, baik
dalam rangka kewenangan kepolisian umum melalui ketentuan-ketentuan yang diatur
dalam peraturan perundangundangan. Pengertian lain sebagaimana yang disebutkan
dalam pasal 1 angka 1 UndangUndang No. 2 Tahun 2002 tentang Polri, Kepolisian
adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai
dengan peraturan perundangundangan. Istilah kepolisian di dalam Undang-Undang
ini mengandung dua pengertian, yakni fungsi polisi sebagaimana disebutkan dalam
pasal 2 UndangUndang No. 2 Tahun 2002 tersebut fungsi kepolisian sebagai salah
satu fungsi pemerintahan Negara dibidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban
masyarakat, penegakan hukum, pelindung, pengayom, dan pelayanan masyarakat.
Sedangkan lembaga kepolisian adalah organ pemerintah yang ditetapkan sebagai
suatu lembaga dan diberikan kewenangan menjalankan fungsinya berdasarkan
peraturan perundang – undangan. Dengan demikian dapat ditarik pemahaman, bahwa
berbicara kepolisian berarti berbicara tentang fungsi dan lembaga kepolisian.
Pemberian makna dari kepolisian ini dipengaruhi dari konsep kepolisian yang
diembannya dan dirumuskan dalam tugas dan wewenangnya.[8]
2.
Tugas Polisi Pasal
13 Undang-Undang No 2 tahun 2002 menentukan, bahwa tugas pokok Kepolisian
Negara Republik Indonesia adalah: a. Memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat; b. Menegakan hukum; c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan kepada masyarakat.
Melaksanakan tugas pokok, Kepolisian Negara Republik Indonesia mempunyai tugas
yang diatur dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang No 2 tahun 2002 Pasal 15 ayat
(1) Undang-Undang No. 2 tahun 2002 menentukan
dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
dan 14 Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kita dapat mengerti dan memahami tentang ikhwal perundang-undangan,
ikhwal administrasi peradilan, ikhwal kepolisian. Dan dapat kita tahu
bahwasanya tujuan masing-masing dari materi-materi tersebut memiliki wilayah
masing-masing dan ketiganya memiliki hubungan satu sama lain.
B.
Kritik dan Saran
Kami menyadari
bahwa dalam pembuatan makalah ini banyak sekali kekurangannya. Maka dari itu berharap
kepada pemabaca untuk memberikan masukan maupun sangahan kepada kami tentang
makala yang kami buat. Akhir kata Wabilihitaufiq Walhidayah Wassalamualaikum
Wr.Wb
DAFTAR
PUSTAKA
Prof. Dr. Satjipto
Rahardjo, S.H., Ilmu Hukum, ( Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2014)
Dr. Rochmat Soemitro SH., Masalah Peradilan
Administrasi Dalam Hukum Pajak
di Indonesia, (Bandung, PT. Eresco Bandung, 1976)
Petrus Kanisius Noven Manalu, 2014. Peradilan dan
Penyelesaian Sengketa Hukum,
Yogyakarta: Universitas
Atma Jaya
[6] Dr. Rochmat
Soemitro SH., Masalah Peradilan Administrasi Dalam Hukum Pajak di Indonesia,
(Bandung, PT. Eresco Bandung, 1976), hlm. 3
[7] Ibid, hlm. 5
[8] Petrus
Kanisius Noven Manalu, 2014. Peradilan dan Penyelesaian Sengketa Hukum, Yogyakarta: Universitas
Atma Jaya, hlm. 10
No comments:
Post a Comment