BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di
dalam hidup, hampir segala sesuatu bisa ditafsirkan secara beragam. Fakta yang
satu bisa dilihat dengan sudut pandang yang berbeda, sehingga menghasilkan
kesimpulan yang berbeda pula. Tidak jarang, kesimpulan yang tumbuh dari sudut
pandang yang berbeda tersebut saling bertentangan satu sama lain. Pada titik
inilah permasalahan filsafat muncul.[1]
Tidak semua manusia mempunyai persyaratan yang sama
terhadap apa yang dianggapnya benar. Paradigma kebenaran terasa sangat berbeda antara
teori satu dengan teori lainnya karena sangat bergantung terhadap sasaran objek
kebenaran itu sendiri. Dalam konteks fislafat ilmu, untuk mencapai kebenaran itu,
serendahnya terdapat tiga teori yang berguna untuk mengukur kebenaran. Tiga
teori itu adalah: koherensi, korenspondensi dan pragmatisme nasional.
Antara satu teori dengan teori lain memiliki perbedaan
paradigma yang cukup kental. Misalnya, teori koherensi lebih mendasarkan diri
pada kebenaran rasio, teori korespondensi lebih mendasari diri pada kebenaran
factual/ karena data dan fakta memiliki kebenaran objektif pada dirinya,
sedangkan kebenaran fungsional lebih menitikberatkan pada fungsi dan kebenaran
itu sendiri.Sekalipun perbedaan di antara ketiga teori itu terasa kental, namun
ketiganya memiliki kesmaaan. Kesamaan diantara tiga teori itu adalah: pertama,
seluruh teori melibatkan logika, baik logika formal maupun logika material
(deduktif dan induktif); kedua, melibatkan bahasa, yaitu adanya
kerangkapengujian terhadap pernyataan-pernyataan yang hendak diuji kebenaranya,
dan ketiga, adalah pengalaman yang menduduki tempat penting dalam mengetahui
kebenaran.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian dari logika ?
2.
Apa saja pembagian dalam logika ?
3.
Apa pengertian dari teori kebenaran ?
4.
Apa saja aturan cara berlogika yang benar ?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui maksud dan pengertian logika dalam
filsafat
2.
Untuk mengetahui macam-macam pembagian dalam logika
3.
Untuk mengetahui maksud dan makna pengertian teori
kebenaran
4.
Untuk mengetahui aturan cara berpikir yang benar
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Logika
Nama ‘logika’ untuk pertama kali muncul pada filsuf
Cicero (abad ke-1 sebelum Masehi), tetapi dalam arti ‘Seni Berdebat’ Alexander
Aphrodisias (sekitar permulaan abad ke-3 sesudah masehi) adalah orang pertama
yang mempergunakan kata ‘logika’ dalam arti ilmu yang menyelidiki lurus
tidaknya pemikiran kita.
Lapangan dalam logika adalah asas-asas yang
menentukan pemikiran yang lurus,tepat, dan sehat. Agar dapat berfikir
lurus,tepat dan teratur, logika menyelidiki,merumuskan serta menerapkan
hukum-hukum yang harus ditepati. Berpikir adalah objek material logika.
Berpikir disini adalah kegiatan pikiran, akal budi manusia. Dengan berfikir,
manusia ‘mengolah’, ‘megerjakan’ pengetahuan yang telah diperolehnya. Dengan
‘mengolah’ dan ‘mengerjakannya’ ini terjadi dengan mempertimbangkan,
menguraikan, membandingkan, serta menghubungkan pengertian yang satu dengan
pengertian lainnya.
Dalam logika berpikir dipandang dari sudut kelurusan
dan ketepatannya. Karena berfikir lurus dan tepat, merupakan objek formal
logika. Di samping dua filsuf di atas (Cicero dan Alexander Aphrodisias)
Aristoteles pun telah berjasa besar dalam menentukan logika. Namun, Aristoteles
belum memakai nama logika. Aristoteles memakai istilah ‘analitika’ dan
‘dialektika’. Analitika untuk penyelidikan mengenai argumentasi yang bertitik
tolak dari putusan-putusan yang benar sedangkan dialetika untuk penyelidikan
mengenai argumentasi yang bertitik tolak dari hipotesis atau putusan yang tidak
pasti kebenarannya.[2]
B. Pembagian Logika
Logika menurut The Liang Gie (1980) dapat digolongkan
menjadi lima macam, yaitu sebagai berikut:
1.
Logika Makna Luas dan Logika Makna Sempit
Dalam arti sempit istilah tersebut dipakai searti dengan
logika deduktif atau logika formal, sedangkan dalam arti luas pemakaiannya
mencakup kesimpulan-kesimpulan dari berbagai bukti dan tentang bagaimana sistem
penjelasan disusun dalam ilmu alam serta meliputi pula pembahasan mengenai
logika itu sendiri
2.
Logika Deduktif dan Logika Induktif
Logika Deduktif adalah suatu ragam logika yang mempelajari asas-asas penalaran yang
bersifat deduktif, yakni suatu penalaran yang menurunkan suatu kesimpulan
sebagai kemestian dari pangkal pikirnya sehingga bersifatbetul menurut
bentuknya saja.
Logika Induktifmerupakan suatu ragam logika yang mempelajari asas-asas penalaran yang
betul dari sejumlah hal khusus sampai pada suatu kesimpulan umum yang bersifat
boleh jadi.
3.
Logika Formal dan Logika Material
Logika Formal mempelajari asas, aturan atau hukum-hukum berpikir yang harus ditaati ,
agar orang dapat berpikir dengan benar dan mencapai kebenaran.
Logika material mempelajari langsung pekerjaan akal, serta menilai hasil-hasil logika
formal dan mengujinya dengan kenyataan praktis yang sesungguhnya. Logika
Material juga mempelajari sumber-sumber dan asalnya pengetahuan, alat-alat
pengetahuan, proses terjadinya pengetahuan, dan akhirnya merumuskan metode ilmu
pengetahuan itu.
Logika formal dinamakan
juga logika minor, sedangkan logika material dinamakan logika mayor.
4.
Logika Murni dan Logika Terapan
Logika murni merupakan suatu pengetahuan mengenai asas
dan aturan logika yang berlaku umum pada semua segi dan bagian dari pernyataan-pernyataan
dengan tanpa mempersoalkan arti khusus dalam sesuatu cabang ilmu dari istilah
yang dipakai dalam pernyataan dimaksud.
Logika Terapan adalah penegtahuan logika yang diterapkan dalam setiap cabang ilmu,
bidang-bidang filsafat, dan juga dalam pembicaraan yang mempergunakan bahasa
sehari-hari.
5.
Logika Filsafati dan Logika Matematik
Logika filsafati berhubungan dengan pembahasan dalam bidang filsafat,
seperti logika kewajiban dengan etika atau logika arti dengan metafisika.
Sedangkan logika matematik merupakan suatu ragam logika yang menelah
penalaran yang benar dengan menggunakan metode matematik serta bentuk lambang
yang khusus dan cermat untuk menghindarkan makna ganda atau kekaburan yang
terdapat dalam bahasa biasa. [3]
C. Pengertian Teori
Kebenaran
Beberapa teori pendekatan mengenai kebenaran, berikut ini contoh tiga
kriteria kebenaran:
1.
Teori Koherensi
Teori kebenaran
koherensi secara etimologis berasal dari bahasa Latin, cohaerere yang berarti melekat, tetap
menyatu, atau bersatu. Sedangkan
secara teminologis, teori koherensi merupakan teori yang menyatakan bahwa
kebenaran harus berdasarkan harmoni internal proposisi-proposisi dalam suatu
sistem tertentu. Suatu proposisi dikatakan benar kalau proposisi itu konsisten
dengan proposisi lain yang sudah diterima atau diketahui kebenarannya[4]
Secara keseluruhan teori koherensi ialah suatu pernyataan dianggap
benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang
dianggap benar.Misalnya bila kita menganggap bahwa, "semua manusia pasti
akan mati" adalah suatu pernyataan benar maka pernyataan bahwa, "si
polan adalah seorang manusia dan si polan pasti akan mati" adalah benar
pula karena kedua pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan yang pertama
2.
Teori Korespondensi
Merupakan teori kebenaran yang paling populer dan
sekaligus paling tertua. Teori korespodensi adalah teori kebenaran yang
menyatakan bahwa suatu pernyataan itu benar kalau isi pengetahuan yang
tekandung dalam pernyataan tersebut berkorespodensi (sesuai) dengan objek yang
dirujuk oleh pernyataan tersebut[5]
Yang ditemukan oleh Bertrand Russell (1872-1970).
Suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan
itu berkorespondensi (berhubungan) dengan obyek yang dituju oleh pernyataan
tersebut. Misalnya jika seseorang mengatakan bahwa ibukota republik Indonesia
adalah Jakarta maka pernyataan tersebut adalah benar sebab pernyataan itu
dengan obyek yang bersifat faktual yakni Jakarta yang memang menjadi ibukota
republik Indonesia.
3.
Teori Pragmatis
Dicetuskan oleh Charles S. Pierce (1839-1914). Suatu
pernyataan adalah benar jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan
itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia.Misalnya jika orang
menyatakan sebuah teori X dalam pendidikan, dan dengan teori X tersebut
dikembangkan teknik Y dalam meningkatkan kemampuan belajar, maka teori X itu
dianggap benar sebab teori X ini fungsional dan mempunyai kegunaan.[6]
D. Aturan Cara Berlogika yang
Benar
Kondisi adalah hal-hal yang
harus ada supaya sesuatu dapat terwujud, dapat terlaksana. Untuk berpikir baik,
yakni berpikir benar, logis-dialektis, juga dibutuhkan kondisi-kondisi
tertentu.[7]
a.
Mencintai
kebenaran
“Sikap ini sangat fundamental
untuk berpikir yang baik, sebab sikap ini senantiasa menggerakkan si pemikir
untuk mencari, mengusut, meningkatkan mutu penalarannya, menggerakkan si
pemikir untuk senantiasa mewaspadai “ruh-ruh” yang akan menyelewengkannya dari
yang benar.”[8]
b.
Ketahuilah
(dengan sadar) apa yang sedang Anda kerjakan.
“Kegiatan yang sedang
dikerjakan adalah kegiatan berpikir. Seluruh aktivitas intelek kita adalah
suatu usaha terus-menerus mengejar kebenaran yang diselingi dengan diperolehnya
pengetahuan tentang kebenaran tetapi parsial sifatnya.”[9]
c.
Ketahuilah
(dengan sadar) apa yang sedang Anda katakan.
“Pikiran diungkapkan ke dalam
kata-kata. Kecermatan pikiran terungkap ke dalam kecermatan kata-kata.
Karenanya kecermatan ungkapan pikiran ke dalam kata merupakan sesuatu yang
tidak boleh ditawar lagi. Anda senantiasa perlu menguasai ungkapan pikiran ke
dalam kata tersebut, baik yang eksplisit maupun yang implisit. Harus mengetahui
dengan betul dan seksama mengenai isi (komprehensif), lingkungan (ekstensi),
arti fungsional (suposisi) dan istilah (term) yang digunakan, karena istilah
merupakan unsur konstitutif penalaran.”[10]
d.
Buatlah
distingsi (pembedaan) dan pembagian (klasifikasi) yang semestinya.
“Jika ada dua hal yang tidak
mempunyai bentuk yang sama, hal itu jelas berbeda. Tetapi banyak kejadian
dimana dua hal atau lebih mempunyai bentuk sama, namun tidak identik. Disinilah
perlunya dibuat suatu distingsi, suatu pembedaan. Eksplisitkan hal-hal yang
membuat yang satu bukan yang lain. Hindari setiap usaha main pukul rata. Karena
realitas begitu luas, perlu diadakan pembagian (klasifikasi). Jika membuat
pembagian, peganglah suatu prinsip pembagian yang sama, jangan sampai Anda
menjumlahkan bagian atau aspek dari suatu realitas begitu saja tanpa berpegang
pada suatu realitas begitu tanpa saja berpegang tanpa suatu prinsip pembagian
(prinsip klasifikasi) yang sama. Bahaya tumpang-tindih akan selalu mengancam
jika tidak dipakai prinsip pembagian yang sama risiko prinsip berikutnya adalah
pikiran yang kacau-balau. Jangan mencampur adukkan sesuatu dan jangan
menggelapkan sesuatu.”[11]
e.
Cintailah
definisi yang tepat.
“Definisi artinya pembatasan,
yakni membuat jelas batas-batas sesuatu. Harus dihindari kalimat-kalimat dari
uraian-uraian yang “gelap”, tidak terang strukturnya, dan tidak jelas artinya.
Cintailah cara berpikir yang terang, jelas, dan tajam membeda-bedakan, hingga
terang yang dimaksud. Asosiasi hal-hal lain dikesampingkan.”[12]
f.
Ketahuilah
(dengan sadar) mengapa Anda menyimpulkan begini atau begitu.
“Haruslah bisa dan biasa
melihat asumsi-asumsi, implikasi-implikasi, dan konsenkuensi-konsenkuensi dari
suatu penuturan (assertion), pernyataan, atau kesimpulan yang telah dibuat.”[13]
g.
Hindari
kesalahan-kesalahan dengan segala usaha dan tenaga, serta sangguplah mengenali
jenis, macam, dan nama kesalahan, demikian juga mengenali sebab-sebab kesalahan
pemikiran (penalaran).
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Logika
adalah asas-asas yang menentukan pemikiran yang lurus,tepat, dan sehat
2.
Logika
menurut The Liang Gie (1980) dapat digolongkan menjadi lima macam, yaitu sebagai berikut:
a.
Logika Makna Luas dan Logika
Makna Sempit
b.
Logika Deduktif dan Logika
Induktif
c.
Logika Formal dan Logika
Material
d.
Logika Murni dan Logika Terapan
e.
Logika Filsafati dan Logika
Matematik
l Beberapa teori pendekatan mengenai kebenaran,
berikut ini contoh tiga kriteria kebenaran:
a.
Teori Koherensi
b.
Teori Korespondensi
c.
Teori Pragmatis
4.
Aturan
Cara Berlogika yang Benar
a.
Mencintai
kebenaran
b.
Ketahuilah
(dengan sadar) apa yang sedang Anda kerjakan.
c.
Ketahuilah
(dengan sadar) apa yang sedang Anda katakan.
d.
Buatlah
distingsi (pembedaan) dan pembagian (klasifikasi) yang semestinya.
e.
Cintailah
definisi yang tepat.
f.
Ketahuilah
(dengan sadar) mengapa Anda menyimpulkan begini atau begitu.
g.
Hindari
kesalahan-kesalahan dengan segala usaha dan tenaga, serta sangguplah mengenali
jenis, macam, dan nama kesalahan, demikian juga mengenali sebab-sebab kesalahan
pemikiran (penalaran)
[1]Reza A.A Wattimena, Filsafat dan Sains, (Jakarta:
PT Gasindo, 2008), hlm 11
[4] Dr. Zaprulkhan, S.Sos.I.,M.S.I, Filsafat Ilmu:
Sebuah Analisis Kontemporer cetakan kedua, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016),
hlm. 111
[6] Jujun S.
Suriasumantri, 2017. Telaah Buku Filasafat Ilmu (Sebuah Pengantar
Populer), Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Hlm 7
[7] W. Poespropojo, Logika
Scientifika; Pengantar Dialektika dan Ilmu, (Bandung: Pustaka Grafika,
1999), hlm. 61
[8] Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, M.A, Filsafat Ilmu, (Jakarta:
PT Rajagrafindo Persada, 2012), hlm 213
[11] Ibid hlm 216
[12]Ibid hlm 216
[13]Ibid hlm 217
No comments:
Post a Comment