BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Hukum adat di Indonesia bukanlah sumber utama hukum di Indonesia. Namun,
hukum adat masih berlaku di beberapa daerah di Indonesia. Supaya hukum adat
tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan hukum lainnya yang ada di
Indonesia, maka hukum adat diatur dalam TAP MPRS Nomor II/MPRS/1960, Lampiran A
Paragraf 402, Hukum Adat dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960, dan masih
banyak lainnya dasar hukum yang mengatur tentang hukum adat. Karena pada
hakikatnya, semua peraturan hukum haruslah bernilai Pancasilai dan tidak
bertentang dengan Undang-Undang Dasar 1945 atau dasar hukum lainnya. Segala
kegiatan dalam hidup ini semuanya diatur sesuai peraturan yang ada, sepertinya
saja hukum waris, hukum perkawinan, dan bahkan dalam kepemilikan tanah semuanya
diatur dalam hukum baik hukum perundang-undangan yang dibuat lembaga negara,
hukum islam yang bersumber Al-Qur’an dan Hadist, maupun hukum adat.
1.2
Rumusan Masalah
A.
Apa yang dimaksud dengan hukum adat?
B.
Bagaimana hukum adat mengatur persoalan perkawinan, warisan, dan
kekeluargaan?
C.
Dasar hukum apa saja yang menjadi landasan dalam hukum adat?
1.3
Tujuan
A.
Supaya mahasiswa mengetahui hukum adat yang berlaku di Indonesia
B.
Supaya membentuk hukum adat yang bernilai Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945
C.
Supaya saling menghargai dan menegak hukum yang ada di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Hukum Adat
Terminologi
hukum adat diduga berasal dari tata bahasa Arab Adah yang merujuk pada ragam
perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang. Sedangkan hukum berasal dari
istilah Arab hukm (bentuk jamak : ahkam) yang berarti perintah. [1]Di dalam
hukum Islam dikenal misalnya “Hukum
Syari’ah” yang berisi adanya lima macam suruhan atau perintah yang disebut “al-ahkam al-khamsah” yaitu : fardh
(wajib), haram (larangan), mandub atau sunnah (anjuran), makruh (celaan), dan
jaiz, mubah atau halal (kebolehan). Pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) di
Aceh Darussalam memerintahkan disusunnya kitab hukum Makuta Alam yang secara tersirat melukiskan pemahaman tentang
ketentuan hukum adat sebagai kaidah kebiasaan yang berulang kemudian di dalam
kitab hukum “Safinatul Hukkam Fi
Takhlisil Khassam” yang ditulis oleh Jalaluddin bin Syeh Muhammad
Kamaluddin dikatakan bahwa dalam memeriksa perkara seorang hakim haruslah
memperhatikan Hukum Syara, Hukum Adat, serta Adat dan Resam. Sedangkan dalam
bahasa Belanda dikenal dengan “Adat
Recht” yaitu hasil terjemahan dari Christian
Snouck Hurgronje dan Cornelis van
Vollenhoven.[2]
1.
pengertian umum :
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) 1999 memberi batasan adat dalam
ragam pengertian sebagai berikut :
a.
Adat sebagai aturan (perbuatan dan sebagainya) yang lazim dirurut
atau dilakukan sejak dahulu kala.
b.
Adat sebagai kebiasaan : cara (kelakuan dan sebagainya yang sudah
menjadi kebiasaaan)
c.
Adat sebagai cukai menurut peraturan yang berlaku (dipelabuhan)
d.
Adat sebagai wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai
budaya, norma, hukum dan aturan-aturan yang satu dengan yang lain berkaitan
menjadi suatu sistem.[3]
2.
Pengertian menurut para ahli :
a.
Menurut J.H.P Bellefroid, hukum adat adalah peraturan hidup yang
tidak diundangkan oleh penguasa tapi dihormati dan ditaati oleh rakyat dengan
keyakinan bahwa peraturan-pearturan tersebut berlaku sebagai hukum.
b.
Menurut penjelasan diatas, hukum adat adalah aturan yang tidak
tertulis dibentuk karena kebiasaan masyarakat dan merujuk ragam perbuatan yang
dilakukan secara berulang-ulang.[4]
2.2
Masyarakat Hukum Adat
1.
Dasar yang Membentuk Hukum Adat
Secara teoritis pembentukannya disebabkan karena faktor ikatan yang
mengikat masing-masing anggota hukum adat tersebut, faktor ikatan yang
membentuk masyarakat hukum adat secara teoritis adalah :
a.
Faktor genialogis (keturunan)
b.
Faktor teritorial (wilayah).
2.
Bentuk Masyarakat Hukum Adat
Berdasarkan faktor ikatan di atas, kemudian terbentuklah masyarakat
hukum adat, yang dalam study hukum adat di sebut tiga tipe utama persekutuan
hukum adat yang dalam study hukum disebut :
a.
Persekutuan hukum Genealogis
Merupakan
persamaan dalam keturunan, artinya anggota-anggota kelompok itu terikat karna
merasa berasal dari nenek moyang yang sama. Menurut para ahli hukum adat di
masa Hindia Belanda masyarakat hukum genealogis ini dapat di bedakan menjadi
tiga macam yaitu yang bersifat patrilinial, matrilinial, dan bilateral atau
parental.
1.
Masyarakat yang patrilinial
Pada
masyarakat ini susunan masyarakatnya ditarik menurut garis keturunan dari bapak
(garis laki-laki), sedangkan garis keturunan ibu di singkirkan.
2.
Masyarakat yang matrilinial
Pada
masyarakat ini susunan masyarakatnya ditarik menurut garis keturunan ibu (
garis perempuan ), sedangkan garis keturunan bapak di singkirkan.
3.
Masyarakat yag bilateral atau parental
Pada
masyarakat ini sususnan masyarakatnya ditarik dari garis keturunan orang tuanya
yaitu bapak dan ibu bersama-sama sekaligus.
b.
Persekutuan hukum yang teritorial
Dasar pengikat utama anggota kelompoknya adalah daerah kelahiran
dan menjalani kehidupan bersama di tempat yang sama. Menurut R. Van Dijk (1954)
persekutuan hukum teritorial ini di bedakan kedalam tiga macam yaitu :
1.
Persekutuan desa (dorp)
Yang merupakan
suatu tempat kediaman bersama di dalam daerahnya sendiri termasuk beberapa
pedukuhan yang terletak di sekitarnya yang tunduk pada perangkat esa yang
berkediamam di pusat desa.
2.
Persekutuan daerah
Merupakan suatu
daerah kediaman bersama dan menguasai tanah hak ulayat bersama yang terdiri
dari beberapa dusun atau kampung dengan satu pusat pemerintahan adat bersama.
3.
Perserikatan dari beberapa desa
Apabila
diantara beberapa desa atau marga yang terletak berdampingan yang masing-masing
berdiri sendiri mengadakan perjanjian kerja sama untuk mengatur kepentingan
bersama.
c.
Persekutuan hukum genealogis – teritorial
Dasar pengikat pertama anggota kelompoknya adalah dasar persekutuan
hukum genealogis dan teritorial yang di mana para anggotanya tidak hanya
terikat pada tempat kediaman daerah tertentu tetapi juga terikat pada hubungan
keturunan dalam ikatan pertalian daerah dan atau kekerabatan. [5]
3.
Wilayah Hukum Adat :
a.
Aceh
b.
Tanah gayok-alas dan batak serta nias
c.
Minangkabau bersata mentawai
d.
Sumatra selatan
e.
Melayu ( sumatra timur, jambi, dan riau)
f.
Bangka dan belitung
g.
Kalimantan
h.
Minahasa
i.
Gorontalo
j.
Toraja
k.
Sulawesi selatan
l.
Kepulaan terate
m.
Maluku, ambon
n.
Irian
o.
Kepulaan timor
p.
Bali dan lombok(beserta sumbawa besar)
q.
Jawa tengah dan jawa timur(beserta madura)
r.
Daerah-daerah swap raja (surakarta dan jogjakarta)
s.
Jawa barat
4.
Suku Bangsa Indonesia Terdiri Dari :
a.
Sumatra terdiri ari 49 suku bangsa
b.
Jawa terdiri dari 7 suku bangsa
c.
Kalimantan terdiri dari 73 suku bangsa
d.
Sulawesi terdiri dari 117 suku bangsa
e.
Nusatenggara terdiri dari 30 suku abngsa
f.
Maluku- ambon terdiri dari 41 suku bangsa
g.
Irian jaya terdiri dari 49 suku bangsa
2.3
Asas-asas hukum adat
a.
Hukum Perorangan
Dalam hukum ada, subjek hukum perorangan meliputi bada-badan
hukumdan manusia, badan-bada hukum aantara lain desa, suku, nagari, dan wakaf.
Manusia sebagai subjek hukum perorang dalam hukum adat menunjukkan arti bahwa
setiap manusiabaik laki-laki atau permpuan memilik kedudukan yang sama sebagai
subjek hukumdalam hukum adat. Dalam hali ini terlihat bahwa hukum adat tidak
menntukan bahwa seseorang disebut dewasa haya dilihat dalam arti usia saja.
Mengenai kriteria dewasa di atas, R. Soepomo juga meneagaskan bahwa
dalam hukum adat kriterianya adalah bukan umur, tetapi kenyatan-kenyataan
tertentu yang antara lain :
1.
Kuwat gawe (dapat atau mampu bekerja sendiri)
Artinya
cakap untuk melakukan segala pergaulan dalam kehidupan kemasyakaratan serta
mampu mempertanggung jawabkan sendiri segala-galanya.
2.
Cakap mengurus harta bendanya serta lain keperluannya sendiri.
b.
Hukum Kekeluargaan
Hukum
kekeluargaan adat ini mengenai :
1.
Hal keturunan
Yang dimaksud dengan hal keturunan dalam hukum kekeluargaan adat
ini adalah ketunggal leluhur ; artinya terdapat hubungan darah antara orang
seorang dengan orang lain, dua orang atau lebih yang memiliki hubungan darah.
Dalam hukum kekeluargaan adat ini dikenal adanya keturan yang bersifat lurus
dan bersifat menyimpang. Keturunan yang lurus, apabila seseorang merupakan
ketuiran langsung dari keturan keluargnya. Misalnya keturauna ini disebut
keturunan lurus, hubungan ini terjadi antara bapak dengan anak, antara kakek,
bapak dan anak ; hubungan ini disebut keturunan yang bersifat lurus ke bawah.
Sedangkan yang dimaksud dengan keturunan yang bersifat menyimpang atau
bercabang dimaksudkan apabila antara kedua orang tua atau lebih terapat adanya
ketunggalan leluhur, misalnya bapak-ibunya sama (saudara sekandung), atau
sekakek-senenek dan lain sebagainya. Lazimnya untuk kepentingan keturunan ini
dibuat “silsilah”, yaitu suatu bagan dimana digambarkan dengan jelas
garis-garis keturunan dari seorang suami atau istri, baik yang lurus keatas,
lurus ke bawah, maupun yang menyimpang. Hubungan kekeluargaan ini merupakan
faktor yang sangat penting dikemudian hari dalam hal-hal berikut :
a)
Masalah perkawinan : yaitu untuk meyakinkan apakah terdapat
hubungan kekeluargaan yang merupakan larangan untuk menjadi suami istri,
misalnya terlalu dekat, adik-kakak, sekandung, dan sebagainya
b)
Masalah warisan : dalam hal ini hubungan kekeluargaan merupakan
dasar pembagian harta peninggalan.
2.
Hubungan anak dengan orang tua
Dalam hukum kekeluargaan adat ini adalah sangat penting, karna
dalam hukum adat anak kandung memiliki kedudukan yang sangat penting dal setiap
somah ( gizin) dari suatu masyarakat adat. Perhatian yang sama diberikan orang
tua kepada anaknya disetiap daerahbertujuan dan alasan yang sama yaitu sebagai
pengak dan penerus generasinya, kekerabatannya, dan sukunya. Sedangkan mengenai
hubungan antara si anak dengan kedua orang tuanya yang lahir di luar
perkawinan, anak yang lahir karna zina dan anak yang lahir setelah perceraian
kedua orang tuanya dapat di jelaskan sebagai berikut:
a)
Anak yang lahir di luar perkawinan
Dalam aat mengharuskan adanya perkawinan beserta upacar-upacara dan
selamatan yang di perlikan dalam perkawinan. Untuk mencegah nasib si ibu
beserta anak yang demikian, terdapat suatu tindakan adat yang memaksa si
laki-laki untuk kawin dengan perempuan yang telah melahirkan anak tadi. Di
samping kawin paksa, adat juga ,mengenal usaha lain, yaitu dengan cara
mengawinkan perempuan yang sedang hamil misalnya, dengan salah seorang
laki-laki lain. Maksudnya adalah agar si anak dapat lahir dalam masa perkawinan
yang sah, sehingga anak itu nantinya ,menjadi anak yang sah
b)
Anak yang lahir karna zina
Apabila seorang isteri melahirkan anak karna hubungan gelap yang
terjadi dengan seorang laki-laki bukan suaminya, maka menurut hukum adat
suaminya sendiri menjadi bapak anak yang di lahirkan, kecuali sang suami
menolak berdasarkan alasan-alasan tertentu yssng dapat diterima untuk menolak
anak yang ilahirkan oleh isterinya karna perbuatan zina tersebut.
Dalam
hukum adat ini tidak ada kebiasaan seperti halnya dalam hukum islam yang
menetapkan waktu lebih dari 6 bulan setelah menikah sebagai syarat kelahiran
anak agar di akui sebagai anak yang sah. Ketentuan hukum islam ini sama sekali
tidak mempengaruhi lembaga adat “kawin paksa”, “kawin darurat”, “nikah tabelan”
atau “pattongkog sirik”.
c)
Anak yang di lahirkan setelah perceraian
Anak yang dilahirkan setelah bercerai, menurut adat mempunyai bapak
bekas suami perempuan yang melahirkan anak itu apabila kelahirannya terjadi
masih dalam batas-batas waktu mengandung. Mengenai hubungan yang terjadi antara
anak dari selir dengan bapaknya , secara adat hubungan ini diakui sebagai
kedudukannya dengan anak sah dalam dalam perkawinan resmi, keyakinan ini
terjadi pada masa-masa yang lalu akan tetapi dalam adat diatur bahwa kedudukan
anak selir tidak sama dengan kedudukan anak sah dari istri seorang laki-laki
yang memiliki istri resmi. Misalnya dalam hal wairsan, anak dari istri yang
sama akan memiliki hak-haknya yang lebih banyak. Akibat hukum yang timbul dari
hubungan kedua orang tuanya dengan anaknya dalam hukum kekeluargaan adat ini
adalah :
A.
Larangan kawin anatara anak dengan bapak atau anak dengan ibunya
B.
Saling berkewajiban memelihara dan memberi nafkah.
3.
Hubungan anak dengan keluarga
Di
Indonesia terdapat persekutuan-perkutuan adat yang susunannya berlandaskan tiga
macam garis keturunan, yaitu garis keturunan ibu, garis keturunan bapak, dan
garis keturunan bapak-ibu. Dalam perseketuan yang menganut garis keturunan
bapak-ibu, maka hubungan anak dengan keluarganya baik dari pihak bapak atau ibu
sama beratnya atau tingkat keeratannya. Namun beda halnya dengan garis keturunan
patrilineal ataupun matrilineal, maka hubungan antara anak dengan keluarga dari
pihak orangtuanya tidaklah sama eratnya dan pentingnya.
4.
Memelihara anak piatu
Mengenai
pemeliharaan anak piatu dalam susunan keturunan yang parental, maka orang tua
yang masih hidup yang memelihara anak-anak mereka seterusnya hingga dewasa.
Jika kedua orang tuanya tidak ada lagi, maka yang memelihara anak-anak yang
ditinggalkan adalah salah satu keluarga pihak bapak atau ibunya yang terdekat
dan keadaannya yang memungkinkan untuk keperluan memelihara si anak ini.
5.
Mengangkat anak (adopsi)
Dilihat dari
sudut anak pungut, maka dapat dicatat adanya pengangkatan anak sebagai berikut
:
a.
Mengangkat anak dari bukan warga keluarga
Anak itu
diambil dari lingkungan asalnya dan dimasukkan ke dalam keluarga orang yang
mengangkatnya menjadi anak angkat. Lazimnya tindakan ini disertai dengan
penyerahan sejumlah uang atau barang-barang magis kepada anak keluarga
tersebut.
b.
Mengangkat anak dari kalangan keluarga
Anak lazimnya
diambil dari salah satu klan yang ada hubungannya secara tradisional yang
disebut “purusa”, tetapi akhir-akhir ini dapat pula anak diambil dari luar
klannya.
c.
Mengangkat anak dari kalangan keponakan
Perbuatan
semacam ini banyak terdapat di Jawa, Sulawesi, dan beberapa daerah lainnya.
Lazimnya dalam pengangkatan keponakan ini tanpa disertai dengan pembayaran uang
ataupun penyerahan suatu barang kepada orang tua si anak yang bersangkutan,
yang pada hakikatnya masih saudara sendiri dari keluarga yang memungutnya.
c.
Hukum Perkawinan Adat
1.
Batasan hukum perkawinan adat
Hukum
perkawinan adat adalah aturan-aturan hukum adat yang mengatur tentang
bentuk-bentuk perkawinan, cara-cara pelamaran, upacara perkawinan dan putusnya
perkawinan di Indonesia.
2.
Arti perkawinan dalam hukum perkawinan adat
Menurut
Hazairin dalam bukunya, Rejang, mengemukakan bahwa ada tiga buah rentetan yang
merupakan perbuatan magis muncul ketika terjadinya peristiwa perkawinan itu,
yakni yang bertujuan menjamin ketenangan (koelte), kebahagian (welvaart),
dan kesuburan (vruchtbaarheid).
3.
Pertunangan dalam hukum perkawinan adat
Pertunangan
dalam hukum perkawinan adat adalah suatu stadium (keadaan) yang bersifat khusus
di Indonesia, biasanya mendahului dilangsungkannya suatu perkawinan. Stadium
pertunangan timbul setelah adanyanpersetujuan antara kedua belah pihak (pihak
keluarga bakal suami dan keluarga bakal istri) untuk mengadakan perkawinan
dimana suatu permintaan dan pertimbangan yang dikemukakan oleh pihak laki-laki
ke pihak perempuan. Lamaran atau meminang lazimnya dilakukan oleh seorang
utusan, duta yang mewakili keluarga pihak laki-laki. Pada umumnya yang
ditugaskan sebagai duta untuk mengadakan pembicaraan yang pertama kalinya
dengan keluarga pihak perempuan adalah anggota keluarga yang dekat serta biasanya
sudah berumur tetapi kini sudah banyak pula yang dilakukan oleh orangtua kedua
belah pihak sendiri.
Pertunangan
baru mengikat apabila dari pihak laki-laki sudah memberikan suatu pengikat
kepada pihak perempuan yang disebut “panjer” atau “paningset” (di Jawa),
“panyangcang” (di Pasundan), “tanda kong narit” (di Aceh), “bobo mibu” (di
Pulau Nias), “sesere” (di Kepulauan Mentawai), “passikog” (di Sulawesi
Selatan), “tapu” (di Halmahera), “mas aye” (di Pulau Bali). Tanda pengikat
dimaksud diberikan kepada keluarga perempuan atau orangtua pihak perempuan atau
bakal istri.
4.
Bentuk-bentuk perkawinan adat
a.
Perkawinan Jujur
Perkawinan
jujur adalah bentuk perkawinan yang dilakukan dengan pembayaran “jujur”.
Pembayaran demikian diberikan pihak laki-laki kepada pihak perempuan
sebagaimana terdapat di daerah Gayo, Maluku, Timor, Batak, Nias, Lampung, Bali,
Sumba, dan Timor. Dengan diterimanya uang atau barang jujur, berarti si
perempuan mengikatkan diri pada perjanjian untuk ikut di pihak suami, baik
pribadi maupun harta benda yang dibawa tunduk pada hukum adat suami, kecuali
ada ketentuan lain yang menyangkut barang-barang bawaan istri tertentu. Setelah
istri berada di tangan suami, maka istri dalam segala perbuatan hukumnya harus
berdasarkan persetujuan suami atau atas nama suami atau atas kerabat suami.
b.
Perkawinan Bebas (Mandiri)
Bentuk
perkawinan bebas atau perkawinan mandiri ini pada umumnya berlaku di lingkungan
masyarakat adat yang bersifat parental adalah kaum keluarga atau kerabat tidak
banyak lagi campur tangan dalam keluarga atau rumah tangga.
c.
Perkawinan Campuran
Perkawinan
campuran dalam arti hukum adat adalah bentuk perkawinan yang terjadi antara
suami dan istri yang berbeda suku bangsa, adat budaya, dan atau berbeda agama
yang dianut. Terjadi perkawinan campuran pada umumnya menimbulkan masalah hukum
antara tata hukum adat dan atau hukum agama, yaitu hukum mana dan hukum apa
yang akan diberlakukan dalam pelaksanaan perkawinan itu.
d.
Perkawinan Semanda
Perkawinan
semanda pada umumnya berlaku di lingkungan masyarakat adat yang matrilineal
dalam rangka mempertahankan garis keturunan ibu. Dalam perkawinan semanda,
calon mempelai laki-laki dan kerabatnya tidak melakukan pemberian uang jujur
kepada pihak perempuan, namun sebaliknya berlaku adat pelamaran dari pihak perempuan
kepada pihak laki-laki dan perkawinan tersebut terdapat di daerah Minangkabau.
e.
Perkawinan Lari
Perkawinan
lari dapat terjadi di suatu lingkungan masyarakat adat, tetapi paling banyak
terjadi adalah kalangan masyarakat Batak, Lampung, Bali, Bugis, Makassar, dan
Maluku. Sesungguhnya perkawinan lari bukanlah suatu bentuk perkawinan
sebenarnya, melainkan merupakan satu sistem pelamaran karena dengan terjadi
perkawinan perkawinan lari dapat berlaku bentuk perkawinan jujur, semanda atau
bebas/mandiri, tergantung pada keadaan dan perundingan kedua belah pihak.
5.
Larangan perkawinan dalam hukum adat perkawinan
a.
Karena hubungan kekerabatan
Dalam
hukum Batak yang bersifat asymmetrisch connubium, dilarang terjadinya
perkawinan antara laki-laki dengan perempuan yang satu marga.
b.
Karena perbedaan kedudukan
Perbedaan
kedudukan terjadi pada masyarakat yang masih bersifat feodalisme, dimana
laki-laki dilarang melakukan perkawinan dengan perempuan dari golongan rendah
ataupun sebaliknya.
c.
Karena perbedaan agama
Dalam
hal perkawinan ini, hukum islam memang sangat ketat dan menegaskan bahwa
orang-orang tidak boleh mengikat tali perkawinan dengan yang disebut “muhrim”
karena pertalian darah, pertalian perkawinan dan pertalian persusuan.
6.
Adat pelamaran dalam hukum perkawinan adat
Adat
pelamaran dalam hukum adat adalah tata cara melakukan pelamaran sebelum
berlangsung acara perkawinan secara hukum adat. Satu hal yang berbeda adalah
adat pelamaran yang terdapat di lingkungan masyarakat adat Minangkabau dan di
Rejang, Bengkulu yang masih dipengaruhi adat istiadat Minangkabau, pelamaran
dilakukan oleh pihak perempuan.
7.
Acara dan Upacara Perkawinan dalam Hukum Perkawinan Adat
Pada
umumnya acara dan upacara perkawinan dalam hukum perkawinan adat telah diresapi
hukum perkawinan berdasarkan ketentuan agama. Dalam agama islam, melakukannya
dengan ijab qabul dalam suatu majelis. Dalam agama kristen/katolik mengucapkan
perjanjian perkawinan di hadapan pendeta atau pastur yang dilaksanakan di
gereja. Sedangkan agama budha, mengucapkan janji di vihara di depan altar suci
sang budha/bodisatwa, dan diberkati oleh pendeta yang disebut “Khikkuhu” atau
“Bhikkuni”, atau “Sumanera” atau “Sumantri”. Mereka yang akan melakukan
perkawinan campuran dikarenakan perbedaan agama yang dianutnya, dilakukan
dengan tata cara satu agama saja dan pelaksanaannya dilakukan di kantor catatan
sipil atau melakukan perkawinan ganda menurut agama masing-masing adalah tidak
sah.
d.
Hukum Waris Adat
1.
Batasan Hukum Waris Adat
Hukum
waris adalah aturan-aturan atau norma-norma hukum yang mengatur atau menetapkan
bagaimana harta peninggalan atau harta warisan diteruskan atau dibagi-bagi
kepada para ahli waris dari generasi ke generasi berikutnyabaik berupa kekayaan
yang bersifat materil maupun immaterial melalui cara dan proses peralihannya.
2.
Sifat Hukum Waris Adat
Perbedaan hukum
waris adat Indonesia dengan hukum waris barat
a)
Hukum Waris Adat
ü Tidak mengenal
“legitieme portie”, akan tetapi hukum waris adat menetapkan dasar persamaan
hak. Hak ini mengandung hak untuk diperlakukan sama oleh orangtuanya di dalam
proses meneruskan dan mengoperkan harta benda keluarga.
ü Meletakkan
dasar kerukunan pada proses pelaksanaan pembagian berjalan secara rukun dengan
memperhatikan keadaan istimewa dari tiap waris.
ü Harta warisan
tidak boleh dipaksakan untuk dibagi antara para ahli waris.
b)
Hukum Waris Barat yang tercantum dalam KUHPerdata :
ü Mengenal tiap
ahli waris atas bagian yang tertentu dari harta peninggalan bagian warisan
menurut kententuan undang-undang pasal 913 sampai pasal 929.
ü Menentukan adanya
hak mutlak dari ahli waris masing-masing untuk sewaktu-waktu menuntut pembagian
harta warisan (Pasal 1066 KUHPerdata).
Perbedaan hukum waris adat dengan hukum waris menurut hukum islam
a)
Hukum Waris Adat
ü Harta
peninggalan dapat bersifat tidak dapat dibagi-bagi atau pelaksanaan
pembagiannya ditunda untuk waktu yang cukup lama ataupun hanya sebagian yang
dibagi-bagi.
ü Memberi kepada
anak angkat, hak nafkah dari harta peninggalan orangtua angkatnya.
ü Dikenal sistem
penggantian waris
ü Pembagiannya
merupakan tindakan bersama, berjalan secara rukun dalam suasana ramah tamah
dengan memperhatikan keadaan khusus tiap waris.
ü Anak perempuan,
khususnya di Jawa, apabila tidak memiliki anak laki-laki, dapat menutup hak
mendapat bagian dari harta peninggalan kakek-neneknya dan saudara orangtuanya.
ü Harta
peninggalan tidak merupakan satu kesatuan harta warisan, melainkan wajib
dipertahankan sifat/macam, asal dan kedudukan hukum dari barang-barang
masing-masing yang terdapat dalam harta peninggalan itu.
b)
Hukum Islam
ü Tiap ahli waris
dapat menuntut pembagian harta peninggalan tersebut sewaktu-waktu.
ü Tidak dikenal
ketentuan yang memberi kepada anak angkat, hak nafkah dari harta peninggalan
orangtua angkatnya.
ü Tidak dikenal
sistem pembagian waris
ü Bagian-bagian
ahli waris telah ditentukan pembagian harta peninggalan menurut ketentuan
tersebut.
ü Menjamin kepada
anak perempuan mendapat bagian yang pasti dari harta peninggalan orangtuanya
ü Harta
peninggalan merupakan satu kesatuan harta warisan.
3.
Sistem Hukum Waris Adat
a)
Sistem Kolektif
Sistem
kolektif adalah apabila para ahli waris mendapat harta peninggalan yang
diterima secara kolektif (bersama) dari pewaris yang tidak terbagi-bagi secara
perorangan.
b)
Sistem Mayorat
Sistem
mayorat adalah apabila harta pusaka yang tidak terbagi-bagi dan hanya dikuasai
oleh anak tertua, artinya hak pakai, hak mengolah, dan hak memungut hasilnya
dikuasai oleh anak tertua dengan hak dan kewajiban mengurus dan memelihara
adik-adiknya yang laki-laki dan perempuan hingga mereka dapat hidup mandiri.
Sistem kewarisan ini disebut “kewarisan mayorat”.
c)
Sistem Individual
Sistem
individual adalah apabila harta warisan diabgi-bagi dan dapat memiliki secara
perorangan sebagai “hak milik” yang berarti setiap ahli waris berhak memakai,
mengolah dan menikmati hasil dari warisan tersebut.
e.
Hukum Tanah Adat
1.
Kedudukan Tanah dalam Hukum Adat
Ada
dua hal yang menyebabkan tanah memiliki kedudukan yang sangat penting dalam
hukum adat, yaitu karena sifat dan faktor. Bila dilihat dari sifatnya, tanah
merupakan satu-satunya harta kekayaan yang bagaimana pun keadaannya, tetap
masih seperti dalam keadaan semula. Sedangkan faktor, karena kejadian alam
tertentu tanah memberikan keuntungan yang lebih baik dari keadaan semulanya.
2.
Hak-Hak Atas Tanah dalam Hukum Adat
a)
Hak Persekutuan Atas Tanah
Hak
persekutuan atas tanah adalah hak persekutuan (hak masyarakat hukum) dalam
hukum adat terhadap tanah tersebut. Seperti hak untuk menguasai tanah,
memanfaatkan tanah, dan sebagainya.
b)
Hak Perseorangan Atas Tanah
Ø Hak milik atas
tanah
Dijelaskan
dalam PP Nomor 38 Tahun 1963 tentang penunjukan badan hukum yang dapat mempunyai
hak milik atas tanah yang berisi sebagai berikut :
a.
Bank-bank yang didirikan oleh negara (selanjutnya disebut bank
negara)
b.
Perkumpulan-perkumpulan koperasi pertanian yang didirikan berdasar
atas undang-undang No.79 tahun 1958 (Lembaran negara tahun 1958 No.139)
c.
Badan-badan keagamaan, yang ditunjuk oleh Menteri
Pertanian/Agraria, setelah mendengar Menteri Agama
d.
Badan-badan sosial, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria,
setelah mendengar Menteri Sosial.
Dalam substansinya, hak milik atas tanah memiliki prinsip sebagai
berikut :
a.
Tanah tempat mereka berdiam
b.
Tanah yang memberi mereka makan
c.
Tanah tempat mereka dimakamkan
d.
Tanah tempat kediaman makhluk halus sebagai pelindung mereka
beserta arwah leluhurnya
e.
Tanah tempat meresap daya-daya hidup.[6]
Ø Hak menikmati
atas tanah
Hak
yang diberikan kepada seseorang merupakan haknya untuk menikmati hasil tanah
berupa memungut hasil panen. Biasanya orang yang diberikannya berasal dari luar
lingkungan ulayat .
Ø Hak terdahulu
Hak
terdahulu (voorkeursrecht) adalah hak yang diberikan pada seseorang untuk
mengusahakan tanah itu dimana orang tersebut didahulukan dari orang lain.
Ø Hak terdahulu
untuk dibeli
Dimana
seseorang memperoleh hak sebidang tanah dengan mengesampingkan orang lain.
Ø Hak memungut
hasil karena jabatan
Mengenai
hak memungut hasil karena jabatan bisa terjadi karena seseorang sedang menjadi
pengurus masyarakat, dan hak ini ia peroleh selama menduduki jabatan itu,
setelah tidak menduduki jabatannya maka hak itu tidak diberikan lagi kepadanya.
Ø Hak pakai
Hak
pakai adalah hak atas tanah yang diberikan pada seseorang atau sekelompok orang
untuk menggunakan tanah ataupun memungut hasil dari tanah tersebut.
Ø Hak gadai dan
hak sewa
Hak
gadai dan hak sewa dalam hubungan ini timbul karena adanya satu ikatan
perjanjian antara kedua belah pihak atas tanah tersebut.
3.
Transaksi Tanah dalam Hukum Adat
Transaksi jual
ini menurut isinya dapat dibedakan dalam tiga macam, yaitu sebagai berikut :
a)
Penyerahan tanah dengan pembayaran kontan disertai dengan ketentuan
bahwa yang menyerahkan tanah dapat memiliki kembali tanah tersebut dengan
pembayaran sejumlah uang (sesuai dengan perjanjian yang disepakati)
b)
Penyerahan tanah dengan pembayaran kontan tanpa syarat, jadi untuk
seterusnya atau selamanya dimiliki oleh pembeli tanah.
c)
Penyerahan tanah dengan pembayaran kontan disertai perjanjian bahwa
apabila kemudian tidak ada perbuatan hukum lain, sesudah satu/dua tahun atau
beberapa kali panen, tanah itu kembali lagi kepada pemilik tanah semula.[7]
2.4
Dasar-Dasar Hukum
1.
Hukum Adat dalam TAP MPRS NO II/MPRS/1960, Lampiran A paragraf 402
Garis-garis
besar politik di bidang hukum yang ditetapkannya antara lain :
a.
Asas-asas pembinaan hukum nasional supaya sesuai dengan haluan
negara dan berlandaskan pada hukum adat yang tidak menghambat perkembangan
masyarakat adil dan makmur.
b.
Di dalam usaha ke arah homoginitas dalam bidang hukum supaya
diperhatikan kenyataan-kenyataan yang hidup di Indonesia.
c.
Dalam penyempurnaan undang-undang hukum perkawinan dan waris supaya
diperhatikan adanya faktor agama, adat, dan lain-lain.
Dalam hukum tersebut, menempatkan hukum adat dalam posisi yang
sangat vital dalam pembinaan hukum nasional yang berdasarkan pancasila.
2.
Hukum Adat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
Undang-undang
ini menjelaskan tentang ketentuan-ketentuan pokok agraria atau yang disebut
dengan undang-undang pokok agraria. Setiap kegiatan hak-hak atas tanah dan
pendaftaran tanah hukum inilah sebagai dasar hukumnya.
3.
Yurisprudensi Reg. No.130 K/Sip/1957 tanggal 5 November 1957
Menurut hukum
adat daerah Priangan seorang janda dari si peninggal warisan dan para anak
bersama-sama berhak atas harta warisa. Apabila janda dari si peninggal warisan
dianggap bukan ahli waris, untuk menghindarkan salah paham, sebaiknya janda itu
dan para anak dari sipeninggal warisan ditetapkan bersama-sama berhak atas
warisan.
4.
Yurisprudensi Reg. No.82 K/Sip/1957 tanggal 24 Mei 1958
Anak angkat
hanya diperkenankan mewarisi harta gono-gini dari orang tua angkatnya,
sedangkan anak angkat tidak berhak mewarisi barang pusaka (barang asal).
5.
Yurisprudensi Reg. No.298 K/Sip/1958 tanggal 29 Oktober 1958
Dalam hal
seorang suami meninggal dunia dengan meninggalkan seorang janda tanpa anak,
sedang ada barang-barang gono-gini, maka janda itu berhak menguasai
barang-barang itu seluruhnya tanpa perlu dopertimbangkan tentang cukup tidaknya
barang-barang itu untuk hidupnya si janda.[8]
Apabila
hukum adat tersebut dilanggar maka sanksi adat yang akan memberikan hukuman
untuk si pelanggar sesuai sanksi yang berlaku di daerah tersebut. Sanksi adat
adalah alat pemaksa yang digunakan oleh petugas hukum yang dalam hal ini Prajuru
Adat/Pakraman melalui Paruman Desa untuk mencapai perimbangan hukum
kembali.[9]
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hukum adat berasal dari tata bahasa Arab yang merujuk pada ragam perbuatan
yang dilakukan secara berulang-ulang. Sedangkan di dalam kamus Besar Bahasa
Indonesia hukum adat yaitu adat sebagai aturan (perbuatan dan sebagainya) yang
lazim dirurut atau di lakukan sejak dahulu kala. Adat sebagai kebiasaan : cara
(kelakuan dan sebagainya yang sudah menjadi kebiasaan). Adat sebagai wujud
gagaan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum dan
aturan-aturan yang satu dengan yang lain berkaitan menjadi suatu sistem.
[1] I Gede A.B. Wiranata, S.H., M.H, Hukum
Adat Indonesia Dari Perkembangan Masa ke Masa, (Bandung: Departemen
Pendidikan Nasional, 2003), hlm.3
[2] Prof. Dr. C. Dewi Sulansari, S.H., M.H., SE., M.M, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar,cet.
Ke-1 (Bandung: PT Refika Aditama, 2010), hlm. 1-2
[3] I Gede A.B. Wiranata, S.H., M.H, Hukum
Adat Indonesia Dari Perkembangan Masa ke Masa, hlm.3
[4] Prof. Dr. C. Dewi Sulansari, S.H., M.H., SE., M.M, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar,
hlm. 4
[5]Ibid,hlm 27-29
[6] Sarkawi, S.H., M.H, Hukum Pembebasan Tanah Milik Adat Untuk
Pembangunan, cet. Ke-1, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014), hlm. 9-10
[7]Prof. Dr. C. Dewi Sulansari, S.H., M.H., SE., M.M, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, hlm.33-89
[8] Ibid, hlm.112-147
[9] Dr. I Dewa Made Suartha, S.H.,M.H, Hukum dan Sanksi Adat, cet. Ke-1,
(Malang: Setara Press, 2015), hlm.25
No comments:
Post a Comment