. HAKIKAT HUKUM
INTERNASIONAL
A.
ISTILAH, PENGERTIAN DAN ASAL USUL HUKUM INTERNASIONAL
Hukum
internasional adalah suatu hukum yang tidak hanya mengatur hubungan antarbangsa
atau antarnegara saja melainkan keseluruhan yang meliputi kaidah dan asas hukum
tentang mengatur suatu hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara
secara universal bukan yang bersifat perdata.[1]
Secara umum juga dapat diartika sebagai himpunan dari peraturan-peraturan dan
ketentuan-ketentuan yang mengikat serta mengatur hukum lainnya dalam kehidupan
masyarakat internasional.[2]
Asal mula hukum
internasional yang sudah ada sejak kurang lebih empat ratus terakhir ini mulai
berkembang dari adat-istiadat dan praktek-praktek negara eropa modern. Walaupun
hukum internasional dalam pengertian
modern baru berumur sekitar empat abad, tetapi akar-akarnya telah terdapat
semenjak Yunani kuno dan zaman Romawi. Dizaman kekaisaran Romawi, berbeda
dengan dengan Yunani kuno dimana hubungan internasional sudah ditandai dengan
adanya negara-negara yang membuat berbagai macam perjanjian seperti
perjanjian-perjanjian persahabatan, persekutuan, dan perdamaian. Orang-orang
Romawi Kuno mengenal dua jenis hukum, yaitu Ius Ceville dan Ius
Gentium, Ius Ceville adalah hukum nasional yang berlaku bagi
masyarakat Romawi, dimanapun mereka berada, sedangkan Ius Gentium adalah
hukum yang diterapkan bagi orang asing, yang bukan berkebangsaan Romawi. Dalam
perkembangannya, Ius Gentium berubah menjadi Ius Inter Gentium
yang lebih dikenal juga dengan Volkenrecth (Jerman), Droit de Gens
(Perancis) dan kemudian juga dikenal sebagai Law of Nations (Inggris).
Sesungguhnya, hukum internasional
modern mulai berkembang pesat pada abad XVI, yaitu sejak ditandatanganinya
Perjanjian Westphalia 1648, yang mengakhiri perang 30 tahun (thirty years
war) di Eropa. Sejak saat itulah, mulai muncul negara-negara yang
bercirikan kebangsaan, kewilayahan atau territorial, kedaulatan, kemerdekaan
dan persamaan derajat. Dalam kondisi semacam inilah sangat dimungkinkan tumbuh
dan berkembangnya prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional.
Perkembangan hukum internasional
modern ini, juga dipengaruhi oleh karya-karya tokoh kenamaan Eropa, yang
terbagi menjadi dua aliran utama, yaitu golongan Naturalis dan golongan
Positivis. Menurut golongan Naturalis, prinsip-prinsip hukum dalam semua sistem
hukum bukan berasal dari buatan manusia, tetapi berasal dari prinsip-prinsip
yang berlaku secara universal, sepanjang masa dan yang dapat ditemui oleh akal
sehat. Hukum harus dicari, dan bukan dibuat. Golongan Naturalis mendasarkan
prinsip-prinsip atas dasar hukum alam yang bersumber dari ajaran Tuhan. Tokoh
terkemuka dari golongan ini adalah Hugo de Groot atau Grotius, Fransisco de
Vittoria, Fransisco Suarez dan Alberico Gentillis.
Sementara itu, menurut golongan
Positivis, hukum yang mengatur hubungan antar negara adalah prinsip-prinsip
yang dibuat oleh negara-negara dan atas kemauan mereka sendiri. Dasar hukum
internasional adalah kesepakatan bersama antara negara-negara yang diwujudkan
dalam perjanjian-perjanjian dan kebiasaan-kebiasaan internasional. Seperti yang dinyatakan oleh Jean-Jacques Rousseau dalam bukunya Du
Contract Social, La loi c’est l’expression de la Volonte Generale, bahwa
hukum adalah pernyataan kehendak bersama. Tokoh lain yang menganut aliran
Positivis ini, antara lain Cornelius van Bynkershoek, Prof. Ricard Zouche dan
Emerich de Vattel. Sedangkan hukum internasional dalam arti sekarang, baru berkembang
pada asbad ke 16 dan 17 setelah lahirnya negara-negara dengan sistem modern di
Eropa.
B.
SIFAT DAN WUJUD HUKUM INTERNASIONAL
Perwujudan hukum internasional dapat dilakukan secara bilateral,
trilateral, regional, multilateral maupun universal. Dalam hal ini hukum
internasional tidak ada badan formal legislatif di tingkat nasional yang
memiliki wewenang membuat aturan perundang-undangan. Namun, bukan berarti tidak
ada aturan atau hukum internasional yang dihasilkan dalam penyelesaian masalah
tersebut. Jadi, Mayarakat internasional sendirilah yang membuat aturan tersebut.
Apa hukum internasional benar-benar hukum ? Ada suatu teori yang telah
memperoleh pengakuan yang luas yaitu bahwa hukum internasional bukan hukum yang
sebenarnya, melainkan suatu himpunan kaidah perilaku yang hanya mempunyai
kekuatan moral semata. Dalam hal ini juga terdapat sanksi yang menjelaskan
adanya hukum internasional maka tedapat juga pemberian sanksi dan paksaan untuk
mematuhi tersebut dengan tujuan agar suatu negara mematuhi hukum internasional.[3]
C.
HUKUM INTERNASIONAL SEBAGAI HUKUM YANG SESUNGGUHNYA
Dari mana kita tahu bahwa masyarakat menerima dan mengakui hukum
internasional sebagai hukum ? Hal ini dapat dilihat dari beberapa hal seperti :
a)
HI banyak diterapkan dan dipraktekkan oleh pejabat luat negeri.
b)
Negara yang melanggar hukum internasional tidak mengatakan bahwa
mereka melanggar hukum karena HI mengikat mereka.
c)
Mayoritas negara memartuhi hukum internasional.
d)
Ada lembaga penyelesaian hukum.
e)
Praktik HI dapat diterima kedalam hukum nasional negara.
D.
KEKUATAN MENGIKAT HUKUM INTERNASIONAL
Ada beberapa teori tentang dasar kekuatan yang mengikat dalam hukum
internasional. Teori pertama, hukum alam yang merupakan hukum yang tidak
diciptakan melainkan ditemukan di alam kemudian diturunkan kepada manusia lewat
rasio atau akalnya. Teori kedua, Aliran hukum positif merupakan kehendak suatu
negara. Walaupun setuju dan tidak setuju terhadap aturan tersebut,
negara-negara yang baru lahir tersebut akan terikat pada aturan internasional
itu. Teori ketiga, melalui pendekatan sosiologis dimana masyarakat sebagai
makhluk sosial yang selalu membutuhkan interaksi satu sama lain untuk memenuhi
kebutuhan bersama untuk ketertiban dan kepastian hukum.
E.
KELEMAHAN HUKUM INTERNASIONAL
Faktor-faktor bahwa HI diakui masyarakat sebagai hukum yang
sebenarnya dan dipatuhi selayaknya suatu aturan hukum adalah sebagai berikut :
Ø Adanya suatu
kebutuhan dan kepentingan bersama dengan jaminan kepastian hukum dan
ketertiban.
Ø Adanya biaya
politik dan ekonomi yang harus di bayar jika melanggar HI.
Ø Sanksi-sanksi
yang dijatuhkan oleh negara lain, organisasi internasional dan pengadilan.
Ø Adanya faktor
psikologis dimana mereka takut dikecam atau dikutuk oleh pihak lain.
Kelemahan hukum internasional, meliputi :
Ø Kurangnya
Institusi formal penegak hukum.
Ø Tidak jelasnya
aturan-aturan HI.
F.
PERAN DAN PERKEMBANGAN HUKUM INTERNASIONAL
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan HI, pertama
adalah meningkatnya suatu jumlah negara baru akibat proses dekolonisasi. Kedua,
munculnya berbagai organisasi internasional. Ketiga, diakuiya individu sebagai
subjek HI. Keempat, perkembangan teknologi dan komunikasi. Kelima, semakin
berperannya aktor non state dalam peraturan internasional. Keenam, faktor
globalisasi. Ketujuh, seirin berjalannya globalisasi yang kemudian muncul
isu-isu yang mengglobal.
G.
HUKUM INTERNASIONAL, NEGARA MAJU dan BERKEMBANG
Menurut Hikmahanto ada beberapa pemanfaatan HI sebagai instrumen
negara politik yang meliputi :
1.
Sebagai pengubah konsep.
2.
Sebagai sasrana intervensi urusan domestik.
3.
Sebagai alat penekan.
4.
Di sisi lain hukum internasional juga dapat digunakan untuk menolak
tekanan dari pihak lain.
B. SUMBER HUKUM
INTERNASIONAL
A.
MACAM SUMBER HUKUM INTERNASIONAL
Sumber merupakan asal mula dan bahan yang bersifat aktual dimana oleh
seorang ahli hukum dijadikan sebagai kaidah hukum yang berlaku terhadap
kdekuatan tertentu.
Terdapat 5 sumber hukum yang menjadi kaidah dalam hukum
internasional, yaitu :
1.
Kebiasaan.
2.
Traktat-Traktat.
3.
Keputusan-keputusan pengadilan atau pengadilan arbitrase.
4.
Karya-karya hukum.
5.
Keputusan-keputusan atau penetapan-penetapan lembaga-lembaga
internasional.[4]
Dalam pasal 38 (1) Mahkamah Internasional menetapkan bahwa sumber
hukum yang dipakai Mahkamah Internasional dalam mengadili suatu perkara antara
lain :
a.
Perjanjian Internasional
b.
Kebiasaan Internasional
c.
Prinsip-prinsip umum hukum yang diakui oleh negara berdab.
d.
Keputusan pengadilan dan pendapat para ahli yang telah diakui kepakarannya.[5]
Sumber
hukum materil meliputi :
1.
Kebiasaan (Custom)
Istilah kebiasaan dan adat istiadat sering digunakan secara bergantian
namun pada dasarnya berbeda. Adat istiadat merupakan tahapan yang mendahului
adanya kebiasaan yang belum sepenuhnya
memperoleh pengesahan hukum. Sedangkan
kebiasaan merupakan suatu adat istiadat yang telah memperoleh kekuatan hukum.[6]
Adapun kaidah kebiasan yang berasal dari adat istiadat yaitu :
·
Hubungan diplomatik antar negara-negara.
·
Praktek organ internasional.
·
Perundang-undangan negara, keputusan dan praktek militer serta
administreasi negara.
2.
Traktat
Trakat dibedakan menjadi 2:
·
Traktat-traktat yang membuat hukum
Traktat ini pada hakikatnya tidak dapat dijadikan sebagai ketentuan
yang memuat kaidah hukum internasional secara universal. Sehingga terpaksa kita
harus menerima pembagian traktat dengan cara memuat kaidah-kaidah hukum
internasional universal dan menetapkan kaidah-kaidah umum. Namun, penggunaan
istilah ini teah dikritik oleh penulis denga alasan bahwa traktat-traktat ini
tidak sepenuhnya menetapkan kewajiban hukum.[7]
Dalam kritikanya penulis mengabaikan sejumlah konvensi dan perundang-undangan
internasional yang sekarang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga internasional.
Mungkin sebutan traktat-traktat normatif lebih tepat untuk di pakai. Karena
istilah ini meliputi :
·
Traktat-traktat berlaku sebagi instrumen-instrumen aturan secara
umum dan dipakai negara-negara baik atas dasar de facto ataupun sementara.
·
Konvensi-konvensi yang tidak diratifikasi.
·
Traktat-traktat yang tertutup atau hanya ditandatangani oleh
sejumlah negara tertentu saja.
·
Traktat-traktat yang merumuskan kaidah-kaidah hukum regional atau
komunitas.
·
Instrumen yang dipakai negara peserta sebagai kaidah umum.[8]
·
Traktat-traktat kontrak
Suatu
traktat antara dua atau hanya beberapa negara. Dalam traktat-traktat ini ini
antara peserta dapat menjadi hukum khusus. Suatu traktat dianggap mempunyai
nilai pembukti apabila ada suatu kaidah yang dikristalisasikan menjadi hukum
melalui proses perkembangan diri sendiri.[9]
3.
Keputusan Pengadilan
Pasal 59
Statuta Mahkamah Internasional menegaskan bahwa Mahkamah tidak mengakui prinsip
Preseden dan keputusan sebelumnya yang tidak mengikat secara teknis. Tujuannya
adalah bahwa mencegah sebuah prinsip yang sudah dipakai Mahkamah dalam
putusannya digunakan untuk negara lain atas kasus yang berbeda. Keputusan
Mahkamah bukan merupakan sumber formal dari sumber hukum internasional.
Keputusan Peradilan hanya memiliki nilai persuasif.Sementara keputusan
peradilan nasional berfungsi sebagai acuan tidak langsung adanya opinio juris
terhadap suatu praktek negara tertentu.
Hal yang
sama juga berlaku untuk ajaran para ahli hukum internasional. Selain dilihat
sebagai sebuah doktrin yang melengkapi interpretasi sebuah perjanjian,
kebiasaan maupun prinsip umum hukum, sekaligus juga merupakan buki tidak langsung
dari praktek dan opini juris dari suatu negara.
4.
Karya-Karya Hukum
Karya hukum merupakan sumber hukum yang berdiri sendiri. Walaupun
terkadang terdapat opini yang mengatakan bahwa karya hukum hanya hukum yang
mengarah ke pembentukan politik.[10]
Meskipun ada beberapa penulis yang membantah tetapi pada dasarnya tidak
diragukan lagi bahwa opini dapat dijadikan bukti yang bukan hanya sebagai
kaidah kebiasaan yang telah ada, tetapi juga kaidah-kaidah kebiasaan yang harus
dijalani waktu keberadaanya sehingga reaksi opini hukum sangat penting untuk
membantu peralihan dari adat istiadat menjadi kebiasaan.
5.
Pendapat
Para sarjana Hukum Internasional yang terkemuka.
Dalam hukum
internasional kontemporer, ajaran para ahli berfungsi terbatas hanya dalam
analisa fakt-fakta, pembentukan pendapat-pendapat dan kesimpulan-kesimpulan
yang mengarah kepada terjadinya trend atau kecenderungan dalam hukum
internasional. Tentu saja pendapat dan ajaran-ajaran tersebut bersifat pribadi
dan subyektif, namun dengan semakin banyaknya ajaran yang menyetujui akan suatu
prinsip tertentu maka bisa dikatakan akan membentuk suatu kebiasaan baru.
Pendapat dari para pejabat di bagian hukum masing-masing negara, tidak bisa
dianggap sebagai ajaran para ahli hukum internasional namun justru bisa dilihat
sebagai bagian dari praktek negara-negara
B.
SUBYEK-SUBYEK HUKUM INTERNASIONAL
Dalam pembentukan suatu negara maka perlu suatu subyek hukum yang
mengatur negara tersebut. Dalam hukum internasional ada beberapa subyek
internasional dengan unsur-unsur konstitutif sebagi berikut :
a.
Penduduk yang tetap
b.
Wilayah tertentu
c.
Pemerintahan
d.
Kedaulatan.[11]
1.
Penduduk yang tetap
Penduduk merupakan kumpulan individu-individu yang terdiri dari dua
kelamin tanpa memandang suku, bahasa, agama maupun kebudayaan. Dalam penduduk terdapat
tiga cara penetapan kewarganegaraan sesuai hukum nasional :
a.
Jus Sanguinis : Cara penetapan melalui keturunan.
b.
Jus Soli : Cara penetapan kewarganegaraan seseorang ditentukan
melalui tempat kelahirannya dan bukan berdasarkan kewarganegaraan orang.
c.
memperoleh kewarganegaraan setempat setelah memenuhi syarat-syarat
tertentu, seperti mendiami negara tersebut dalam waktu yang cukup lama ataupun
melalui perkawinan
Walaupun
penentuan kewarganegaraan biasanya merupakan wewenang dari suatu negara, namun
setelah berakhirnya Perang Dunia II hukum internasional memberikan perhatian
khusus kepada individu-individu terutam menyangkut perlindungan atas haknya
sebagi warga suatu negara.[12]
2.
Wilayah Tertentu
Dalam hukum internasional, tidak ada syarat penentuan wialayah
untuk dapat dianggap sebagai unsur konstitusi negara. Wilayah suatu negara
terdiri dari daratan, lautan dan udara.[13]
3.
Pemerintahan
Pemerintahan adalah suatu badan eksekutif dalam suatu negara yang
dibentuk melalui prosedur konstitusional untuk menyelenggarakan kegiatan yang
ditugaskan rakyat kepada pemerintahan itu.[14]
4.
Kedaulatan
Sesuai dengan konsep internasional, kedaultan memiliki tiga aspek
utama yaitu
· Aspek Ekstern
Kedaulatan adalah hak bagi negara yang secara bebas menentukan hubungan dengan
berbagai negara tanpa adanya paksaan, tekanan ataupun pengawasan dari negara
lain.
· Aspek Intern
Kedaulatan adalah hak atau wewenangan eksklusif dalam menentukan lembaganya,
cara kerja serta tindakan untuk mematuhi.
· Aspek
Teritorial Kedaulatan adalah kekuasaan penuh dan eksklusif yang dimilik oleh
suatu negara atas individu-individu dan benda-benda yang terdapat diwilayah
tersebut.
Disamping
itu ada berbagai macam bentuk negara dalam melaksanakan berbagai kegiatan dalam
suatu negara seperti negara kesatuan dan negara federal.[15]
C.
HUBUNGAN ANTARA HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL
Ada beberapa teori yang menjelaskan tentang hubungan antara hukum
internasional dan hukum nasional. Dua teori yang dikenal adalah monisme dan
dualisme. Menurut monisme, hukum internasional dan hukum nasional merupakan
aspek yang sama dari suatu sistem pada umunya, sedangkan teori dualisme
menjelaskan bahwa hukum internasional dan nasional terdapat dua sistem hukum yang sama sekali berbeda dimana hukum
internasional mempunyai karakter yang intrinsik dari hukum internasional.
a.
Walaupun kedua sitem hukum tersebut memilki istilah yang berbeda.
Namu subyeknya tetap sam yaitu individu yang terrdapat dalam suatu negara.
b.
Sama-sama mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.[16]
Sedangkan menurut Triepel, terdapat dua perbedaan yang fundamental
antara kedua sistem tersebut, yaitu
a.
Subyek-subyek hukum nasional adalah individu-individu, sedangkan
subyek-subyek hukum internasional adalah semata-mata dan secara eksklusif hanya
negara-negara.
b.
Sumber-sumber hukum yang berbeda : Sumber hukum nasional adalah
kehendak negara itu sendiri, sedangkan sumber hukum internasional adalah
kehendak bersama dari negara-negara.
D.
NEGARA SEBAGAI SUBYEK HUKUM INTERNASIONAL
a.
Pengakuan
Adanya konflik menyebabkan timbulnya persoalan-persoalan bagi
masyarakat internasional. Kemudian dalam hal ini timbul juga pengakuan terhadap
negara baru atau pemerintahan baru.
Ada dua teori pokok mengenai hakikat, fungsi dan pengaruh pengakuan
antara lain, yaitu :
a.
Menurut teori konstitutif, hanya tindakan pengakuanlah yang
menciptakan status kenegaraan yang
melengkapi otoritas lingkungan internasional.
b.
Menurut teori deklarator, status kenegaraan telah ada sebelum
pengakuan dan asas ini juga tidak tergantung pada pengakuan.
Pengakuan dibedakan menjadi 2 yaitu :
a.
Pengakuan Tidak Langsung
Dalam
pengakuan tidak langsung atau diam-diam ini hanya diungkapkan apabila
keadaan-keadaan secara tegas mengidentifikasi kemauan u ntuk menjalin hubungan
secara resmi dengan negara baru. Seperti pengakuan de jure secara tidak langsung
apabila penandatangan resmi melakukan suatu traktat bilkateral oleh negara yang
mengakui dan yang diakui. Hal tersebut berarti perlu ada pengkajian secara
seksam atas traktat bilateral dengan keadaan-keadaan sebelum implikasi
pengakuan itu dianggap sah. Tidak hanya itu, hubungan diplomatik resmi dimulai
antara negara yang mengakui dan diakui dan dikeluarkannya exequatur konsuler
oleh negara yang mengakui konsul yang diakui.[17]
b.
Pengkuan Bersyarat
Akibat
dari pengakuan ini maka menyebabkan apabilakewajiban-kewajiban itu tidak
dipenuhi maka tidak akan menghapus pengakuan karena sekali pengakuan itu
diberikan maka tidak dapat di tarik kembali.[18]
c.
Pengakuan Kolektif
Adanya
keuntungandari pengakuan oleh tindakan kolektifinternasional atau media media
lembaga internasional tidak dapat dibantah.[19]
Ada
beberapa hal kelemahan-kelemahan hukum apabila ada suatu negara yang tidak
diakui, antara lain :
a.
Negara tersebut tidak dapat berperkara di pengadilan negara yang
belum mengakui negara tersebut.
b.
Tindakan-tindakan yang belum diakui pada umumnya tidak akan
berakibat hukum di pengadilan negara yang belum mengakui negara tersebut.
c.
Perwakilannya tidak dapat menuntut imunitas dari proses peradilan.
d.
Harta kekayaan yang dimiliki oleh negara yang belum di akui maka
dapat dimilki oleh wakil-wakil rezim yang telah di gulingkan.[20]
Disisi lain, juga terdapat sesuatu yang mengakibatkan pengakuan
tersebut pasang surut. Di pengadilan-pengadilan inggris, berlakunya pasang
surut pengakuan adalah sebagai berikut :
a.
Didasarkan pada eksestansi pada saat ada perkara dapat batal apbila
sevbelum mendengar bahawa pemerintahan
tersebut mengakuyi adanya negara atau pemerintahan lain.
b.
Dapat dikesampingkan untuk pengajuan bandingnya apabila mengakui
keberadaan negara atau pemerintahan lain.[21]
b.
Organisasi-Organisasi Internasional
Organisasi
internasional merupakan subyek setelah adanya negara. Ada beberapa faktor
perkembangan organisasi antar pemerintahan, yaitu :
a.
Meningkatkan kesadaran para pemimpin negara melalui kerja sama guna
menghindari terjadinya konflik. Sehingga peningkatan kerja sama merupakan suatu
keharusan untuk kelangsungan hidup umat manusia.
b.
Kemajuan komunikasi dan transportasi yang cepat.
c.
Penyelesaian masalah-masalah humaniter sebagai dorongan pembentukan
organisasi internasional.[22]
E.
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL
Perjanjian internasional merupakan instrumen yang paling utama yang
menampung kehendak dan persetujuan negara atau subyek hukum internasional untuk
mencapai tujuan bersama. Pembuatan perjanjian merupakan perbuatan hukum yang
harus mengikat pihak-pihak yang membuat perjanjian itu.[23]
Dengan begitu dapat dipastikan bahwa hukum internasional dibuat secara sah oleh
subyek hukum internasional dan sifatnya yang mengikat. Mulai berlakunya suatu
perjanjian baik bilateral maupun multilateral
pada umunya ditentukan ditentukan oleh klausa penutup dari suatu perjanjian itu
sendiri.[24]
Adapun batal dan berakhirnya suatu perjanjian karena bentuk perjanjian yang
salah dan bertentangan dengan ketentuan hukum nasional dan kekeliruan mengenai unsur
pokok.[25]
Dalam perjanjian internasional dapat dilakukan melaui beberapa tahap yaitu
perundingan, penandatanganan, dan pengesahan. Ada beberapa hal yang menjadi
unsur yang terdapat dalam perjanjian internasional sebagai berikut :
a.
Adanya subyek hukum internasional.
b.
Rejim Hukum Internasional.
F.
PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL
Dalam penyelesian
kasus sengketa secara damai ini ditandatamngani di Den Haag pada tanggal 18
Oktober 1970, yang kemudian di kukuhkan oleh pasal 2 ayat 3 dalam Piagama PBB.
Pada umunya hukum internasional dalam membedakan sengketa nasional adalah
sifatnya yang berbeda yaitu sengketa politik dimana mendasarkan tuntutannya
atas pertimbangan non yuridik dan sengketa hukum dimana mendasrkan sengketa
dari suatu perjanjian yang telah diakui oleh hukum internasional. Namun, dalam
hal ini agak susah untuk membedakan apakah sengketa bersifat politik atau bersifat hukum.[26]
G.
PERANAN
HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP KETERTIBAN DUNIA
Pada dasarnya peran hukum
internasional lebih banyak tertuju pada cara-cara untuk menyelesaikan
masalah-masalah yang terjadi dalam ruang lingkup internasional.
Hubungan-hubungan internasional yang diadakan antar negara tidak selamanya
terjalin dengan baik. Seringkali hubungan itu menimbulkan sengketa di antara
mereka. Sengketa dapat bermula dari berbagai sumber potensi sengketa. Sumber
potensi sengketa antar negara dapat berupa perbatasan, sumber daya alam,
kerusakan lingkungan, perdagangan, dll. Manakala hal demikian itu terjadi,
hukum internasional memainkan peranan, yang tidak kecil dalam penyelesaiannya.
Upaya-upaya
penyelesaian terhadapnya telah menjadi perhatian yang cukup penting di
masyarakat internasional sejak awal abad ke- 20. Upaya-upaya ini ditujukan
untuk menciptakan hubungan-hubungan antara negara yang lebih baik berdasarkan
prinsip perdamaian dan keamanan internasional.
Dewasa ini
ada beberapa peran yang hukum internasional dapat mainkan dalam menyelesaikan
sengketa:
a.
Pada
prinsipnya hukum internasional berupaya agar hubungan-hubungan antar negara
terjalin dengan persahabatan dan tidak mengharapkan adanya persengketaan;
b.
Hukum
internasional memberikan aturan-aturan pokok kepada negara-negara yang
bersengketa untuk menyelesaikan sengketanya;
c.
Hukum
internasional memberikan pilihan-pilihan yang bebas kepada para pihak tentang
cara-cara, prosedur atau upaya yang seyogyanya ditempuh untuk menyelesaikan
sengketanya; dan
d.
Hukum
internasional modern semata-mata hanya menganjurkan cara penyelesaian secara
damai; apakah sengketa itu sifatnya antar negara atau antar negara dengan
subyek hukum internasional lainnya. Hukum internasional tidak
menganjurkan sama sekali cara kekerasan atau peperangan.
Perang
telah digunakan negara-negara untuk memaksakan hak-hak dan pemahaman mereka
mengenai aturan-aturan hukum internasional. Perang bahkan telah telah pula
dijadikan sebagai salah satu wujud dari tindakan negara yang berdaulat. Bahkan
para sarjana masih menyadari adanya praktek negara yang masih menggunakan
kekerasan atau perang untuk menyelesaikan sengketa dewasa ini. Sebaliknya, cara
damai belum dipandang sebagai aturan yang dipatuhi dalam kehidupan atau
hubungan antar negara. Pada umumnya metode penyelesaian sengketa internasional
digolongkan dalam dua kategori yaitu :
Cara-cara
Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Damai atau Bersahabat :
a.
Negoisasi
Negosiasi
adalah cara penyelesaian sengketa yang paling dasar dan yang paling tua
digunakan oleh umat manusia. Penyelesaian melalui
negosiasi merupakan cara yang paling penting. Banyak sengketa diselesaikan
setiap hari oleh negosiasi ini tanpa adanya publisitas atau menarik perhatian
publik. Alasan utamanya adalah karena dengan cara
ini, para pihak dapat mengawasi prosedur penyelesaian sengketanya dan setiap
penyelesaiannya didasarkan pada kesepakatan atau konsensus para pihak.
b.
Pencarian
Fakta (fact finding)
Metode
penyelesaian sengketa ini digunakan untuk mencapai penyelesaian sebuah sengketa
dengan cara mendirikan sebuah komisi atau badan untuk mencari dan mendengarkan
semua bukti-bukti yang bersifat internasional, yang relevan dengan
permasalahan.
c.
Good
Offices (Jasa-jasa Baik)
Jasa-jasa
baik adalah suatu cara penyelesaian sengketa melalui pihak bantuan pihak yang
ketiga. Pihak ketiga ini berupaya agar para pihak menyelesaikan sengketanya
dengan negoisasi. Fungsi dari jasa-jasa baik yang paling utama adalah
memperemukan para pihak agar mereka mau bertemu, duduk bersama dan bernegoisasi
atau dikenal dengan nama fasilisator.
d.
Mediasi
Yang menjadi pihak ketiga ini organisasi internasional, negara ataupun
individu. Pihak ketiga ini dalam sengketa ini dinamakan mediator.
Biasanya ia dengan kapasitasnya sebagai pihak yang netral berupa
mendamaikan para pihak dengan memberikan saran penyelesaian sengketa. Fungsi utamanya adalah mencari solusi (penyelesaian) mengidentifikasi,
hal-hal yang dapat disepakati para pihak serta membuat usulan-usulan yang dapat
mengakhiri sengketa, informal, dan bersifat aktif. Dalam proses negoisasi
sesuai dengan pasal 3 dan 4 haque convention on the pacific settlement
of disputes (1907) yang menyatakan bahwa usulan-usulan yang diberikan
mediator janganlah dianggap sebagai suatu tindakan yang bersahabat terhadap
suatu pihak (yang merasa merugikan).
e.
Konsiliasi
Konsiliasi
adalah cara penyelesaian sengketa yang sifatnya lebih formal dibandingkan
mediasi. Biasanya konsiliasi ini berbentuk badan konsiliasi yang dibentuk oleh
para pihak melalui perjanjian. Komisi ini berfungsi untuk menetapkan
persyaratan-persyaratan penyelesaian yang diterima oleh para pihak, sehingga
lebih formal atau luas karena ada aturan dan ada lembaga atau lembaganya.
Para pihak
mendengarkan keterangan lisan para pihak dan dapat diwakkili oleh kuasanya.
Hasil fakta-fakta yang diperoleh konsilator (sebutan dari konsiliasi)
menyerahkan laporannya kepada para pihak dengan kesimpulan dan
usulan-usulannya, dan putusannya tidak mengikat karena diterima atau tidaknya
usulan tersebut tergantung sepenuhnya kepada para pihak.
f.
Arbitrasi
Biasanya
arbitase menunjukkan pada prosedur yang persis sama sebagaimana dalam hukum
nasional yaitu menyerahkana sengketa kepada orang-orang tertentu yang dinamakan
arbitrator, yang dipilih bebas oleh para pihak.
g.
Penyelesaian
Yudisial.
Penyelesaiaan
yudisial berarti suatu penyelesaian yang dihasilkan melalui suatu yang
penagdilan internasional yang dibentuk sebagaimana mestinya, dengan
memberlakukan kaidah-kaidah hukum. Salah satunya “organ umum” untuk
penyelesaian yudisial yang saat ini tersedia dalam masyarakat
inetrnasional adalah International Court of justice di the Haque yang
menggantikan dan melanjutkan kontinuitas Permanent Court of International
Justice. Pengukuhan lembaga ini dilaksanakan pada tanggal 18 april 1946
oleh dewan majelis PBB.
Adapun
penyelesaian dengan cara kekerasan antara lain :
a.
Perang dan
Tindakan bersenjata Non perang
Keseluruhan
tujuan perang adalah untuk menaklukan negara lawan dan mebebankan syarat-syarat
penyelesaiaan diamana negara yang ditaklukan itu tidak memiliki alternative
lain selain mematuhinya.
b.
Retorsi (retorsion)
Retorsi
adalah istilah teknik pembalasan dendam oleh suatu negara terhadap
tindakan-tindakan yang tidak pantas aatau tidak patut dari negara lain, balas
dendam tersebut dilakuakna dalam bentuk tindakan-tindakan sah yang tidak
bersahabat didalam konferensi negara yang kehormatannya dihina: misalnya
merenggangnya hubungan diplomati anta 2 negara, pencabutan previllage
diplomatic dan lain-lain.
c.
Tindakan-tindakan
Pembalasan (Repraisals)
Pembalasan
adalah tindakan yang dipakai oleh negara-negara untuk mengupayakan diperolehnya
ganti rugi dari negara-negara lain dengan melakukan tindakan-tindakan yang
besifat pembalasan. Saat ini praktek pembalasan hanya dibenarkan, apabila
negara yang dituju oleh pembalasan ini bersalah melakukan tindakan yang
sifatnya merupakan pelanggaran internasional. Contoh nyata tindkan pembalsan,
misalnya pengusiran orang-orang hungaria dari Yugoslavia pada tahun 1935, yang
merupakan balas dendam dari pembunuhan raja Alexander dari yugoslavia.
d.
Blokade Secara Damai (pacific
Blokade)
Blokade secara damai adalah suatu tindakan yang dilakukan secara damai.
Kadang-kadang dilakukan sebagi suatu pembalasan, tindakan itu pada umumnya
ditujukan untuk memaksa negara yang pelabuhannya diblokade untuk mentaati
permintaan ganti rugi kerugian yang diderita oleh negara untuk meblokade. Tindakan ini merupakan cara yang jauh dari kekerasan dibanding dengan
perang dan blokade yang sifatnya fleksibel.
[1] J.G.Starke.Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika,
Jakarta,2010, hlm. 3.
[2] Boer Mauna.Hukum Internasional, PT Alumni, Bandung, 2003, hlm.
1.
[3] J.G.Starke.Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika,
Jakarta,2010, hlm. 19.
[4] J.G.Starke.Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika,
Jakarta,2010, hlm. 42.
[5] Boer Mauna.Hukum Internasional, PT Alumni, Bandung, 2003, hlm.
8.
[6] J.G.Starke.Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika,
Jakarta,2010, hlm. 45.
[7] Ibid., 52
[8] J.G.Starke.Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika,
Jakarta,2010, hlm. 52.
[9] Ibid., 55
[10] Ibid,. 61
[11] Boer Mauna.Hukum Internasional, PT Alumni, Bandung, 2003, hlm.
17.
[12] Boer Mauna.Hukum Internasional, PT Alumni, Bandung, 2003, hlm.
17-20
[13] Ibid,. 20-21
[15] Ibid,. 23-38
[16] Boer Mauna.Hukum Internasional, PT Alumni, Bandung, 2003, hlm.
12.
J.G.Starke.Pengantar Hukum
Internasional, Sinar Grafika, Jakarta,2010, hlm. 173.
[17] J.G.Starke.Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika,
Jakarta,2010, hlm. 180.
[18] Ibid,. 181
[19] Ibid,. 182
[20] Ibid,. 192
[21] J.G.Starke.Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika,
Jakarta,2010, hlm. 195.
[22] Boer Mauna.Hukum Internasional, PT Alumni, Bandung, 2003, hlm.
53.
[23] Ibid,. 82-83
[24] Ibid,. 124
[25] Boer Mauna.Hukum Internasional, PT Alumni, Bandung, 2003, hlm.
149.
[26] Ibid,. 195
No comments:
Post a Comment