BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada masa lalu, istilah “teori
hukum tata negara” sangat jarang sekali terdengar, apalagi dibahas dalam
perkuliahan maupun forum-forum ilmiah. Hukum tata negara yang dipelajari oleh
mahasiswa adalah hukum tata negara dalam arti sempit. Hal ini dipengaruhi oleh
watak rezim orde baru yang berupaya mempertahankan tatanan ketatanegaraan pada
saat itu yang memang menguntungkan penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya.
Pemikiran hukum tata negara secara langsung maupun tidak langsung akhirnya
menjadi terhegemoni atau terbelenggu. Tatanan ketatanegaraan berdasarkan hukum
tatanegara pada saat itu adalah pelaksanaan dari Pancasila dan UUD 1945 secara
murni dengan memberlakukan asas tunggal Pancasila dan P4 (Pedoman Penghayatan
dan Pengalaman Pancasila). Akibatnya, pembahasan sisi teoritis dari hukum tata
negara menjadi ditinggalkan, bahwa dikekang karena dianggap sebagai pikiran
yang “anti kemapanan” dan dapat mengganggu.
Hukum tata negara juga dapat
dibedakan antara hukum tata negara umum dan hukum tata negara positif. Hukum
tata negara umum membahas asas-asas, prinsip-prinsip yang berlaku umum,
sednagkan Hukum Tata Negara Positif hanya membahas hukum tata negara yang
berlaku pada suatu tempat dan waktu tertentu. Misalnya, Hukum Tata Negara
Indonesia, Hukum Tata Negara Inggris, ataupun Hukum Tata Negara Amerika Serikat
yang dewasa ini berlaku dimasing-masing negara yang bersangkutan, merupakan
hukum tata negara positif.
Barulah setelah reformasi 1998 terjadi perkembangan yang dominan
dalam studi hukum tata negara. Lahirnya para ahli Hukum Tata Negara juga turut
membantu perkembangan tersebut. Melalui amandemen pancasila akhirnya
menghasilkan perubahan dan perombakan pada struktur atau unsur kenegaraan.
Terlahirnya lembaga-lembaga negara baru itu ak lain bermaksud mewujudkan
Indonesia yang lebih baik dan demokratis.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa definisi Hukum Tata Negara?
2.
Apa objek dan lingkup kajian Hukum Tata Negara?
3.
Apa asas-asas Hukum Tata Negara?
4.
Apa hubungan Hukum Tata Negara?
5.
Apa saja sumber-sumber Hukum Tata Negara
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui maksud definisi Hukum Tata Negara
2.
Untuk mengetahui objek dan lingkup kajian Hukum Tata
Negara
3.
Untuk mengetahui asas-asas Hukum Tata Negara
4.
Untuk mengetahui hubungan Hukum Tata Negara
5.
Untuk mengetahui sumber-sumber Hukum Tata Negara
PEMBAHASAN
A.
Definisi Hukum Tata Negara
Istilah “hukum tata negara”
merupakan hasil terjemahan dari perkataan bahasa Belanda staatscrecht.[1] Sudah menjadi kesatuan
pendapat di antara para sarjana hukum Belanda untuk membedakan antara “hukum
tata negara dalam arti luas” (staatsrecht in ruime zin) dan “hukum tata negara
dalam arti sempit” (staatsrecht in enge
zin), dan untuk membagi hukum tata negara dalam arti luas itu atas dua
golongan hukum, yaitu:[2]
1.
Hukum Tata Negara dalam arti
sempit (staatsrecht in enge zin) atau
untuk singkatnya dinamakan hukum tata negara (staatsrecht).
2.
Hukum Tata Usaha Negara (administratief recht).
Menurut Para Sarjana mengenai definisi Hukum Tata Negara
itu dapat dikemukakan antara lain sebagai berikut :
·
“Kusumadi Pudjosewojo, dalam
bukunya Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia merumuskan definisi yang panjang
tentang Hukum Tata Negara. Menurutnya, Hukum Tata Negara adalah hukum yang
mengatur bentuk negara dan bentuk pemerintahan, yang menunjukkan masyarakat
hukum yang atasan maupun yang bawahan, beserta tingkatan-tingkatannya yang
selanjutnya menegaskan wilayah dan lingkungan rakyat dari masyarakat-masyarakat
hukum itu dan akhirnya menunjukkan alat-alat perlengkapan yang memegang
kekuasaan penguasa dari masyarakat hukum itu, beserta susunan, wewenang,
tingkatan imbangan dari dan antara alat perlengkapan itu. ”[3]
·
“Menurut Moh. Kusnardi dan
Harmaily Ibrahim, dalam buku Pengantar
Hukum Tata Negara Indonesia, dinyatakan bahwa:
“ Hukum Tata Negara dapat
dirumuskan sebagai sekumpulan peraturan hukum yang mengatur organisasi daripada
negara, hubungan antara alat perlengkapan negara dalam garis vertikal dan
horizontal, serta kedudukan warga negara dan hak asasinya.”
Dalam definisi kedua sarjana ini, bidang kajian hukum
tata negara mencakup pula soal kedudukan warga negara dan hak-hak asasinya.
Menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, warga negara merupakan salah satu
yang penting bagi berdirinya suatu negara. Oleh karena itu, dalam Hukum Tata
Negara perlu dibahas tentang asas-asas dan syarat-syarat kewarganegaraan serta
perlindungan yang diberikan kepadanya, yang lazim disebut sebagai perlindungan
terhadap hak-hak asasi.[4] Dengan demikian, Hukum
Tata Negara tidak hanya mengatur wewenang dan kewajiban alat-alat perlengkapan
negaranya saja, tetapi juga mengatur mengenai warga negara dan hak-hak asasi
warga negara.
Setelah mempelajari rumusan-rumusan definisi tentang
Hukum Tata Negara dari berbagai sumber tersebut diatas, dapat diketahui bahwa
diantara para ahli tidak terdapat kessatuan pendapat mengenai hal ini. Dari
pendapat yang beragam itu, kita dapat mengetahui bahwa sebenarnya:
a.
Hukum Tata Negara itu adalah
ilmu yang termasuk salah satu cabang ilmu hukum yaitu Hukum Kenegaraan yang
berada dirumah hukum publik.
b.
Definisi Hukum Tata Negara
adalah dikembangkan oleh para ahli sehingga tidak hanya mencakup mengenai organ
negara, fungsi dan mekanisme hubungan antar organ negara itu, tetapi mencakup
pula persoalan-persoalan yang terkait dengan mekanisme hubungan antara
organ-organ negara itu dengan warga negara.
c.
Hukum Tata Negara tidak hanya
merupakan Recht atau hukum dan apabila hanya sebagai Wet atau norma hukum
tertulis, tetapi juga adalah lehre
atau teori sehingga pengertiannya mencakup apa yang disebut sebagai verfassungrecht (hukum konstitusi) dan
sekaligus verfassungslehre (teori
konstitusi).
d.
Hukum Tata Negara dalam arti
luas mencakup baik hukum yang mempelajari negara dalam keadaan diam (staat in rust) maupun yang mempelajari
negara dalam keadaaan bergerak (staat in
beweging).
B.
Objek
dan Lingkup Kajian Hukum Tata Negara
Salah satu syarat ilmiah dari
suatu pengetahuan apapun jenisnya adalah harus memiliki obyek yang hendak
dikaji. Kian pula halnya dengan Hukum Tata Negara bila akan diletakkan sebagai
suatu pengetahuan yang ilmiah tentunya harus memiliki obyek yang menjadi pokok
kajiannya. Hukum Tata Negara sebagai salah satu bidang kajian dilingkungan ilmu
hukum secara singkat memiliki obyek kajian yakni negara dengan perangkat
peraturan yang mengatur mengenai organisasi yang disebut negara.
Walaupun hukum tata negara
mempunyai hungan yang sangat erat dengan ilmu negara – karena obyek kajiannya
sama, yakni negara dan kekuasaan-namun antara kedua ilmu tersebut dijumpai
adanya perbedaan prinsip. Ilmu negara melakukan kajian mengenai negara yang
masih dalam keadaan abstrak, yakni tidak terikat waktu dan tempat artinya
kajian negara masih diletakkan dalam tataran ide, konsep, dn gagasan yang masih
bersifat teoritis dengan pendekatan filsafati. Sedangkan hukum tata negara
obyek kajiannya adalah negara dalam pengertian yang konkrit. Pengertian konkrit
disini adalah menkaji Hukum Tata Negara Positif yang berlaku saat ini dan
disuatu tempat, dalam hal ini adalah indonesia.
Telah kita ketahui bersama bahwa
hakikat negara tidak lain adalah organisasi kekuasaan. Dalam lingkup pengetahuan
Hukum Tata Negara aspek-aspek dari pelaksana kekuasaan seperti ini sering
disebut sebgai alat-alat perlengkapan negara.
Untuk mencapai tujuan tertentu
alat-alat perlengkapan negara tersebut masing-masing mempunyai wewenang, tugas,
kewajiban dan tanggung jawab. Akan tetapi dalam melaksanakan hal ini, alat-alat
perlengkapan negara tersebut tidak dapat melepaskan diri dari ikatan antara
satu dengan yang lain sebagai satu kesatuan organisasi. Berdasarkan pemahaman
ini, maka pokok kajian hukum tata negara akan berkisar pada:
1.
Bentuk dan cara pembentukan atau
penyusunan alat-alat perlengkapan negara. Dalam halm inin juga menyangkut
bentuk organisasi negara yang dikehendaki.
2.
Wewenang, fungsi, tugas,
kewajiban dan tanggung jawab dari masing-masing alat perlengkapan negara.
3.
Hubungan anatara alat
perlengkapan negara baik yang bersifat vertikal maupun horizontal.
4.
Hubungan antara warga negara
termasuk hak-hak asasi dari warga negara sebagai anggota organisasi.
C. Asas-Asas Hukum Tata Negara
1.
Asas
Negara Hukum
Pemikiran Negara hukum dimulai sejak Plato
dengan konsepnya “bahwa penyelenggaraan Negara yang baik adalah yang didasarkan
pada pengaturan (hokum) yang baik yang disebut dengan istilah nomoi” konsep
Negara hokum tersebut selanjutnya berkembang dalam dua sistem hukum, yaitu
sistem Eropa Kontinental dengan istilah Rechtstaat dan Anglo-Saxon dengan
istilah Rule of Law. Konsep Negara hokum Eropa Kontinental
Rechtstaat dipelopori oleh Immanue Kant
dan Frederich Julius Stahl. Sedangkan konsep Negara
hokum Anglo-Saxon Rule of Law dipelopori oleh A.V. Dicey (Inggris). Indonesia
secara formal sudah sejak tahun 1945 (UUD NRI 1945 pra amandemen) mendeklarasikan
diri sebagai Negara hokum terbukti dalam penjelasan UUD NRI 1945 pernah
dinyatakan, “Indonesia adalah Negara yang berlandaskan hokum dan bukan
Negara yang berdasarkan kekuasaan belaka”. Konsep Negara hokum Indonesia dipertegas UUD NRI
1945 hasil amandemen dalam pasal 1 Ayat 3 yang menetapkan “Negara Indonesia
adalah Negara Hukum”.
Berdasarkan uraian konsep tentang Negara
hukum tersebut ada dua dua substansi dasar, yaitu :
1) adanya paham
kontitusi : memiliki makna bahwa pemerintahan berdasarkan atas hukum dasar
(konstitusi), tidak berdasarkan kekuasaan belaka, dan
2) sistem demokrasi
atau kedaulatan rakyat : secara harfiah identik dengan makna kedaulatan rakyat
yang berarti pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah
(pemerintahan rakyat).
2.
Asas Pembagian Kekuasaan
Secara umum, suatu sistem kenegaraan membagi
kekuasaan pemerintahan kedalam “trichotomy”
yang terdiri dari ekskutif, legislatif, dan yudikatif dan biasa disebut dengan trias
politika. Asas pembagian kekuasaan yang dianut Indonesia adalah UUD NRI 1945 pra-amandemen tidak
memberikan ketentuan yang tegas tentang
pembagian kekuasaan. Teori
Ivor Jenning dapat dilihat bahwa pemisahan kekuasaan dalam arti materiil dalam arti
pembagian kekuasaan itu dipertahankan dengan prinsipil dalam fungsi-fungsi kenegaraan yang secara
karakteristik memperlihatkan adanya
pemisahan itu kepada tiga bagian dan tidak dianut oleh UUD NRI 1945. UUD NRI 1945 hanya
mengenal pemisahan kekuasaan dalam arti formal, oleh karena itu pemisahan kekuasaan itu tidak
dapat dipertahankan secara prinsipil. Dengan
kata lain, UUD NRI 1945 hanya mengenal pembagian kekuasaan bukan pemisahan kekuasaan. Adapun dalam
pandangan Soepomo, bahwa UUD NRI 1945 mempunyai sistem tersendiri, yaitu berdasarkan
pembagian kekuasaan. Walaupun dalam pembagian
kekuasaan itu setiap lembaga Negara sudah mempunyai tugas tertentu, namun dalam sistem ini
dimungkinkan adanya kerjasama antar lembaga Negara. UUD NRI 1945 hasil
amandemen menetapkan 4 kekuasaan dan 7 lembaga Negara sebagai berikut :
a. Kekuasaan Eksaminatif, yaitu Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK)
b. Kekuasaan legislatif, yaitu
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang
tersusun atas Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan
Daerah (DPD)
c. Kekuasaan
Pemerintahan Negara (Eksekutif), yaitu Presiden dan wakil
presiden
d. Kekuasaan
Kehakiman, yaitu Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah
Konstitusi (MK)
e. Lembaga Negara Bantu, yaitu
Komisi Yudisial (KY).
3. Asas Negara Pancasila
Pancasila sering disebut dengan falsafah Negara dan ideologi. Negara. Namun, dalam hal ini Pancasila digunakan sebagai dasar mengatur pemerintahan
Negara. Atau dengan kata lain Pancasila digunakan sebagai dasar
untuk mengatur penyelenggaraan Negara. Pancasila sebagai dasar Negara,
hal ini berarti setiap tindakan rakyat dan Negara Indonesia harus sesuai
dengan Pancasila yang sudah ditetapkan sebagai dasar Negara. Pancasila dipandang sebagai
dasar Negara Indonesia karena didalamnya mengandung beberapa asas (lima asas) yaitu
:
a)
Asas
Ketuhanan Yang Maha Esa
Realisasi dari asas
Ketuhanan Yang Maha Esa tercermin dalam tiga bidang ketatanegaraan Republik
Indonesia antara lain : dalam bidang eksekutif (dengan adanya Departemen Agama
dan segala bagian yang mengatur segala soal yang menyangkut dengan agama di
Indonesia), dalam bidang legislatif tercermin pelaksanaannya dalam UU No. 1
Tahun 1974 tentang UU Perkawinan, dalam bidang yudikatif tertuang dalam UU No.
14 Tahun 1970 yang telah diubah melalui UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
b)
Asas
Perikemanusiaan
Asas
perikemanusiaan adalah asas yang mengakui dan memperlakukan manusia sesuai
dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan, juga mengakui persamaan
derajat, persamaan hak dan kewajiban asasi manusia tanpa membeda-bedakan suku, keturunan,
agama, ras, warna kulit, kedudukan sosial, dll. Dari segi legislatif dapat
dilihat dari lahirnya UU Perburuhan yang menghilangkan prinsip pengisapan
manusia oleh manusia. Dalam bidang eksekutif terbentuknya Departemen Sosial
yang menangani masalah-masalah kemanusiaan.
c)
Asas
Kebangsaan
Dalam asas kebangsaan setiap warga mempunyai
kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama. Asas ini menunjukkan, bahwa Indonesia bebas untuk
menunjukkan, bahwa bangsa Indonesia bebas untuk menentukan nasibnya sendiri,
dan berdaulat yang berarti pula bahwa bangsa Indonesia tidak memperbolehkan
adanya campur tangan (intervensi) dari bangsa lain dalam hal mengenai
urusan dalam negeri. Asas kebangsaan tertuang pula dalam simbol atau lambang
Negara RI, yaitu Garuda Pancasila (Pasal 36A), bendera Kebangsaan, yaitu Sang
Saka Merah Putih (Pasal 35), bahasa persatuan “Bahasa Indonesia” (Pasal 36),
lagu kebangsaan “Indonesia Raya” (Pasal 36B), dan lambang persatuan dan
kesatuan “Bhinneka Tunggal Ika” (Pasal 36A). selain itu asas kebangsaan termuat
dalam Pembukaan alenia pertama dan pasal-pasal UUD NRI 1945. Dibidang legislative
asas ini terlihat dengan lahirnya UU Kewarganegaraan (UU No. 12 Tahun 2006) dan
UU Agraria (UU No. 5 Tahun 1960) yang berkaitan langsung dengan kepentingan
rakyat. Aplikasi asas kebangsaan
dalam pengadilan berupa keputusan.
d)
Asas
Kedaulatan Rakyat
Asas kedaulatan rakyat dalam
bidang legislatif merupakan perwujudan dari kedaulatan rakyat ada wewenang yang
dimiliki DPR. Sedangkan dalam Yudikatif terlihat bahwa hakim-hakim baru dapat
diangkat setelah ada pengusulan dari Komisi Yudisial kepada anggota DPR untuk
mendapat penetapan selanjutnya diangkat oleh Presiden. Asas kedaulatan rakyat
menghendaki agar setiap tindakan dari pemerintah harus berdasarkan kemauan
rakyat, yang pada akhirnya semua tindakan pemerintah harus dapat dipertanggungjawabkan
kepada rakyat melalui wakil-wakilnya.
e)
Asas
Keadilan Sosial
Dalam
bidang legislatif, asas keadilan sosial pelaksanaannya tertuang
dalam rangka mewujudkan undang-undang tentang jaminan sosial.
Dalam bidang yudikatif terlihat bahwa setiap keputusan hakim
senantiasa berpedoman kepada keadilan sosial. Adapun dalam bentuk lembaga terlihat
adanya lembaga Negara yang bergerak dibidang sosial yang menyelenggarakan
masalah-masalah sosial dalam Negara.[5]
D.
Hubungan
Hukum Tata Negara
1.
Hubungan Hukum Tata Negara
dengan Ilmu Negara
Antara hukum
tata negara dengan ilmu negara merupakan dua bidang kajian ilmu yang memiliki
hubungan sangat dekat. Ilmu negara mempelajari negara dalam pengertian abstrak
(tidak terikat waktu maupun tempat), artinya mempelajari negara yang masih
dalam tataran ide ataupun gagasan. Dalam ilmu negara yang menjadi pokok bahsan
adalah prinsip-prinsip atau konsep-konsep, serta teori-teori mengenai negara
dan seluk beluk yang ada didalamnya. Dengan kata lain, ilmu negara merupakan
suatu cabang ilmu yang berusaha untuk megkaji mengenai hakikat negara.
Sedangkan hukum tata negara pada prisipnya mempelajari negara dalam keadaan konkrit,
artinya sudah terikat waktu maupun tempat. Disebut demikian karena dasar
pijakan yang dipergunakan untuk mempelajari dan menkaji hukum tata negara
adalah hukum positif yang berlaku didalam suatu negara.
Untuk mempelajari
hukum tata negara dan segala aspek yang terkandung didalamnya, tentu harus
mempelajari terlebih dahulu ilmu negara. Artinya ilmu negara yang memepeljari
dan menkji konsep-konsep, ide-ide maupu
teori kenegaraan, pada hakikatnya merupakan sumber utama bagi
penyelenggaraan praktek kehidupan kenegaraan. Sedangkan penyelenggaraan praktek
keidupan kenegaraan bila ditinjau dari aspek hukum jelas diatur oleh hukum tata
negara. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa landasan teori untuk
mempelajari dan mengkaji hukum tata negara tidak lain dan tidak bukan adalah
ilmu negara.
2.
Hubungan Hukum Tata Negara
dengan Ilmu Politik
Antara hukum tata
negara dan ilmu politik mempunyai kedekatan hungan timbal balik yang sangat
erat, bahkan kadangkala terasa sulit untuk dipisahkan. Oleh sebab itu hubungan
yang semacam ini sering diibaratkan layaknya dua sisi dalam satu keping mata
uang. Kedekatan seperti ini disebabkan karena antara kedua ilmu tersebut pada
hakikatnya membahas aspek kekuasaan dalam negara dan segala seluk beluk yang
ada didalamya.
Hukum tata negara
mempelajari peraturan-peraturan hukum baik tertulis maupun tidak tertulis yang
mengatur organisasi kekuasaan, sedangkan ilmu politik juga mengkaji persoalan
kekuasaan ditinjau dari aspek perilaku kekuasaan tersebut.
E.
Sumber-Sumber
Hukum Tata Negara
1. Pengertian Sumber Hukum
Sumber hukum memilki
istilah yang berbeda-beda, tergantung sudut pandang mana sumber hukum itu dilihat. Paton George
Whitecross, dalam bukunya Textbook of Jurisprudence
mengatakan bahwa istilah sumber hukum itu mempunyai banyak arti yang sering menimbulkan kesalahan-kesalahan
kecuali kalau diteliti dengan seksama mengenai arti
tertentu yang diberikan kepadanya dalam pokok pembicaraan (sudut pandang) tertentu. Utrecht sendiri mengatakan, bahwa kebanyakan para ahli memberikan
istilah sumber hukum berdasarkan sudut pandang keilmuannya.
Pertama,
sumber hukum ditinjau dari sudut pandang ahli sejarah, sumber hukum memiliki
arti;
(1) sumber hukum dalam arti pengenalan hukum,
(2)
sumber hukum dalam arti sumber dari mana pembentukan ikatan hukum memperoleh
bahan dan dalam arti sistem-sistem hukum dari mana tumbuh hokum positif suatu
negara. Sumber hukum ini berfungsi untuk menyelidiki perkembangan hokum dari
masa ke masa sehingga akan diketahui perkembangan, pertumbuhan, dan perubahan-perubahan
antara hukum yang berlaku di suatu negara.[6]
Kedua,
sumber hukum ditinjau dari sudut para ahli filsafat. Menurut ahli filsafat
sumber hukum diartikan sebagai;
(1) Sumber hukum
untuk menentukan isi hukum, apakah isi hukum itu sudah benar, adil sebagaimana
mestinya ataukah masih terdapat kepincangan dan tidak ada rasa keadilan,
(2) Sumber untuk
mengetahui kekuatan mengikat hukum, yaitu untuk mengetahui mengapa orang taat kepada hukum.[7]
Ketiga, sumber hukum ditinjau dari sudut
pandang sosiolog dan Antropolog budaya. Menurut ahli ini yang dianggap sebagai sumber hukum adalah keadaan
masyarakat itu sendiri dengan segala lembaga sosial yang ada didalamnya,
bagaimana kehidupan social budayanya suatu lembaga-lembaga sosial didalamnya.[8]
Keempat, sumber hukum ditinjau dari sudut
pandang keagamaan (religius). Menurut sudut pandang
agama, yang merupakan sumber hukum adalah kitab-kitab suci atau ajaran agama itu.
Kelima,
sumber hukum ditinjau dari sudut ahli ekonomi, yang menjadi sumber hokum adalah
apa yang tampak di lapangan ekonomi.
Keenam,
sumber hukum ditinjau dari sudut para ahli hukum. Menurut ahli hukum sumber hukum
memiliki arti;
(1) Sumber hukum formal, yaitu sumber hukum yang dikenal dalam bentuknya. Karena bentuknya itulah sumber
hukum formal diketahu dan ditaati sehingga hukum
berlaku. Misalnya undang-undang, kebiasaan, traktat, yurisprudensi, dan
pendapat ahli hukum (doktrin).
(2) Sumber hukum
materil, yaitu sumber hukum yang menentukan isi hukum. Sumber hukum materil
diperlukan ketika akan menyelidiki asal usul hukum dan menentukan isi hukum.[9]
Sumber
hukum adalah segala apa saja yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan
yang bersifat memaksa, yakni aturan-aturan yang kalau dilanggar mengakibatkan
sanksi yang tegas dan nyata.[10]
Dalam
ilmu pengetahuan hukum, pengertian sumber hukum digunakan dalam beberapa pengertian
oleh para ahli dan penulis.
Pertama,
sumber hukum dalam pengertian sebagai asalnya hukum ialah berupa keputusan
penguasa yang berwenang untuk memberikan keputusan tersebut. Artinya keputusan
itu haruslah berasal dari penguasa yang berwenang untuk itu.
Kedua,
sumber hukum dalam pengertian sebagai tempat ditemukannya peraturan-peraturan
hukum yang berlaku. Bentuknya berupa undang-undang, kebiasaan, traktat,
yurisprudensi atau doktrin dan terdapatnya dalam UUD 1945, ketetapan MPR, UU,
Perpu, PP, Kepres dan lainnya.
Ketiga,
sumber hukum dalam pengertian sebagai hal-hal yang dapat atau seyogyanya
memengaruhi kepada penguasa didalam menentukan hukumnya. Misalnya keyakinan akan hukumnya, rasa keadilan, ataupun perasaan
akan hukum.[11]
2. Sumber
Hukum Tata Negara Indonesia
Menurut pasal 1 Tap MPR
Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan menentukan,
bahwa:
a.
Sumber Hukum adalah sumber yang dijadikan bahan untuk menyusun peraturan perundang-undangan.
b.
Sumber Hukum terdiri atas sumber hukum tertulis dan sumber hukum tidak
tertulis.
c.
Sumber Hukum dasar nasional,
1. Pancasila
sebagaimana tertulis dalam pembukaan UUD 1945.
2. Batang tubuh UUD 1945 (Pasal-pasal dalam UUD 1945).
Berdasarkan ketentuan
Pasal 1 Tap MPR Nomor III/MPR/2000 tersebut setidaknya terdapat tiga subtansi dasar yang diatur.
Pertama, mengenai pengertian sumber hokum adalah
sumber yang menjadi bahan dalam penyusunan aturan-aturan hukum (peraturan perundang-undangan). Kedua, mengenai
jenis sumber hukum dasar nasional Indonesia yang
meliputi Pancasila dan Pasal-pasal dalam UUD 1945.[12]
Secara umum sumber
hukum tata negara Indonesia dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu Sumber Hukum Materil dan Sumber
Hukum Formal.
1. Sumber Hukum Materil
Sumber hukum materil
adalah sumber hukum hukum yang menentukan isi hukum. Sumber ini
diperlukan ketika akan menyelidiki asal-usul hukum dan menentukan isi hukum. Misalnya,
pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia yang kemudian menjadi falsafah
negara merupakan sumber hukum dalam arti materil yang tidak saja menjiwai bahkan
dilaksanakan oleh setiap peraturan hukum. Karena pancasila merupakan alat penguji untuk setiap
peraturan hukum yang berlaku, apakah ia bertentangan atau tidak dengan
pancasila, sehingga peraturan hukum yang bertentangan dengan pancasila tidak boleh berlaku.[13]
Pancasila sebagai sumber dari segala sumber
hukum juga mengandung pengertian, bahwa semua sumber hukum yang berlaku di
Indonesia (baik formal maupun materil) selurunhya bersumber pada Pancasila. Menurut
Tap MPRS No. XX/MPRS/1966, Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum
mewujudkan dirinya dalam Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Dekrit Presiden
5 Juli 1959, UUD Proklamasi dan Supersemar 11 Maret 1966. Di dalam sistem norma
hukum negara Indonesia Pancasila merupakan norma fundamental hukum
(Staatsfundamentalnorm) yang merupakan norma hukum yang tertinggi, yang
kemudian berturut-turut diikuti oleh norma hukum dibawahnya.
Ada
beberapa alasan mengenai Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hokum dalam arti materiil:
a. Pancasila merupakan isi dari sumber hukum.
b. Pancasila
merupakan pandangan hidup dan falsafah negara.
c. Pancasila merupakan jiwa dari setiap peraturan yang
dibuat, diberlakukan, segala sesuatu peraturan perundang-undangan atau hukum apa pun
yang bertentangan dengan jiwa Pancasila harus dicabut dan dinyatakan.[14]
2. Sumber Hukum Formal
Sumber hukum formal
adalah sumber hukum yang dikenal dalam bentuknya. Karena bentuknya itulah sumber hukum formal
diketahui dan ditaati sehingga hukum berlaku umum.
Selama belum mempunyai bentuk, suatu hukum baru merupakan perasaan hokum dalam masyarakat atau baru merupakan
cita-cita hukum, oleh karenanya belum mempunyai
kekuatan mengikat.[15]
Sumber-sumber hukum formal meliputi:
(1) Peraturan Perundang-undangan (aturan hukum),
(2) Kebiasaan
(Costum) dan adat,
(3) Perjanjian
antarnegara (traktat),
(4)Keputusan-keputusan
hakim (Yurisprudensi), dan
(5) Pendapat atau
pandangan ahlu hukum (doktrin).
a.
Undang-undang
Istilah undang-undang
disini berbeda dengan istilah undang-undang dalam undangundang yang disebutkan dalam hukum tata negara Indonesia.
Karena undang-undang dalam
hukum tata negara Indonesia adalah produk legislatif presiden (pemerintah) bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat.
Seperti ditetapkan Pasal 5 Ayat 1 dan Pasal 20 UUD
1945 yang mengikat diadakan dan dipelihara oleh penguasa negara. Undang-undang disini dalam arti luas atau
dalam istilah Belanda disebut wet. Wet dalam hukum
tata negara Belanda, dibedakan dalam dua pengertian, yaitu wet in formelle zin
dan wet in materiele zin.
Hal yang sama
dikemukakan T. J. Buys, bahwa undang-undang mempunyai
dua arti antara lain,
Pertama
undang-undang dalam arti formal, ialah setiap keputusan pemerintah yang
merupakan undang-undang karena cara pembuatannya (terjadinya). Misalnya,
pengertian undang-undang, menurut ketentuan UUD 1945 hasil amandemen adalah bentuk peraturan yang
dibuat oleh pemerintah bersama-sama DPR.
Kedua, undang-undang dalam arti materiil ialah setiap keputusan
pemerintah yang menurut
isinya mengikat langsung setiap penduduk. Sistem
dan Tata Urutan Perundangan Republik Indonesia telah diatur dalam Tap MPRS No. XX/MPRS/1966, yang oleh Tap MPR No.
V/MPR/1973 dinyatakan tetap berlaku.
Sumber-sumber hukum
formal tersebut adalah UUD 1945, dengan tata urutan peraturan perundang-undangan meliputi:
(1) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945),
(2) Ketetapan MPRS/MPR,
(3)
Undang-Undang (UU)/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu),
(4) Peraturan
Pemerintah (PP),
(5) Keputusan
Presiden (Kepres),
(6) Peraturanperaturan pelaksana lainnya seperti:
Peraturan Menteri, Instruksi Menteri, Peraturan Daerah (Perda), dan sebagainya.[16]
b. Kebiasaan
Kebiasaan adalah perbuatan manusia yang tetap
dilakukan berulang-ulang dalam hal yang sama. Apabila kebiasaan tertentu
diterima masyarakat dan kebiasaan itu selalu berulang-ulang dilakukan
sedemikian rupa, sehingga tindakan yang perlawanan dengannya dianggap sebagai
pelanggaran perasaan hukum, dengan begitu timbullah suatu kebiasaan hukum, yang
selanjutnya dianggap sebagai hukum.
c. Traktat
Traktat
pada dasarnya adalah perjanjian antar dua negara atau lebih. Berdasarkan Negara yang melakukan
perjanjian traktat terdiri traktat bilateral dan traktat multilateral. Traktat sebagai
bentuk perjanjian antar negara merupakan sumber hukum formal hokum tata negara
walaupun ia termasuk dalam hukum internasional, mempunyai kekuatan mengikat
bagi negara-negara yang mengadakan perjanjian itu. Isi perjanjian mengikat pihak-pihak yang
mengadakan perjanjian atau terkait perjanjian. Perjanjian antarnegara juga dapat merupakan
bagian dari hukum tata negara, apabila menyangkut ketatanegaraan dan
telah mempunyai kekuatan mengikat. Traktat yang telah mempunyai kekuatan mengikat
adalah traktat yang telah diratifikasi oleh pemerintah dari negara yang mengadakan
perjanjian.[17]
d.
Doktrin
Doktrin
adalah pernyataan atau pendapat para ahli hukum. Dalam kenyataanya pendapat ahli banyak diikuti
orang, dan menjadi dasar atau bahkan pertimbangan dalam penetapan hukum, baik oleh
para hakim ketika akan memutuskan suatu perkara maupun oleh pembentuk undang-undang.
Misalnya dengan
mengutip pendapatnya, sehingga putusan pengadilan terasa menjadi lebih berwibawa.[18]
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Secara hakiki, hukum
tata Negara adalah hukum yang mengatur organisasi kekuasaan yang disebut Negara
beserta seluk-beluk yang ada didalamnya.
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwa Hukum Tata Negara adalah sekumpulan peraturan (baik tertulis
maupun tidak tertulis) yang mengatur mekanisme pembentukan, fungsi dan wewenang
dari alat-alat perlengkapan Negara serta hubungan antar alat-alat perlengkapan Negara
tersebut.
Asas-Asas Hukum Tata
Negara Indonesia
a. Asas Negara
Hukum
Pemikiran Negara hukum dimulai sejak Plato dengan
konsepnya “bahwa penyelenggaraan Negara yang baik adalah yang didasarkan pada pengaturan
(hukum) yang baik yang disebut dengan istilah nomoi” konsep Negara hukum
tersebut selanjutnya berkembang dalam dua sistem hukum, yaitu sistem Eropa
Kontinental dengan istilah Rechtstaat dan Anglo-Saxon dengan istilah Rule
of Law.
b. Asas Pembagian
Kekuasaan
Secara umum, suatu sistem kenegaraan membagi kekuasaan pemerintahan
kedalam “trichotomy” yang terdiri dari ekskutif, legislative, dan
yudikatif dan biasa disebut dengan trias politika. Asas pembagian saidatul
aliyah di 23.18 kekuasaan yang dianut Indonesia adalah UUD NRI 1945
pra-amandemen tidak memberikan ketentuan yang tegas tentang pembagian
kekuasaan.
c.
Asas Negara Pancasila
Pancasila
sering disebu dengan falsafah Negara dan ideology Negara. Namun, dalam hal ini Pancasila digunakan
sebagai dasar mengatur pemerintahan Negara. Atau dengan kata lain Pancasila
digunakan sebagai dasar untuk mengatur penyelenggaraan Negara. Pancasila
dipandang sebagai dasar Negara Indonesia karena didalamnya mengandung beberapa asas
(lima asas) yaitu :
a) Asas Ketuhanan Yang Maha Esa
b) Asas Perikemanusiaan
c) Asas Kebangsaan
d) Asas Kedaulatan Rakyat
e)
Asas Keadilan Sosial
B. SARAN
Dengan adanya
makalah ini diharapkan kepada mahasiswa dapat mengetahui dan memahami apa
pengertian dari Hukum Tata Negara, apa yang dimaksud degan sumber hukum dan apa
saja sumber-sumber hukum tata negara Indonesia. Kita sebagai manusia tentu
masih banyak kekurangan oleh karena itu marilah kita bersama saling mengisi
kekurangan itu dengan berbagi pengetahuan.
Penulis menyadari
bahwa kemampuan yang dimiliki masih sangat kurang dan terbatas untuk
meningkatkan kemampuan penulis maka sangat diharapkan sumbangan-sumbangan
pemikiran dari mahasiswa lainnya atau pembaca. Karena penulis memahami sebagai
mahasiswa yang masih dalam tahap pembelajaran.
DAFTAR PUSAKA
Kansil, C.S.T. 1986. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Pudjosewojo,
Kusumadi. 2004. Pedoman Pelajaran Tata
Hukum Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Ranawijaya,
Usep. 1983. Hukum Tata Negara Indonesia
Dasar-Dasarnya. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Tutik,
Titik Triwulan. 2010. Konstruksi Hukum
Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD
1945.
Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
[1]
Dalam bahasa
Inggris Hukum Tata Negara dipergunakan istilah “constitutional law”, bahasa Prancis “droit constitutionnel”, bahasa Jerman “verfassungsrecht”.
[2] Usep Ranawijaya, Hukum Tata Negara Indonesia Dasar-Dasarnya (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1983), hlm. 11.
[3] Kusumadi Pudjosewojo, Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia, cet.ke-10, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2004), hlm. 86.
Amandemen UUD 1945,
(Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 21.
Amandemen UUD 1945, hlm. 35.
No comments:
Post a Comment