Saturday, February 29, 2020

MAKALAH HUKUM AGRARIA INDONESIA


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
   Tanah merupakan salah satu sumber kehidupan yang sangat vital bagi manusia, baik dalam fungsinya sebagai sarana untuk mencari penghidupan (pendukung mata pencaharian) di berbagai bidang seperti pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, industri, maupun yang dipergunakan sebagai tempat untuk bermukim dengan didirikannya perumahan sebagai tempat tinggal.
Ketentuan yuridis yang mengatur mengenai eksistensi tanah yaitu terdapat dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA), yang merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Adapun pengejawantahan lebih lanjut mengenai hukum tanah banyak tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan lainnya seperti Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah; Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak atas Tanah; dan lain-lain.
Dalam ruang lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari bumi yang disebut permukaan bumi. Tanah yang dimaksudkan di sini bukan mengatur tanah dalam segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya yaitu tanah dalam pengertian yuridis yang disebut hak. Tanah sebagai bagian dari bumi disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA yaitu “Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.”


                                                                                             


BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Hukum Agraria
            Kata agrarian berasal dari kata akke (  Belanda ), agros ( Yunani ) berarti tanah pertanian. Agger ( Latin ) berarti tanah atau sebidang tanah, agrarius ( Latin ) berarti perladangan, persawahan, pertanian. agrarian ( Inggris ) berarti tanah untuk pertanian.
            Dalam Black’s Law Dictionary disebutkan bahwa arti “ agrarian is relating to land, or to a division or dictribution of land; as an agrarian laws ”(Henry Campbell Black, 1991, hlm. 43), yaitu menunjukan pada perangkat peraturan – peratuan, hukum yang bertujuan mengadakan pembagian tanah yang luas dalam rangka lebih meratakan penguasaan dan pemilikannya. Prent K Adusubrata, J. Poerwardaminta, W.J.S ( 1990 ) menggunakan istilah agrarius berarti peladangan, persawahan, pertanian. [1]
            Hukum Agraria adalah keseluruhan kaidah hukum tertulis dan tidak tertulis yang mengatur agrarian. Menurut Undang – Undang No. 5 Tahun 1960 ( Undang – Undang Pokok Agraria ) yang dimaksud dengan agrarian adalah bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnnya, bahkan sampai batas – batas tertentu termaksud juga ruang angkasa semu yang terkandung kedalam wilayah Indonesia adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa yang merupakan kekayaan bangsa indonesia.
            Pengertian bumi menurut UUPA bukan hanya meliputi permukaan bumi itu saja , tetapi juga termaksuk tubuh bumi dan kekayaan yang berada dibawah air. Yang dimaksud dengan air adalah air laut ( lautan ) maupun di perairan pedalaman dan lautan tersebut hanyalah sebatas pada laut yang termasuk Wilayah Negara RI ( ayat(5)). Ruang angkasa adalah ruang angkasa diatas bumi dan lautan yang termasuk Wilayah RI ( ayat(6)).
Seluruh bumi, air, ruang angkasa, dan seluruh kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara, oleh karenannya Negara berwenang untuk :
1.    Mengatur, menyelenggarakan keperuntukan, penggunaan, pemeliharaan terhadapnya
2.    Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang dengan bumi, air dan ruang angkasa.
3.    Menentukan dan mengatur hubungan antara orang dan perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.

2.2 Sejarah Perkembangan Hukum Agrarian
Sebelum UUPA berlaku ( sebelum tanggal 24 september 1960 ), Hukum Agraria di Indonesia bersifat dualitis, karena Hukum Agraria pada waktu itu bersumber pada Hukum Adat atau Hukum Perdata Barat.
Hukum Agraria yang berdasarkan pada Perdata Barat yang berlaku sebelum 24 September 1960 tersusun dari sumber yang berasal dari pemerintah jajahan, sehingga tidak mustahil bahwa didalamnya terselubung tujua pemerintah jajahan yang hanya menguntungkan pihaknya. Keadaan semacam ini berakibat bahwa beberapa ketentuan Hukum Agraria yang berlaku pada waktu itu menjadi bertentangan dengan kepentingan rakyat Indonesia.
Hukum Perdata Barat yang menyangkut agraria diberlakukan hanya bagi orang – orang yang termasuk dalam golongan Eropa dan golongan Timur Asing. Adapun tanah – tanahyang dikuasai oleh kedua golongan penduduk tersebut dinamakan tanah dengan hak – hak barat.
Tanah dengan Hak Adat adalah yang tunduk pada tanah Hukum Adat dan khusus berlaku bagi golongan penduduk bumi putra ( pribumi ). Corak Hukum Agraria yang dualitis ini berlaku sampai dengan tahun 1959, dan pada waktu itu pemerintah berusaha untuk dalam waktu dekat melahirkan Hukum Agraria baru yang bersifat nasional. Pada tanggal 24 September 1960 dijadikanlah Undang –Undang No. 5 tahun 1960 melalui lembaran Negara 1960 No 104, yaitu Undang – Undang yang mengatur tentang agraria, yang diberi nama Undang – Undang Pokok Agraria ( UUPA ).
Dengan berlakunya UUPA sejak 24 September 1960 maka ada beberapa peraturan tertulis yang mengatur tentang agrarian dinyatakan dicabut. Peraturan yang dimaksud sebagai berikut :
1.    KUHPerdata khususnya yang mengatur tentang Hak eigendom, Hak erpacht, Hak Opstal, dan Hak lainnya.
2.    Agrarische Wet Staatsblad 1870 No. 55 sebagaimana yang termuat dalam pasal 51 IS.
3.    Domein Verklaring, tersebut dalam keputusan agraria ( Agrariaris Bestluit ), Staatsblad 1870 No. 118.
4.    Algemene Domein Verklaring, tersebut dalam Staatsblad 1875 No. 119 a.
5.    Domein Verklaring, untuk Sumatra tersebut dalam pasal 1 Staatsblad 1874 No. 94 f,Dll.
Dengan berlakunnya UUPA sejak 24 September 1960, hilangnnya dualism Hukum Agraria dan terciptalah unifikasi Hukum Agraria di Indonesia.
     HukumAgraria baru disusun dengan dasar Hukum Adat, sehingga Hukum Agraria Adat mempunyai peran penting dalam sejarah lahirnya UUPA. Berlakunnya UUPA tidak berarti bahwa Hak Ulayat tidak diakui lagi. Hak Ulayat tersebut masih diakui sejauh masih tidak mengganggu pembangunan Nasional untuk kepentingan umum. Maka dapat dikatakan bahwa Hukum Agraria mengatur bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya hukum adat sejauh tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional dan Negara ( Pasal 5 UUPA). Semua Hak atas tanah dinyatakan berfungsi sosial ( pasal 6 UUPA ).
     Tujuan Hukum Agraria adalah:
1.    Meletakkan dasar bagi penyusunan Hukum Agraria Nasional, yang merupakan sarana untuk mewujudkan kemakmuran, kebahagiaan, keadilan bagi rakyat dan Negara, terutama rakyat tani dalam rangka menuju ke masyarakat adil makmur.
2.    Meletakkan dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan Hukum Pertanahan.
3.    Meletakkan dasar untuk memberikan kepastian Hukum mengenai Hak – Hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya. [2]

2.3 Konsepsi Hukum Agraria Nasional
1.    Sifat Komunalistik Religius
Sifat komunalisti religious konsepsi Hukum Tanah Nasional ditunjukkan oleh Psal 1 ayat 2:Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagi karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.
Kalau dalam Hukum Adat tanah ulayat merupakan tanah bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan, mak dalam Hukum Tanah Nasional semua tanah dalam wilayah Negara kita adalah tanah bersama seluruh rakyat Indonesia, yang telah bersatu menjadi bangsa Indonesia. Pernyataan ini menunjukkan sifat Komunalistik konsepsi hukum Tanah Nasional.
Unsur religious konsepsi ini ditunjukan oleh pernyataan, bahwa bumi, air dan ruang angkasa Indonesia, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya, merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia. Dalam konsepsi Hukum Adat sifat keagaamn Hak Ulayat masih belum jelas benar, dengan rumusan, bahwa tanah ukayat sebagai tanah bersama adalah “peninggalan nenek moyang” atau sebagi “karunia sesuatu kekuatan yang gaib”. Dengan adanya sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” maka, dalam Hukum Tanah Nasional, tanah yang merupakan tanah bersama Bangsa Indonesia, secara tegas dinyatakan sebagai Karunia Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian sifat religiusnya menjadi jelas benar.
Suasana religius Hukum Tanah Nasional tampak juga dari apa yang dinyatakan dalam Konsederans/Berpendapat dan pasal5, sebagai pesan atau peringatan kepada pembuat Undang-Undang, agar dalam membangun Hukum Tanah Nasional jangan mengabaikan, melalaikan, harus mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.

2.    Hak Bangsa Indonesia
Hak bangsa atas tanah tercermin dala kesatuan pasal 1 ayat (1) dan (2). Pasal 1 ayat (1) berbunyi : “ seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dan seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia ”. Pasal 1 ayat (2) berbunyi : “ Seluruh bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air sertaruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan Nasional.
Didalam penjelasan umum bumi, air dan ruang angkasa dalam wilayah Indonesia kemrdekaannya diperjuangkan oleh bangsa sebagai keseluruhan, menjadi Hak dari bangsa Indonesia, jadi tidak semata – mata menjadi Hak dari para pemilik saja. Demikian pula tanah-tanah di daerah dan pulau-pulau, tidaklah semata-mata menjadi hak Rakyat asli dari daerah tersebut. Dengan pengertian demikian maka hubungan bangsa Indonesia dengan bumi, air dan ruang angkasa Indonesia merupakan semacam hubungan Hak Ulayat, yang diangkat pada tingkatan yang paling atas, yaitu tingkatan yang mengenai seluruh wilayah Negara.
Kosepsi hak bangsa dalam Hukum Tanah Nasional merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi. Dengan kata lain bahwa hak-hak penguasaan atas tanah yang lain, termasuk Hak Ulayat dan Hak-hak individual atas tanah yang dimaksudkan oleh penjelasan umum, secara langsung atau tidak langsung, semuanya bersumber pada Hak Bangsa.
3.    Hak Menguasai Negara
Hak menguasai Negara diatur dalam pasal 22 UUPA yang menentukan sebagai berikut:
a.    Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar dalam hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan  ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu, pada tingkatan yang tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi seluruh rakyat;
b.    Hak menguasai dari Negara termasuk dalam ayat (1) pasal ini member wewenang untuk:
1)   Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
2)   Menetukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa.
3)   Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.
c.    Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat(2) pasal ini, digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil makmur;
d.   Hak menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swantara dan masyarakat-masyarakat Hukum Adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.
Hak menguasai Negara dimaksud adalah memberikan kewenangan kepada lembaga hukum dan hubungan hukum konkret antara Negara dengan tanah Indonesia. Kewenangan Negara tersebut merupakan pelimpahan tugas bangsa, sehingga kewenangan tersebut bersifat semata – mata bersifat publik.
     Negara dalam hal ini bukan sebagai suatu suatu badan hukum yang memiliki, akan tetap Negara diberikan kewenangan untuk mengatur sebagaimana tercantum dalam pasal 2 ayat (2) di atas.
Berdasarkan penjelasan Umum angka II, perumusan kewenangan Negara ini di dalam UUPA adalah : berpangkal pada pendirian, bahwa untuk mencapai apa yang ditentukan dalam pasal 33 ayat (3) UUD tidak perlu dan tidak  pada tempatnya, bahka Bangsa Indonesia ataupun Negara bertindak sebagai pemilik tanah. Adalah lebih tepat jika Negara, sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat ( bangsa ) bertindak selaku bangsa penguasa.
                 Selanjutnya dalam penjelasan Paasal 2 menyatakan bahwa: “Soal Agraria menurut sifatnya dan pada asasnya merupakan tugas Pemerintah Pusat ( Pasal 33 ayat (3) UUD”). Asas  ini sangat penting untuk dipertahankan guna melestarikan persatuan dan kesatuan Bangsa serta wilayah Nasional Indonesia. Oleh karena itu, tugas kewenangan di bidang agraria / pertanahan tidak boleh diotonamikan kepada Daerah dan harus tetap ada pada Pemerintah Pusat. Pelaksanaan pelimpahan sebagian kewenangan tersebut kepada daerah dapat dilakukan dalam bentuk “ Medebewind ”.


4.  HAK – HAK PERORANGAN ATAS TANAH
Menurut konsepsi UUPA baik dalam lingkup hak ulayat maupun dalam lingkup hak bangsa dimungkinkan warga Negara Indonesia untuk memperoleh hak – hak perorangan atau individu atas tanah. Hal ini tercermin dalam ketentuan Pasal 4 Ayat (1) yang menetukan : atas hak dasar menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2, ditentukan macam – macam hak atas permukaan bumi sebagai yang disebut tanah yang dapat diberikan dan dipunyai oleh orang – orang baik sendiri maupun bersama – sama serta badan – adan hukum.
Ketentuan tersebut menunjukan bahwa dalam konsepsi hukum tanah nasional,tanah tersebut dapat dikuasi dan pergunakan secara individual tidak ada keharusan untuk menguasai dan menggunakan secara kolektif. Sifat pribadi hak – hak individual menunjuk kepada kewenangan pemegang hak untuk mengunakan tanah yang bersangkutan bagi kepentingannya dan memnuhi kebutuhan pribadi dan keluarganya.
Dalam pasal 9 ayat (2) menentukan, bahwa tiap – tiap warga Negara baik laki – laki maupun perempuan mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh suatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya baik diri sendiri maupun keluargannya.
Hak – hak atas tanah yang individual tersebut dalam konsep hukum tanah nasional mengandung unsure kebersamaan atau unsure kemasyarakatan baik secara langsung maupun secara tidak langsung bersumber pada hak bangsa. Hak atas tanah yang langsung bersumber pada hak bangsa adalah yang disebut “ hak – hak primer ” yaitu: hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai yang diberikan oleh Negara, sebagai petugas bangsa. Hak bangsa adalah yang disebut hak – hak sekunder yaitu hak – hak yang diberikan oleh pemegang hak primer, seperti hak sewa, hak bagi hasil, hak gadai dan hak penumpang dan hak – hak lainnya. Dalam Pasal 6 dijelaskan semua hak atas tanah berfungsi sosial.
5.   HUBUNGAN HUKUM AGAMA DENGAN HUKUM TANAH NASIONAL
Antara hukum agama dengan hukum tanah nasional mempunyai hubungan yang sangat erat. Hal ini tercermin dalam konsideran dalam berpendapat dan ketentuan pasal UUPA dinyatakan : “ … perlu adanya Hukum Agraria Nasional yang berdasarkan Hukum Adat tentang tanah yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia dengan tidak mengabaikan unsur – unsur yang berdasar hukum agama ”. Pasal 5 menentukan : “ Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air, ruang angkasa ialah hukum adat,…,segala sesuatu dengan mengindahkan unsur – unsur yang berdasarkan hukum agama ”.
Hal ini menunjukan bahwa hukum tanah nasional bersumber pada hukum adat yang bersandar pada ketentuan hukum agama, hukum adat tidak boleh mengabaikan hukum agama dan kepentingan nasional maupun daerah.[3]

2.4 Hak Ulayat
Hak ulayat adalah serangkaian wewenang dan kewajiban masyarakat hukun adat tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan ulayatnya, sebagai “ lebensraum  "” para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam termasuk tanah yang ada dalam wilayah tersebut. Hak ulayat masyarakat persekutuan hukum adat diatur didalam UUD 1945 ( Amandemen ) Pasal 18 B ayat (2) yang menentukan : “ Negara mengakui dan menghormati kesatuan – kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak – hak tradisionalnnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara kesatuan Republik Indonesia yang diatur didalam Undang – Undang. Pasal 3 UUPA Yang menentukan “ Dengan mengingat ketentuan – ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak – hak yang serupa dari msyarakat hukum adat, sepanjang menurutnya kenyataan masyarakat, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara yang berdasarkan persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang – Undang dengan peraturan lain”.
Objek hak ulayat adalah semua tanah yang terdapat dalam lingkungan masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Sedangkan subjeknya adalah semua anggota masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Orang yang daei luar masyarakat hukum adat boleh memanfaatkan tanah yang berada dalam wilayah ulayat dengan seizing penguasa adat setempat.
Masyarakat hukum adat di wilayah hukum Negara Indonesia terdapat macam – macam hak ulayat dan masing – masing wilayah tersebut berbeda namanya. Adapun nama – nama hak ulayat tersebut sebagai berikut : Ambon mengenal “ Hak perantauan “, Kalimantan “ Panyampeto ”, Jawa “ Wewengkon ”, Bali “ Prabumian ”, Lombok “ Tanah Paer ” dan Mingangkabau “ Ulayat ”.
 adat dilarang masuk tanpa izin peguasa adat boleh masuk dengan syarat  membayar apa yang disebut “ Pengisi Adat ”. jika orang luar masuk tanpa izin dianggap melakukan tindak pidana yang akan dikenai sanksi sesuai dengan hukum adat yang berlaku di wilayah tersebut.[4 


BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
            Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (UUPA) bertujuan melakukan pembaruan Hukum Agraria lama dengan meletakkan dasar-dasar hukum bagi kesatuan dan kesederhanaan Hukum Agraria Nasional, serta memberikan kepastian dan Hak.
            Dengan Lahirnya UUPA, Hukum warisan Hindia Belanda yang diatur dalam buku II BW  tentang benda khusus tanah, dan pelaksanaannya dihapus, kemudian pemerintah membentuk peraturan lebih lanjut sumber Agraria yang bertujuan melindungi, menguasai, mengatur, mengelola, dan memanfaatkan sumber daya alam.
 
3.2 Saran
   Kami menyarankan kepada pemerintah untuk lebih menguasai hak-hak yang seharusnya dikuasai oleh negara. Dan lebih mempertanggung jawabkan atas konsekuensinya yang telah dicatat dan yg telah dipertanggung jawabkan oleh pemerintah agar pemerintah lebih menguasai hak atas tanahnya dan dibatasi mana yg milik negara dan mana yang bukan milik negara karna hak atas milik tanah negara sudah tercampur dengan hak milik atas tanah orang lain.


DAFTAR PUSTAKA
ARBA, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2016).
Masriani,Yulies Tiena, Pengantar Hukum Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika,2004)


[1] Yuiles Tiena Masriani,Pengantar Ilmu Hukum Indonesia,Jakarta:Sinar Grafika.hlm.118.
[2] Ibid.Hlm.119.
[3] Arba, Hukum Agraria Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika.Hlm.75.
[4] Ibid.Hlm.95.

No comments:

SEJARAH PERADABAN ISLAM PADA AWAL PERMULAAN ISLAM SAMPAI DENGAN KHULAFAURRASYIDIN

                                                                                     BAB I                                            ...