Friday, August 23, 2019

MAKALAH TENTANG SALAM




DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................   ...... ii
DAFTAR ISI................................................................................................................. iii
BAB I : PENDAHULUAN                            
A.     Latar Belakang.......................................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah.................................................................................... 2
C.     Tujuan....................................................................................................... 2
BAB II : PEMBAHASAN
A.     Pengertian Salam..................................................................................... 3
B.     Landasan Hukum Salam........................................................................... 4
C.     Syarat Dan Rukun Salam.......................................................................... 6
D.    Skema Salam............................................................................................... 8
E.     Aplikasi Salam Dalam Lembaga Keuangan Syariah............................. 8
BAB III : PENUTUP
A.     Kesimpulan............................................................................................. 11
B.     Saran........................................................................................................ 11
DAFTARPUSTAKA...................................................................................................12


BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Salah satu pembiayaan yang dikenal di Bank Syariah adalah pembiayaan yang menggunakan jual beli. Akad pembiayaan jual-beli yang dikembangkan oleh Bank Syariah adalah tiga akad, yaitu Murabahah, Istishna, dan Salam.
Transaksi salam banyak dipergunakan untuk bidang pertanian, dimana pada awal musim tanam petani membutuhkan modal untuk memproduksi hasil pertanian, baik modal dalam bentuk kas maupun modal dalam non kas atau barang yang berhubungan dengan produksi pertanian seperti misalnya bibit, pupuk, alat pertanian dan sebagainya untuk membantu petani.
Bagi Lembaga Keuangan Syariah khusus Perbankan Syariah, saat ini transaksi salam tidaklah menjadi menarik karena bagi pelaksanaan perbankan syariah masih banyak paradigma yang tidak lepas dari paradigma bank konvensional, yaitu saat memberikan modal dalam bentuk uang harus segera menghasilkan, sedangkan dalam transaksi salam ini LKS memberikan modal terlebih dahulu dan pendapatannya baru diperoleh saat penyerahan barang yang  dilakukan kemudian.
Namun jual beli dengan salam merupakan solusi tepat yang ditawarkan oleh Islam guna menghindari riba. Dikarenakan dengan akad ini kedua belah pihak mendapatkan keuntungan tanpa ada unsur gharar. Pembeli mendapatkan keuntungan berupa jaminan untuk mendapatkan barang sesuai dengan yang ia butuhkan dan pada waktu yang ia inginkan. Sedangkan penjual juga mendapatkan keuntungan yang tidak kalah besar dibanding pembeli, diantaranya penjual mendapatkan modal untuk menjalankan usahanya dengan cara yang halal, sehingga ia dapat menjalankan dan mengembangkan usahahnya tanpa harus membayar bunga.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari Salam ?
2.      Apa yang mejadi landasan Hukum Salam ?
3.      Apa saja syarat dan rukun Salam ?
4.      Bagaimana skema dari Salam ?
5.      Bagaimanakah aplikasi Salam dalam Lembaga Keuangan Syariah ?
D.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui apa pengertian dari Salam
2.      Untuk mengetahui apa yang mejadi landasan Hukum dari Salam
3.      Untuk mengetahui apa saja syarat dan rukun Salam
4.      Untuk memahami bagaimana skema dari Salam
5.      Untuk memahami bagaimanakah aplikasi Salam dalam Lembaga Keuangan Syariah
BAB II
PEMBAHASAN
A.     Pengertian dari Salam
Salam berasal dari kata As-Salaf, yang artinya pendahuluan, pesanan atatu jual beli dengan melakukan pesanan terlebih dahulu. Sedangkan menurut istilah, Salam adalah akad pemesanan suatu barang dengan kriteria yang telah disepakati dan dengan pembayaran tunai pada saat akad  berlangsung dan barang datang di kemudian hari.
Spesifikasi barang pesanan telah disepakati oleh penjual dan pembeli di awal akad. Barang pesanan juga harus sesuai dengan karakteristik yang telah disepakati. Jika barang pesanan yang dikirim tidak sesuai spesifikasi yang tertuang dalam akad, maka bank syariah dapat mengembalikannya kepada penjual.[1]
Salam merupakan bentuk jual beli dengan pembayaran di muka dan penyerahan barang di kemudian hari (advanced payment atau forward buying atau future sales) dengan harga, spesifikasi, jumlah, kualitas, tanggal dan tempat penyerahan yang jelas, serta disepakati sebelumnya dalam perjanjian.
Barang yang diperjualbelikan belum tersedia pada saat transaksi dan harus diproduksi terlebih dahulu, seperti produk-produk pertanian dan produk-produk fungible (barang yang dapat diperkirakan dan diganti sesuai berat, ukuran, dan jumlahnya) lainnya. Barang-barang non-fungible seperti batu mulia, lukisan berharga, dll yang merupakan barang langka tidak dapat dijadikan objek salam. Resiko terhadap barang yang diperjualbelikan masih berada pada penjual sampai waktu penyerahan barang. Pihak pembeli berhak untuk meneliti dan dapat menolak barang yang akan diserahkan apabila tidak sesuai dengan spesifikasi awal yang disepakati.
Salam diperbolehkan oleh Rasulullah SAW dengan beberapa syarat yang harus dipenuhi. Tujuan utama dari jual beli salam adalah untuk memenuhi kebutuhan para petani kecil yang memerlukan modal untuk memulai masa tanam dan untuk menghidupi keluarganya sampai waktu panen tiba. Setelah pelarangan riba, mereka tidak dapat lagi mengambil pinjaman ribawi untuk keperluan ini sehingga diperbolehkan bagi mereka untuk menjual produk pertaniannya di muka.
Sama halnya dengan para pedagang Arab yang biasa mengekspor barang ke wilayah lain dan mengimpor barang lain untuk keperluan negerinya. Mereka membutuhkan modal untuk menjalankan usaha perdagangan ekspor-impor itu. Untuk kebutuhan modal perdagangan ini, mereka tidak dapat lagi meminjam dari para rentenir setelah dilarangnya riba. Oleh sebab itu, mereka diperbolehkan menjual barang di muka. Setelah menerima pembayaran tunai tersebut, mereka dengan mudah dapat menjalankan usaha perdagangan mereka.
Salam bermanfaat bagi penjual karena mereka menerima pembayaran di muka. Salam juga bermanfaat bagi pembeli karena pada umumnya harga dengan akad salam lebih murah daripada harga dengan akad tunai.
Transaksi salam sangat populer pada zaman Imam Abu Hanifah (80-150 AH/699-767 AD). Imam Abu Hanifah meragukan keabsahan kontrak tersebut yang mengarah kepada perselisihan. Oleh karena itu, beliau berusaha menghilangkan kemungkinan adanya perselisihan dengan merinci lebih khusus apa yang  harus diketahui dan dinyatakan dengan jelas dalam kontrak, seperti jenis komoditi, mutu, kuantitas, serta tanggal dan tempat pengiriman.[2]
Berikut ada beberapa hal yang dapat membatalkan kontrak salam, yaitu sebagai berikut :
1.      Barang yang dipesan tidak ada pada waktu yang ditentukan.
2.      Barang yang dikirim cacat atau tidak sesuai dengan yang disepakati dalam akad.
3.      Barang yang dikirim kualitasnya lebih rendah, dan pembeli memilih untuk menolak atau membatalkan akad.
4.      Barang yag dikirim kualitasnya tidak sesuai akad tetapi pembeli menerimanya.
5.      Barang diterima.[3]
B.     Landasan Hukum Salam
Landasan hukum salam terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits.
1.      Al-Qur’an
يَأَيُّهَاالِّذيْنَءَامَنُواإِذَاتَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَىَ أَجَلٍ مُّسَمَّىَ فَآكْتُبُوهُ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya” (Al-Baqarah : 282).
Dalam kaitan tersebut, Ibnu Abbas menjelaskan keterkaitan ayat tersebut dengan transaksi ba’i as-salam. Hal ini tampak jelas dari ungkapan beliau “Saya bersaksi bahwa salaf (salam) yang dijamin untuk jangka waktu tertentu telah dihalalkan oleh Allah pada kitabnya dan diizinkan-nya”. Ia lalu membaca ayat tersebut di atas.
2.      Al-Hadits
Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW datang ke Madinah dimana penduduknya melakukan salaf (salam) dalam buah-buahan (untuk jangka waktu) satu, dua, dan tiga tahun. Beliau berkata :
مَنْ اَسْلَفَ فِىْ شئْ فَفِي كَيلٍ مَعْلُوْمٍ وَوَزْنٍ مَعْلُوْمٍ اِلَى اجَلٍ معْلُوْمٍ
Artinya : “Barangsiapa yang melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, untuk jangka waktu yang diketahui”.
Dari Shuhaib r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan : jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual” (HR Ibnu Majah).[4]
3.      Ijma’
Kesepakatan ulama (ijma’) akan bolehnya jual beli salam dikutip dari pernyataan Ibnu Mundzir yang mengatakan bahwa semua ahli ilmu telah sepakat bahwa jual beli salam diperbolehkan, karena terdapat kebutuhan dan keperluan untuk memudahkan urusan manusia. Pemilik lahan pertanian, perkebunan ataupun perniagaan terkadang membutuhkan modal untuk mengelola usaha mereka hingga siap dipasarkan, maka jual beli salam diperbolehkan untuk mengakomodir kebutuhan mereka. Ketentuan ijma’ ini secara jelas memberikan legalisasi praktik pembiayaan/jual beli salam.[5]
C.     Syarat dan rukun Salam
1.      Rukun Salam
a.       Muslam (pembeli). Pembeli harus cakap hukum dan tidak ingkar janji atas transaksi yang telah disepakati.
b.      Muslam ilaih (penjual). Merupakan pihak yang menyediakan barang. Penjual disyaratkan harus cakap hukum dan tidak boleh ingkar janji.
c.       Modal atau uang. Harga disepakati pada saat awal akad antara pembeli dan penjual, dan pembayarannya dilakukan pada saat awal kontrak. Harga barang harus jelas ditulis dalam kontrak, serta tidak boleh berubah selama masa akad.
d.      Muslam fiihi (barang). Hasil produksi merupakan objek barang yang akan di serahkan pada saat akhir kontrak oleh penjual sesuai dengan spesifikasi yang telah ditetapkan dalam akad.
e.       Sighat (ucapan). Merupakan serah terima (baik serah terima pembayaran dan serah terima barang).[6]
2.      Syarat Salam
a.       Muslam (pembeli/pemesan) dan muslam ilaih (penjual/penerima pesanan).
1)      Harus cakap hukum.
2)      Tidak dalam keadaan dipaksa atau terpaksa.
3)      Baligh
b.      Modal transaksi ba’i as-Salam
Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam modal ba’i as-salam adalah sebagai berikut:
1)      Modal harus diketahui.
Barang yang akan disuplai harus diketahui jenis, kualitas, dan jumlahnya. Hukum awal mengenai pembayaran adalah bahwa ia harus dalam bentuk uang tunai.
2)      Penerimaan pembayaran salam.
Kebanyakan ulama mengharuskan pembayaran salam dilakukan di tempat kontrak. Hal tersebut dimaksudkan agar pembayaran yang diberikan oleh al-muslam (pembeli) tidak dijadikan sebagai utang penjual. Lebih khusus lagi, pembayaran salam tidak bisa dalam bentuk pembebasan utang yang harus dibayar dari muslam ilaih (penjual). Hal ini adalah untuk mencegah praktik riba melaui mekanisme salam.
c.       Al-Muslam Fiihi (barang)
Di antara syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam al-muslam fiihi atau barang yang ditransaksikan dalam ba’i as-salam adalah sebagai berikut :
1)      Harus bisa diidentifikasi secara jelas untuk mengurangi kesalahan akibat kurangnya pengetahuan tentang macam barang tersebut (misalnya beras atau kain), tentang klasifikasi kualitas (misalnya kualitas utama, kelas dua, atau eks ekspor), serta mengenai jumlahnya.
2)      Penyerahan barang dilakukan di kemudian hari.
3)      Kebanyakan ulama mensyaratkan penyerahan barang harus ditunda pada suatu waktu kemudian, tetapi mazhab Syafi’i membolehkan penyerahan segera.
4)      Bolehnya menentukan tanggal waktu di masa yang akan datang untuk penyerahan barang.
5)      Tempat penyerahan. Pihak-pihak yang berkontrak harus menunjuk tempat yang disepakti dimana barang harus diserahkan. Jika kedua pihak yang berkontrak tidak menentukan tempat pengiriman, barang harus dikirim ke tempat yang menjadi kebiasaan, misalnya gudang si penjual atau bagian pembelian si pembeli.
6)      Penggantian muslam fiihi dengan barang lain. Para ulama melarang penggantian muslam fiihi dengan barang lainnya. Penukaran atau penggantian barang as-salam ini tidak diperkenankan, karena meskipun belum diserahkan, barang tersebut tidak lagi milik si muslam alaih, tetapi sudah menjadi milik muslam (fidz-dzimmah). Bila barang tersebut diganti dengan barang yang memiliki spesifikasi dan kualitas yang sama, meskipun sumbernya berbeda, para ulama membolehkannya. Hal demikian tidak dianggap sebagai jual beli, melainkan penyerahan unit yang lain untuk barang yang sama.[7]
D.    Skema Salam
Description: C:\Users\User\Documents\Bluetooth Folder\Screenshot_20190318-193430 (2).png
Keterangan :
1.      Muslam (pembeli) memesan barang dengan spesifikasi tertentu.
2.      Penjual (muslam ilaih) dan muslam (pembeli) melakukan akad salam dan bernegoisasi mengenai harga.
3.      Muslam (pembeli) menyerahkan dana ke penjual (muslam ilaih) sebagai modal salam atau pembayaran di awal.
4.      Muslam ilaih (penjual) memproduksi barang sesuai pesanan (suplier)
5.      Muslam ilaih mengirimkan barang pesanan sesuai spesifikasi ke muslam (pembeli).
E.     Aplikasi dalam Lembaga Keuangan Syariah
Dalam dunia perbankan Syariah, salam merupakan suatu akad jual beli layaknya murabahah. Perbedaannya mendasar hanya terletak pada pembayaran serta penyerahan objek yang diperjual belikan. Dalam akad salam, pembeli wajib menyerahkan uang muka atas objek yang dibelinya, lalu barang diserah terimakan dalam kurun waktu tertentu. Salam dapat diaplikasikan seabagi bagian dari pembiayaan yang dapat diberikan oleh bank kepada nasabah debitur yang membutuhkan modal guna menjalankan usahanya, sedangkan bank dapat memperoleh hasil dari usaha nasabah lalu menjualnya kepada yang berkepentingan. Ini lebih dikenal dengan salam pararel.
Di perbankan syariah, jual beli salam lazim ditetapkan pada pembelian alat-alat pertanian, barang industri, dan kebutuhan rumah tangga. Nasabah yang memerlukan biaya untuk memproduksi barang-barang industri bisa mengajukan permohonan pembiayaan ke bank syariah dengan skim jual beli salam. Bank dalam hal ini berposisi sebagai pemesan (pembeli) barang yang akan diproduksi oleh nasabah. Untuk itu bank membayar harganya secara kontan. Pada waktu yang ditentukan, nasabah menyerahkan barang pesanan tersebut kepada. Berikutnya bank bisa menunjuk nasabah tersebut sebagai wakilnya untuk menjual barang tersebut pada pihak ketiga secara tunai. Bank bisa juga menjual kembali barang itu kepada nasabah yang memproduksinya secara tangguh dengan mengambil keuntungan tertentu.
 Aplikasi akad salam dalam bank, bank bertindak sebagai pembeli, sementara nasabah sebagai penjual. Ketika barang telah diserahkan kepada bank, maka bank akan menjualnya kepada rekanan nasabah atau kepada nasabah itu sendiri secara tunai maupun cicilan. Harga beli bank adalah harga pokok ditambah keuntungan.
Pembiayaan ini pada umumnya dilakukan dalam pembiayaan barang yang belum ada, seperti pembelian komoditas pertanian. Sekilas pembiayaan ini mirip dengan ijon, namun dalam transaksi ini baik kualitas, kuantitas, harga, waktu penyerahan barang harus ditentukan secara jelas dan pasti.
Bay' al salam biasanya dipergunakan pada pembiayaan bagi petani dengan jangka waktu yang relatif pendek, yaitu 2-6 bulan. Karena yang dibeli oleh bank adalah barang seperti padi, jagung, dan cabai dan bank tidak berniat untuk menjadikan barang barang tersebut sebagai simpanan atau inventory, maka dilakukan akad bay' al salam kedua, misalnya kepada Bulog, pedagang pasar induk, dan grosir. Inilah yang dalam perbankan Islam dikenal sebagai salam pararel.
Sejauh ini, skim pembiayaan salam masih belum banyak disentuh khususnya oleh perbankan syariah. Produk yang ditawarkan masih berkisar pada musyarakah, mudharabah, murabahah, dan ijarah. Prosentasi dari pembiayaan istisna' pun masih sedikit dibandingkan jenis pembiayaan di perbankan syariah lainnya. Pembiayaan salam pun jelas tidak pernah lagi digunakan mulai tahun 2003 hingga sekarang sebagaimana dipublikasikan dalam statistik perbankan syariah.
Perlu diamati bahwa salah satu strategi pengembangan perbankan syariah adalah dengan melakukan inovasi produk, baik pembiayaan maupun pendanaan sehingga produk perbankan syariah tidak terkesan monoton dan menarik. Dari sini kemudian perlu langkah langkah solutif guna menjawab permasalahan itu. Pihak perbankan syariah pun mesti bertindak tanggap menghadapi kebutuhan masyarakat, sebab jika tidak maka bank syariah hanya akan terasing dibawah nama besar syariahnya.[8]
Berikut ada beberapa perbedaan Salam dengan Istishna, yaitu :
1.      Objek transaksi dalam salam merupakan tanggungan dengan spesifikasi kualitas ataupun kualitas, sedangkan istishna berupa zat/barangnya.
2.      Dalam kontrak salam adanya jangka waktu tertentu untuk menyerahkan barang pesanan, hal ini tidak berlaku dalam akad istishna.
3.      Kontrak salam bersifat mengikat (lazim), sedangkan istishna tidak bersifat mengikat (ghairu lazim).
4.      Dalam kontrak salam persyaratan untuk menyerahkan modal atau pembayaran saat kontrak dilakukan dalam majelis kontrak, sedangkan dalam istishna dapat dibayar di muka, cicilan atau waktu mendatang sesuai dengan kesepakatan.



BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan
Jadi, Salam berasal dari kata As-Salaf, yang artinya pendahuluan, pesanan atatu jual beli dengan melakukan pesanan terlebih dahulu. Sedangkan menurut istilah, Salam adalah akad pemesanan suatu barang dengan kriteria yang telah disepakati dan dengan pembayaran tunai pada saat akad  berlangsung dan barang datang di kemudian hari.
Landasan akad salam terdapat dalam Al-Qur’an, Hadist dan Ijma’. Rukun Salam yaitu :
1.      Muslam (pembeli). Pembeli harus cakap hukum dan tidak ingkar janji atas transaksi yang telah disepakati.
2.      Muslam ilaih (penjual). Merupakan pihak yang menyediakan barang. Penjual disyaratkan harus cakap hukum dan tidak boleh ingkar janji.
3.      Modal atau uang. Harga disepakati pada saat awal akad antara pembeli dan penjual, dan pembayarannya dilakukan pada saat awal kontrak. Harga barang harus jelas ditulis dalam kontrak, serta tidak boleh berubah selama masa akad.
4.      Muslam fiihi (barang). Hasil produksi merupakan objek barang yang akan di serahkan pada saat akhir kontrak oleh penjual sesuai dengan spesifikasi yang telah ditetapkan dalam akad.
5.      Sighat (ucapan). Merupakan serah terima (baik serah terima pembayaran dan serah terima barang).
B.     Saran  
Demikianlah makalah yang dapat kami susun. Semoga dapat bermanfaat bagi kita semua, kami menyadari bahwa makalah ini bukanlah proses akhir, tetapi merupakan langkah awal yang masih banyak memerlukan perbaikan. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan tanggapan, saran dan kritik yang membangun demi sempurnanya makalah kami yang selanjutnya. Dan semoga kita bisa bersama-sama mempelajari materi ini dan selanjutnya.



DAFTAR PUSTAKA
            Antonio, Muhammad Syafi’i.Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik.Jakarta:Gema
                 Insani.2016.
            Ismail.Perbankan Syariah.Jakarta:Prenamedia Group.2011.
            Ascarya.Akad Dan Produk Bank Syariah.Jakarta:Raja Grafindo Persada.2012.
            Nurhayati, Sri. Akuntansi Syariah Di Indonesia.Jakarta:Salemba Empat.2013.
Qusthoniah. Analisis Kritis Akad Salam Di Perbankan Syariah.Jurnal Syariah.Vol
     5 No 1.2016.
Mizan. Akad Salam Dalam Transaksi Jual Beli. Jurnal Ilmu Syariah. Vol 4 No 1.
     2016.




[1] Ismail,Perbankan Syariah,(Jakarta:Prenadamedia Group,2011),153.
[2] Ascarya,Akad Dan Produk Bank Syariah,(Jakarta:RajaGrafindo Persada,2012),90-91.
[3] Sri Nurhayati,Akuntansi Syariah Di Indonesia,(Jakarta:Salemba Empat,2013),203.
[4] Muhammad Syafi’i Antonio,Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik,(Jakarta:Gema Insani,2016),108.
[5] Mizan,Akad Salam Dalam Transaksi Jual Beli,Jurnal Ilmu Syariah. Vol 4 No 1 Juni 2016,124.
[6] Ismail,Perbankan Syariah,(Jakarta:Prenamedia Group,2011),154.
[7] Muhammad Syafi’i Antonio,Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik,(Jakarta:Gema Insani,2016),109-110.
[8] Qusthoniah,Analisis Kritis Akad Salam Di Perbankan Syariah,Universitas Islam Indragiri, Jurnal Syariah Vol 5 No 1,April 2016,102-103.

No comments:

SEJARAH PERADABAN ISLAM PADA AWAL PERMULAAN ISLAM SAMPAI DENGAN KHULAFAURRASYIDIN

                                                                                     BAB I                                            ...