BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat masih banyak kalangan umat Islam
yang masih meragukan bahwa tasawuf itu tidak bersumber dari ajaran agama Islam.
Padahal sebenarnya tasawuf adalah pokok-pokok ajaran dari Nabi Muhammad SAW
yang didiskusikan dengan para sahabat Nabi tentang apa-apa yang diperolehnya
dari malaikat Jibril berkenaan dengan pokok-pokok ajaran Islam, yakni:
Islam,Iman dan Ihsan. Ketiga sendi pokok ini diimplementasikan dalam
pelaksanaan tasawuf sebagaimana diriwayatkan oleh Hadits Iman Bukhari dan
Muslim.
Dasar-dasar tasawuf telah ada sejak datangnya agama Islam, hal ini dapat
diketahui dari kehidupan Rasulullah SAW. Cara hidup beliau yang kemudian
diteladani dan diikuti oleh para sahabat, Sebagaimana terterah dalam Al-Qur’an
Surat An-Najm : 11-13, Surat At-Takwir 22-23. Kemudian ayat-ayat yang
menyangkut aspek moralitas asketisme, Sebagai salah satu masalah prinsip dalam
tasawuf, para sufi merujuk kepada Al-Qur’an sebagai landasan utama. Karena
manusia mempunyai kecenderungan sifat baik dan sifat jahat, sebagaimana yang
dinyatakan : “Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan
ketaqwaan”, maka harus dilakukan pengikisan terhadap sifat yang jelek dan
pengembangan sifat-sifat baik, “Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan
jiwa itu”.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Ilmu Tasawuf?
2. Bagaimana sejarah kemunculan Ilmu Tasawuf?
3. Apa saja konsep dasar tasawuf?
4. Apa saja manfaat mempelajari Ilmu Tasawuf?
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
DEFINISI TASAWUF
Ø PENGERTIAN
TASAWUF SECARA LUGHAWI
Secara etimologi, pengertian tasawuf ada beberapa
macam, yaitu :
Pertama, tasawuf berasal dari
kata shafa. Kata shafa ini berbentuk fi’il
mabni majhul sehingga menjadi isim
mulhaq dengan huruf ya’ nisbah, yang berarti nama bagi orang-orang yang
“bersih” atau “suci”. Maksudnya adalah orang-orang yang menyucikan dirinya di
hadapan Tuhan-Nya.
Kedua, istilah
tasawuf berasal dari kata shaf. Makna
shaf ini dinisbahkan kepada orang-orang yang ketika
shalat selalu berada di saf yang paling depan.
Ketiga,
tasawuf dinisbahkan dengan kata istilah bahasa Yunani, yaitu saufi. Istilah ini disamakan maknanya
dengan kata hikmah, yang berarti
kebijaksanaan.[1]
Keempat,
tasawuf berasal dari kata shaufanah, yaitu
sebangsa buah-buahan kecil yang berbulu dan banyak tumbuh di padang pasir di
tanah Arab. Ini dilihat dari pakaian kaum sufi yang berbulu-bulu seperti buah
itu pula, dalam kesederhanaannya.[2]
Dari beberapa terma tersebut, yang
banyak diakui kedekatannya dengan makna tasawuf yang dipahami sekarang ini
adalah terma keenam,
yaitu terma shuf. Walaupun dalam
kenyataannya tidak setiap kaum sufi memakai pakaian wol.
Ø PENGERTIAN
TASAWUF SECARA ISTILAH
Pengertian
tasawuf secara istilah telah banyak diformulasikan oleh para ahli, diantaranya
:
1. Ketika
ditanya tentang tasawuf, Al-Jurairi menjawab :
“Memasuki ke dalam segala budi
(akhlak) yang bersifat sunni, dan keluar dari budi pekerti yang rendah.“
2. Al-Junaidi
memberikan rumusan tentang tasawuf sebagai berikut :
“
(Tasawuf) adalah bahwa yang Hak adalah yang mematikanmu dan Haklah yang
menghidupkanmu.”
3. ‘Amir bin Usman Al-Makki pernah mengatakan :
“(Tasawuf)
adalah seseorang hamba yang setiap waktunya mengambil waktu yang utama.”
4. Muhammad
Ali Al-Qassab memberikan ulasannya sebagai berikut :
“Tasawuf
adalah akhlak yang mulia, yang timbul pada masa yang mulia dari seorang yang
mulia di tengah-tengah kaumnya yang mulia.”
Dari beberapa ungkapan
itu, lebih utama manakala kita menyimak apa yang telah disimpulkan oleh Al-Junaedi : Tasawuf adalah membersihkan hati dari
apa yang mengganggu perasaan kebanyakan makhluk, berjuang menanggalkan pengaruh
budi yang asal (instink) kita, memadamkan sifat-sifat kelemahan kita sebagai
manusia, menjauhi segala seruan dari hawa nafsu, mendekati sifat-sifat suci
kerohanian, dan bergantung pada ilmu-ilmu hakikat, memakai barang yang penting
dan terlebih kekal, menaburkan nasihat kepada semua umat manusia, memegang
teguh janji dengan Allah SWT. dalam hal hakikat dan mengikuti contoh Rasulullah
SAW dalam hal syariat.”[4]
Jadi,
dapat disimpulkan bahwa : Ilmu Tasawuf adalah ilmu yang mempelajari usaha
membersihkan diri, berjuang memerangi hawa nafsu, mencari jalan kesucian dengan
makrifat menuju keabadian, saling mengingatkan antara manusia, serta berpegang
teguh pada janji Allah SWT dan
mengikuti syariat Rasulullah SAW dalam
mendekatkan diri dan mencapai keridhaanNya.
2.2 SEJARAH KEMUNCULAN TASAWUF
Menurut al-Dzahabi, istilah sufi mulai dikenal pada abad ke-2 Hijriyah,
tepatnya tahun 150 H. Orang pertama yang dianggap memperkenalkan istilah ini
kepada dunia Islam adalah Abu Hasyim al-sufi atau disebut Abu Hasyim al-kufi,
tetapi pendapat lain menyebutkan bahwa tasawuf baru muncul di dunia Islam pada
awal abad ke-3 Hijriyah yang dipelopori oleh al-kurkhi seorang yang berasal
dari persia. Tokoh ini mengembangkan pemikiran bahwa cinta (mahabbah) kepada
Allah adalah sesuatu yang tidak diperoleh melalui belajar, melainkan karena
faktor pemberian (mauhibah) dan keutamaan dari-Nya, adapun tasawuf baginya
adalah mengambil kebenaran-kebenaran hakiki.
Tasawuf kemudian semakin berkembang dan meluas ke penjuru dunia Islam pada
abad ke-4 H dengan sistem ajaran yang semakin mapan. Belakangan, al-Ghazali
menegaskan tasawuf atau hubbullah (cinta kepada Allah) sebagai keilmuan yang
memiliki kekhasan tersendiri di samping filsafat dan ilmu kalam. Pada abad ke-4
dan ke-5 Hijriyah inilah konflik pemikiran terjadi antara kaum sufi dan para
fuqaha’. Umumnya, kaum sufi dengan berbagai tradisi spiritual yang
dikembangkannya dipandang oleh para disiplin spiritual yang dikembangkannya
dipandang oleh para fuqaha’ sebagai kafir, zindiq dan menyelisihi aturan-aturan
syari’at. Konflik ini terus berkelanjutan pada abad berikutnya, terlebih lagi
ketika corak falsafi masuk dalam tradisi keilmuan tasawuf dengan tokoh-tokohnya
seperti Ibn al-‘Arabi dan Ibn al-Faridl pada abad ke-7 H.
Realitas inilah yang kemudian menimbulkan pembedaan dua corak dalam dunia
tasawuf, yaitu tasawuf ‘amali (praktis) dan tasawuf nazari (teoritis). Tasawuf
praktis disebut juga tasawuf sunni atau akhlaki merupakan bentuk tasawuf yang
memagari diri dengan al-Qur’an dan al-Hadist secara ketat dengan penekanan pada
aspek amalan dan mengaitkan antara ahwal dan maqamat.
Sedangkan tasawuf teoritis disebut juga tasawuf falsafi yang cenderung
menekankan pada aspek pemikiran metafisik dengan memadukan antara filsafat
dengan ketasawufan (Shihab, 2001:120).
Secara mendasar kemunculan pemikiran tasawuf adalah sebagai reaksi terhadap
kemewahan hidup dan ketidakpastian nilai (Al-Afifi, 1987: 20). Tetapi secara
umum tasawuf pada masa awal perkembangannya mengacu pada tiga alur pemikiran,
yaitu :
1.
Gagasan tentang kesalehan yang menunjukkan keengganan
terhadap kehidupan urban dan kemewahan.
2.
Masuknya gnostisisme Helenisme yang mendukung corak
kehidupan pertapaan daripada aktif di masyarakat.
3.
Masuknya pengaruh Buddhisme yang juga memberi
penghormatan pada sikap anti-dunia.
Terdapat 3 sasaran dari tasawuf, di antaranya :
a)
Pembinaan aspek moral
b)
Ma’rifatullah melalui metode kasyf al-hijab
c)
Bahasan tentang sistem pengenalan dan hubungan kedekatan
antara Tuhan dan makhluk.
2.3 KONSEP DASAR TASAWUF
Ø
KONSEP
Pada hakikatnya Islam adalah agama
yang berwatak profetik. Artinya,
Islam datang untuk mengubah secara radikal tatanan sosial-kultural yang
mengekang sehingga membuat manusia terbelenggu, saling melindas, dan tidak
jelas arah sejarahnya. Oleh karena itu, Islam adalah agama yang meletakkan amal
sosial sebagai sentral bagi makna keberadaan manusia.
Keberadaan manusia dalam Islam
sangat dihormati. Perilaku manusia dalam Islam diarahkan untuk mengisi
kebaikan, baik bagi sesama maupun Pencipta. Karena itu, manusia diarahkan untuk
menjadi manusia yang mencapai kebersihan lahir dan batin. Maksudnya :
menjernihkan, menata, dan mengatur jiwa dengan sedemikian rupa sehingga menjadi
jiwa yang suci. Salah satu jalan menuju pencapaian jiwa yang suci adalah
melalui pendekatan zuhud atau kemudian lebih dikenal dengan pendekatan tasawuf.
Tasawuf adalah cabang keilmuan atau
hasil kebudayaan Islam yang lahir setelah Rasulullah wafat. Ketika beliau
hidup, istilah ini belum ada dan hanya sebutan sahabat bagi orang Islam yang hidup
pada masa Rasulullah dan sesudah itu generasi Islam di sebut tabi’in. Istilah tasawuf baru terdengar
pada pertengahan abad II Hijriyah, sedangkan menurut Nicholson dalam bukunya, At-Tashawwuf Al-Islam wa Tarikhih,
pada pertengahan abad III Hijriyah.[5]
Tasawuf juga bagian dari syariat
yang merupakan wujud dari ihsan, salah satu dari tiga kerangka ajaran Islam.
Oleh karena itu, perilaku sufi harus tetap berada di dalamnya. Tasawuf sebagai manifestasi
ihsan, merupakan penghayatan terhadap agama yang dapat menawarkan pembebasan
spiritual yang kemudian mengajak manusia mengenal dirinya sendiri hingga
akhirnya mengenal Tuhan.
Lahirnya tasawuf sebagai fenomena
ajaran Islam diawali dari ketidakpuasan terhadap praktik ajaran Islam yang
cenderung formalisme dan legalisme. Selain itu, tasawuf juga sebagai kritik
terhadap ketimpangan sosial, politik, moral, dan ekonomi yang dilalukan oleh
umat islam, khususnya kalangan penguasa pada waktu itu.
Ø
DASAR
Terdapat dasar-dasar naqli dari tasawuf. Landasan naqli adalah landasan
Al-Qur’an dan Al-Hadist. Hal ini penting karena kedua landasan itu merupakan
kerangka acuan pokok yang selalu dijadikan pegangan oleh umat Islam.
Pada awal pembentukannya tasawuf
adalah akhlak, sedangkan moral keagamaan ini banyak diatur dalam Al-Qur’an dan
As-Sunnah. Sumber pertama adalah ajaran-ajaran Islam, sebab tasawuf ditimba
dari Al-Qur’an, Sunnah, dan amalan serta ucapan para sahabat. Amalan serta
ucapan para sahabat itu tentu saja tidak keluar dari ruang lingkup Al-Qur’an
dan As-Sunnah. Oleh karena itu, dua sumber utama tasawuf adalah Al-Qur’an dan
As-Sunnah.[6]
Ajaran Islam secara umum mengatur kehidupan yang bersifat lahiriah dan
batiniah. Pemahaman terhadap unsur kehidupan yang bersifat batiniah pada
gilirannya melahirkan tasawuf. Unsur kehidupan tasawuf ini mendapat perhatian
yang cukup besar dari sumber ajaran Islam, Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta praktik
kehidupan Rasulullah dan para sahabatnya. Al-Qur’an antara lain berbicara
tentang kemungkinan manusia dapat saling mencintai dengan Tuhannya.
·
Landasan Al-Qur’an
a)
QS. At-Tahrim (66) : 8
b)
QS. Al-Ma’idah (5) : 54
c)
QS. Al-Baqarah (2) : 115 dan 186
d)
QS. An-nur (24) : 35
e)
QS. Qaf (50) : 16
f)
QS. Fathir (35) : 5
g)
QS. An-Nisa’ (4) : 77
·
Landasan Hadist
a)
“ Barangsiapa mengenal dirinya sendiri berarti ia
mengenal Tuhan-Nya “. (Ibnu Arabi, Al-Futuhat, hlm.103 dan Asy-Sya’rani,
Ath-Thabaqat, hlm. 526)
b)
“ Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi maka Aku
menjadikan makhluk agar mereka mengenal-Ku “. (Ibnu Arabi, Al-Futuhat, hlm.167
dan Asy-Sya’rani, Ath-Thabaqat, hlm. 309)
c)
HR. Al-Bukhari
2.4 MANFAAT TASAWUF
Adapun manfaat tasawuf yang dapat diperoleh, antara lain :
1. Membersihkan
Hati dalam Berinteraksi dengan Allah
Interaksi
manusia dengan Allah dalam bentuk ibadah tidak akan mencapai sasaran dan juga tidak
disertai dengan kebersihan hati. Sementara itu, esensi tasawuf adalah tazkiyah an-nafs yang artinya membrsihkan
jiwa dari kotoran-kotoran.
Dengan
bertasawuf, hati seseorang menjadi bersih sehingga dalam berinteraksi kepada Allah
akan menemukan kedamaian hati dan ketenangan jiwa.
2. Membersihkan Diri dari Pengaruh Materi
Pada
dasarnya kebutuhan manusia bukan hanya pada pemenuhan materi, melainkan juga pemenuhan
spiritual. Orang akan sibuk mengejar kekayaan duniawi untuk memenuhi kebutuhan jasmaninya.
Demikian sibuknya dalam mengejar urusan-urusan materi dunia, dapat melupakan urusannya
denganTuhan.
Melalui
tasawuf, kecintaan seseorang yang berlebihan terhadap materi atau urusan duniawi
lainnya akan dibatasi. Memiliki harta benda itu tidaklah semata-mata untuk memenuhi
nafsu, tetapi lebih mendekatkan diri kepada Allah.
Oleh
karena itu, jalan untuk menyelamatkan diri dari godaan-godaan materi duniawi
yang menyebabkan manusia menjadi materialistis adalah dengan membersihkan jiwa dari
pengaruh-pengaruh negative duniawi. Jalan tersebut adalah melalui pendekatan tasawuf.
Dengan demikian, bertasawuf juga memiliki manfaat membersihkan diri dari pengaruh-pengaruh
negative duniawi yang mengganggu jiwa manusia.
3. Menerangi Jiwa dari Kegelapan
Urusan
materi dalam kehidupan sangat besar pengaruhnya terhadap jiwa manusia. Benturan
dalam mengejar dan mencari materi atau dalam mengejar urusan duniawi dapat menjadikan
seseorang gelapmata. Penyakit resah, gelisah, patah hati, cemas dan serakah dapat
disembuhkan dengan ajaran agama, khususnya ajaran yang berkaitan dengan olah jiwa
manusia, yaitu tasawuf di mana ketenteraman batin atau jiwa yang menjadi sasarannya.
Demikian pula sifat-sifat buruk dalam diri manusia tidak
dapat hilang dari diri seseorang tanpa mempelajari cara-cara menghilangkannya
dari petunjuk kitab suci Al-Qur’an maupun Al-Hadist melalui pendekatan tasawuf.
4. Memperteguh dan Menyuburkan Keyakinan Agama
Keteguhan
hati tidak dapat dicapai tanpa adanya siraman jiwa. Kekuatan umat Islam bukan
hanya karena kekuatan fisik dan senjata, melainkan karena kekuatan mental dan
spiritualnya. Banyak manusia yang tenggelam dalam menggapai kebahagiaan duniawi
yang serba materi dan tidak lagi mempedulikan masalah spiritual. Pada akhirnya
paham-paham tersebut membawa kehampaan jiwa dan menggoyahkan sendi-sendi
keimanan. Jika ajaran tasawuf diamalkan oleh seorang muslim, ia akan bertambah
teguh keimanannya dalam memperjuangkan agama Islam.
5. Mempertinggi Akhlak Manusia
Di dalam ajaran tasawuf dapat menuntun manusia untuk
menjadi pribadi muslim yang memiliki akhlak mulia dan dapat menghilangkan
akhlak tercela.
Aspek moral adalah aspek yang terpenting dalam kehidupan
manusia. Apabila manusia tidak memilikinya, turunlah martabatnya dari manusia
menjadi binatang. Dalam akidah, jika seseorang melanggar keimanan ia akan
dihukum kafir. Di dalam fiqh, apabila seseorang melanggar hukum dianggap fasik
atau zindik. Adapun dalam akhlak, apabila seseorang melanggar ketentuan, maka
dinilai telah berlaku tidak bermoral.
Oleh karena itu, mempelajari dan mengamalkan tasawuf
sangat tepat bagi kaum muslim karena dapat mempertinggi akhlak, baik dalam
kaitan interaksi antara manusia dan Tuhan ( hubungan vertikal, yaitu hablun
minallah ) maupun interaksi antara sesama manusia ( hubungan horizontal, yaitu
hablun minannas ).[7]
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1.
Ilmu Tasawuf
adalah ilmu yang mempelajari usaha membersihkan diri, berjuang memerangi hawa
nafsu, mencari jalan kesucian dengan makrifat menuju keabadian, saling
mengingatkan antara manusia, serta berpegang teguh pada janji Allah SWT dan mengikuti syariat Rasulullah SAW dalam mendekatkan diri dan mencapai
keridhaanNya.
2.
Lahirnya tasawuf sebagai fenomena ajaran Islam diawali
dari ketidakpuasan terhadap praktik ajaran Islam yang cenderung formalisme dan
legalisme. Selain itu, tasawuf juga sebagai kritik terhadap ketimpangan sosial,
politik, moral, dan ekonomi yang dilakukan oleh umat islam, khususnya kalangan
penguasa pada waktu itu.
3.
Perkembangan tasawuf bersumber dari Al-Qur’an itu
sendiri, kemudian Al-Qur’an dan Hadist sebagai sumber pokok dalam agama Islam.
Dan menjadi dasar bagi pertumbuhan dan perkembangan nilai-nilai tasawuf dalam
Islam.
4.
Manfaat tasawuf, antara lain :
a. Membersihkan
Hati dalam Berinteraksi dengan Allah
b. Membersihkan Diri dari Pengaruh Materi
c. Menerangi Jiwa dari Kegelapan
d. Memperteguh dan
Menyuburkan Keyakinan Agama
e. Mempertinggi Akhlak
Manusia
3.2 Saran
Makalah ini mungkin sangat jauh dari kata sempurna
untuk itu kami harapkan kepada pembaca untuk mengasih kritik ataupun saran agar
menjadi masukan dan perbaikan bagi penulisan kedepannya sehingga menjadi lebih
baik.
Dan diharapkan kepada
seluruh mahasiswa dan mahasiswi pada umumnya agar lebih giat belajar tentang
Ilmu Tasawuf dan Konsep Dasar.
DAFTAR
PUSTAKA
Munir Amin Samsul, Ilmu Tasawuf , Jakarta: Teruna Grafica, 2012.
Anwar Rosihon, Akhlak Tasawuf, Bandung:
Pustaka Setia, 2010.
Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1996.
Zein Yusuf, Akhlak Tasawuf ,
Semarang: Al-Husna, 1993.
[3]
Athoullah Ahmad, Diktat Ilmu Akhlak dan Ilmu Tasawuf, Serang: Fakultas Syari’ah
IAIN Sunan Gunung Djati, 1985, hlm. 96.
[6] Abu
Nashr As-Siraj Ath-Thusi, Al-Luma’, ditahkik oleh Abu Halim Mahmud dan Thaha
Abd Baqi Surur, (Baghdad: Al-Kutub Al-Haditsah dan Maktabah Al-Mutsanna, 1960),
hlm. 6.
[7] Munir Amin Samsul, Ilmu Tasawuf (Jakarta: Teruna Grafica,
2012), hlm. 84.
No comments:
Post a Comment