Friday, August 23, 2019

MAKALAH HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS MELALUI ARBITRASE



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................  ii
DAFTAR ISI.......................................................................................... iii
BAB I : PENDAHULUAN                            
A.    Latar Belakang...................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah................................................................. 2
C.     Tujuan.................................................................................. 2
BAB II : PEMBAHASAN
A.    Pengertian Arbitrase............................................................... 3
B.     Objek Dan Klausula Arbitrase................................................. 3
C.     Dasar Hukum Arbitrase.......................................................... 4
D.    Bentuk-Bentuk Arbitrase.......................................................  5
E.     Syarat, Prosedur, dan Mekanisme Arbitrase............................  6
F.      Prinsip-Prinsip Arbitrase........................................................  9
G.    Kelebihan Dan Kelemahan Arbitrase..................................... 10
BAB III : PENUTUP
A.    Kesimpulan.......................................................................... 11
B.     Saran................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA............................................................................. 12


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Berbagai macam konflik atau sengketa sering muncul dalam masyarakat. Penyebabnya pun sangat beraneka ragam, seperti karena masalah ekonomi, politik, agama, suku, golongan, harga diri, dsb. Pada hakikatnya, konflik atau sengketa muncul karena adanya masalah. Masalah sendiri itu terjadi karena adanya kesenjangan das sollen dan das sein, atau karena adanya perbedaan antara hal yang diinginkan dengan hal yang terjadi.
Penyelesaian sengketa dalam suatu konflik, pada dasarnya dapat diselesaikan dengan berbagai pilihan. Salah satunya adalah arbitrase. Arbitrase merupakan mekanisme penyelesaian sengketa penanaman modal yang banyak dipilih oleh para pihak yang bersengketa termasuk dalam hal penanaman modal asing yang dilakukan berdasarkan perjanjian bilateral penanaman modal.
Pertumbuhan ekonomi yang berkembang dengan pesat membuat sistem perdagangan dan perindustrian ikut maju dengan pesat, baik dalam hubungan nasional maupun hubungan internasional. Dan hal ini sering menjadi pemicu timbulnya sengketa diantara para pihak pelaku usaha dan bisnis, yang mengharuskan para pihak untuk menyelesaikannya baik melalui jalur pengadilan maupun jalur diluar pengadilan, sehingga diharapkan tidak mengganggu iklim bisnis antar pihak yang bersengketa.
Bagi pengusaha, arbitrase merupakan pilihan yang paling menarik guna menyelesaikan sengketa sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka. Sehingga, penyelesaian sengketa melalui cara arbitrase diatur secara khusus dalam peraturan perundang-undangan No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif  Penyelesaian Sengketa.




B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari Arbitrase ?
2.      Apa objek dan klausula Arbitrase ?
3.      Apa saja dasar hukum Arbitrase ?
4.      Apa saja bentuk-bentuk Arbitrase ?
5.      Bagaimana syarat, prosedur, dan mekanisme Arbitrase ?
6.      Apa saja prinsip-prinsip Arbitrase ?
7.      Apa kelebihan dan kelemahan dari Arbitrase ?
C.    Tujuan
1.   Untuk mengetahui pengertian Arbitrase
2.   Untuk mengetahui apa objek dan klausula Arbitrase
3.   Untuk mengetahui dasar hukum Arbitrase
4.   Untuk mengetahui bentuk-bentuk dari Arbitrase
5.   Untuk memahami bagaimana syarat, prosedur, dan mekanisme Arbitrase
6.   Untuk mengetahui prinsip-prinsip dari Arbitrase
7.   Untuk mengetahui kelebihan dan kelemahan Arbitrase



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Arbitrase
Arbitrase berasal dari kata arbiter yang berarti wasit. Menurut UU No 30 tahun 1999, arbitrase didefinisikan sebagai suatu “cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar Peradilan Umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa”.
Berdasarkan rumusan tersebut, maka arbitrase lahir karena perjanjian yang dibuat oleh para pihak yang berisikan perjanjian untuk menyelesaikan suatu sengketa di bidang perdata di luar peradilan umum atau melalui arbitrase. Kalau dalam Pasal 1233 KUHPerdata, arbitrase ini merupakan perikatan yang lahir karena perjanjian.
Kemudian pasal 1 ayat 3 UU No 30 tahun 1999, dinyatakan bahwa “Perjanjian arbitrase itu adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa atau suatu perjanjian abitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa”.
Arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau ditunjuk oleh PN atau lembaga arbitrase, untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase.
Lembaga arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa.[1]
B.     Objek Dan Klausula Arbitrase
Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa dalam bidang perdagangan. Adapun sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat dilakukan perdamaian.
UU No 30 tahun 1999 Pasal 4 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa, menyatakan bahwa “Pengadilan Negeri tidak berwenang menyelesaikan sengketa para pihak yang telah terikat di dalam perjanjian arbitrase dan putusan arbitrase adalah final, artinya tidak dapat dilakukan banding, peninjauan kembali atau kasasi serta putusannya berkekuatan hukum tetap bagi para pihak”.
Pembatasan Pengadilan Negeri untuk sengketa yang terikat dalam perjanjian arbitrase dapat mencegah upaya intervensi PN dalam perjanjian tersebut. Hal ini juga berarti bahwa sejak awal perjanjian dibuat, para pihak telah mengesampingkan kemungkinan penyelesaian secara ligitasi di PN.[2]
Karena perjanjian arbitrase dapat dibuat sebelum atau sesudah timbul sengketa oleh para pihak berdasarkan isi pasal 1 butir 3 UU No 30 tahun 1999, maka bentuk klausula arbitrase dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :
a.       Pactum de compromittendo
Adalah adanya kesepakatan bagi para pihak yang memuat perjanjian agar di kemudian hari apabila terjadi sengketa dapat diselesaikan melalui arbitrase. Klausula ini dicantumkan dalam perjanjian sehingga klausula tersebut menjadi bagian dari kontrak yang dibuat.
b.      Acta compromise
Adalah adanya kesepakatan yang dituangkan dalam perjanjian bagi kedua pihak yang berselisih untuk menyelesaikan sengketanya melalui arbitrase.
C.    Dasar Hukum Arbitrase
Landasan hukum yang mengatur mengenai arbitrase, yaitu :
1.      Arbitrase berdasarkan reglement op de burgerlijke rechtsvordering (RV)
2.      Arbitrase berdasarkan het Herzience Indonesisch Reglement (HIR)
3.      Arbitrase berdasarkan UU pokok kekuasaan kehakiman
4.      Arbitrase berdasarkan UU MA
5.      Arbitrase berdasarkan hukum adat
6.      Arbitrase berdasarkan UU RI No 30 Tahun 1999[3]
Namun yang sampai sekarang masih digunakan adalah UU RI No 30 Tahun 1999.
D.    Bentuk-Bentuk Arbitrase
1.      Arbitrase Ad Hoc
Arbitrase Ad Hoc (Pasal 13 UU No 30 Tahun 1999) adalah forum arbitrase yang dibentuk untuk menyelesaikan masalah atau sengketa tertentu. Karakteristik atau sifat arbitrase Ad Hoc ini adalah insidentil, artinya keberadaannya hanya untuk melayani dan memutus kasus sengketa tertentu saja dan setelahnya keberadaannya dan fungsinya berakhir. Ciri yang bisa dikenali dari arbitrase Ad Hoc ini adalah penunjukan arbitrator nya dilakukan secara perorangan dan dipilih sendiri berdasarkan kesepakatan para pihak.
Kedudukan arbitrase Ad Hoc ini tidak terkait dengan badan arbitrase tertentu, sehingga arbitrase Ad Hoc ini tidak mempunyai aturan dan tata cara sendiri, baik aturan pengangkatan arbitratornya maupun tentang tata cara pemeriksanya. Jadi, arbitrase Ad Hoc ini tunduk sepenuhnya kepada aturan tata cara yang ditentukan oleh UU.
2.      Arbitrase Institusional
Arbitrase institusional adalah forum arbitrase yang sengaja didirikan dan bersifat permanen serta dimaksudkan untuk menangani sengketa kontraktual yang timbul diantara pihak-pihak yang menghendaki penyelesaian diluar pengadilan. Ciri dari arbitrase intitusional ini, adalah :
a.       Keberadaannya sudah eksis sebelum timbulnya sengketa
b.      Bersifat permanen, artinya tetap berdiri meskipun sengketanya telah diputus
c.       Organisasinya dan ketentuan tentang tata cara bagaimana mengangkat arbitratornya maupun tata cara pemeriksaan sengketanya telah ditetapkan aturannya.
Arbitrase institusional berdasarkan wilayah kerjanya dibedakan dalam arbitrase yang bersifat nasional dan arbitrase yang bersifat internasional.
a.       Arbitrase institusional yang bersifat Nasional.
Institusi arbitrase ini sengaja didirikan sebagai lembaga arbitrase permanen. Dikatakan arbitase nasional dikarenakan tujuan pendiriannya adalah untuk memenuhi kepentingan suatu negara tertentu saja, serta eksistensi dan yurisdiksinya hanya sebatas wilayah negara yang bersangkutan. Misalnya BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) yang merupakan pusat arbitrase nasional Indonesia yang berkedudukan di Jakarta.
b.      Arbitrase institusional yang bersifat Internasional.
Institusi arbitrase Internasional adalah lembaga arbitrase yang berwawasan Internasional. Misalnya Court of Arbitration of the Internasional Chamber of Commerce (ICC) yang merupakan lembaga arbitrase internasional tertua yang didirikan di Paris pada tahun 1919.[4]
E.     Syarat, Prosedur, dan Mekanisme Arbitrase
Berdasarkan pengertian arbitrase, dapat disimpulkan bahwa syarat utama dari berlangsungnya suatu arbitrase adalah perjanjian dari para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui meknisme arbitrase. Perjanjian dapat lahir sebelum adanya sengketa atau sudah adanya sengketa. Jika arbitrase dijalankan tanpa adanya perjanjian arbitrase di antara para pihak yang bersengketa, maka itu bukanlah arbitrase.
Dengan adanya perjanjian arbitrase, Pengadilan Negeri tidak bewenang untuk mengadili sengketa para pihak tersebut. Pelaksanaan perjanjian arbitrase tidak mempersoalkan masalah pelaksanaan perjanjian, akan tetapi yang dipermasalahkannya adalah cara dan lembaga apa yang berwenang menyelesaikan perselisihan yang terjadi antara para pihak yang berjanji tersebut. Perjanjian arbitrase harus memenuhi syarat yaitu persetujuan mengenai perjanjian arbitrase, harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak tersebut.
Perjanjian arbitrase sering juga disebut sebagai klausul arbitrase yang berada dalam badan perjanjian pokok. Hal tersebut dapat diartikan suatu perjanjian pokok diikuti atau dilengkapi dengan persetujuan mengenai pelaksanaan arbitrase. Klausul arbitrase ini diletakkan di dalam perjanjian pokok sehingga disebut sebagai perjanjian aksesori. Keberadaannya hanya sebagai tambahan dari perjanjian pokok, sehingga tidak berpengaruh terhadap pemenuhan perjanjian pokok. Tanpa adanya perjanjian pokok, perjanjian arbitrase ini tidak bisa berdiri sendiri, karena sengketa atau perselisihan timbul akibat adanya perjanjian pokok.
Timbul suatu konsekuensi dari sifat perjanjian arbitrase yang merupakan perjanjian aksesori. Dengan sifat aksesorinya, suatu perjanjian arbtrase tidak akan hapus karena berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok. Selain itu, perjanjian arbitrase juga tidak akan hapus oleh keadaan meninggalnya para pihak, bangkrutnya salah satu pihak, novasi, insolvensi salah satu pihak yang mengadakan perjanjian arbitrase.
Prosedur arbitrase perlu dipahami untuk melihat apakah prosedur arbitrase konvensional seperti yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dapat diterapkan menjadi mekanisme online. Secara garis besar, prosedur arbitrase dapat dibagi ke dalam tiga tahap sebagai berikut :
1.      Prosedur sebelum dengar pendapat. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase, di awali dengar prosedur sebelum dengan pendapat yang terdiri dari beberapa tahap sebagai berikut :
a.       Pemberitahuan kepada arbiter tentang penunjukannya. Langkah pertama yang perlu dilakukan untuk melakukan arbitrase adalah pemberitahuan secara tertulis kepada seorang ahli bahwa ia telah dipilih sebagai arbiter untuk menyelesaikan suatu sengketa.
b.      Persiapan arbiter. Hal penting yang perlu diperhatikan oleh arbiter adalah penunjukannya sudah dilakukan berdasarkan hukum sesuai dengan peraturan yang berlaku.
c.       Pemeriksaan pendahuluan. Berdasarkan praktek, biasanya arbiter mengadakan pertemuan terlebih dahulu dengan para pihak sebelum mengadakan dengar pendapat secara resmi.
d.      Prosedur pelaksanaan tugas arbiter. Berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999, arbiter berwenang untuk memerintahkan dan melakukan introgasi dalam proses dengar pendapat. Dalam proses tersebut, arbiter dapat bersikap aktif, yaitu arbiter bertindak mencari data. Namun, arbiter juga dapat bersikap pasif, yaitu para pihak lah yang menyampaikan data-data sedangkan arbiter cukup mendengarkan saja.
e.       Menentukan waktu dan dengar pendapat. Jika ada salah satu pihak yang tidak datang pada saat dengar pendapat, maka arbiter tetap dapat melakukan dengar pendapat tersebut.
f.       Komunikasi perorangan para pihak. Apabila salah satu pihak dalam proses arbitrase menghubungi arbiter tanpa sepengetahuan pihak lain, arbiter wajib menolaknya.
2.      Prosedur pada waktu dengar pendapat. Arbiter memiliki kedudukan sebagai seorang hakim berdasarkan adanya kesepakatan penunjukan para pihak yang bersengketa. Penunjukan oleh para pihak yang bersengketa. Penunjukan oleh para pihak ini memberikan wewenang kepada arbiter untuk dapat memutus berdasarkan fakta yang diberikan kepadanya. Pada saat proses arbitrase berlangsung pihak ketiga atau pihak lain (umum) tidak diperbolehkan hadir dalam proses. Hal ini merupakan cerminan dari sifat arbitrase yang menjaga kerahasian para pihak yang bersengeta.
3.      Pelaksanaan putusan. Dalam melaksanakan putusan arbitrase ada tata cara pelaksanaan yang harus ditempuh. Berdasarkan pasal 59 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999, tata cara pelaksanaan pokok-pokok di dalam putusan tergantung pada telah didaftarkannya di pengadilan atau belum.
Dalam kaitannya dengan institusi pengadilan, lembaga arbitrase masih memiliki ketergantungan pada pengadilan, misalnya dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase. Ada keharusan untuk mendaftarkan putusan arbitrase di pengadilan negeri. Hal ini menunjukan bahwa lembaga arbitrase tidak mempunyai upaya pemaksa terhadap para pihak untuk menaati putusannya, terutama dalam perkara perdata.11
Peranan pengadilan dalam penyelenggaraan arbitrase berdasar Undang-Undang Arbitrase antara lain mengenai penunjukan arbiter atau majelis arbiter dalam hal para pihak tidak ada kesepakatan pasal 14 ayat (3) dan dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase nasional maupun internasional yang harus dilakukan melalui mekanisme sistem peradilan yatu pendaftaran putusan tersebut dengan menyerahkan salinan autentik putusan.[5]
Berdasarkan UU No 30 tahun 1999, pemeriksaan perkara di arbitrase melalui 3 tahapan, yaitu :
1.       Tahap persiapan
Adalah tahap untuk mempersiapkan segala sesuatunya guna sidang pemeriksaan perkara. Tahap persiapan antara lain meliputi :
a.       Persetujuan arbitrase dalam dokumen tertulis
b.      Penunjukan arbiter
c.       Pengajuan surat tuntutan oleh pemohon
d.      Jawaban surat tuntutan oleh termohon
e.       Perintah arbiter agar para pihak menghadap sidang arbitrase
2.      Tahap pemeriksaan
Adalah tahap mengenai jalannya sidang pemeriksaan perkara, mulai dari awal pemeriksaan peristiwanya, proses pembuktian, sampai dijatuhkannya putusan oleh arbiter.
3.      Tahap pelaksanaan
Adalah tahap untuk merealisasi putusan arbiter yang bersifat final dan mengikat. Pelaksanaan putusan dapat dilakukan secara sukarela maupun dengan paksa melalui eksekusi oleh PN.
Hukum acara yang berlaku dalam pemeriksaan arbitrase diatur mulai Pasal 27-51 UU No 30 tahun 1999. Para pihak diberikan kebebasan untuk menentukan sendiri acara dan proses pemeriksaan perkara yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan oleh arbiter. Dan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan UU No 30 tahun 1999.[6]
F.     Prinsip-Prinsip Arbitrase
Dalam pelaksanaan penyelesaian sengketa dengan jalan arbitrase sebaiknya dilakukan dengan tujuh prinsip, yaitu sebagai berikut :
1.      Accessibilitas, bahwa biaya arbitrase mesti terjangkau oleh para pihak baik mengenai biaya yang murah, waktunya cepat selesai, dan tempat mudah terjangkau dengan kendaraan umum.
2.      Credibilitas, bahwa para arbiter dan badan arbitrase yang bersangkutan semestinya orang-orang yang diakuinya kredibilitasnya, karena keputusannya akan lebih dihormati oleh para pihak.
3.      Efisien, bahwa penyelesaian melalui badan arbitrase lebih efisien, karena efisien dalam kaitannya dengan biaya murah dan waktunya cepat selesai dibandingkan dengan penyelesaian sengketa lewat badan peradilan umum.
4.      Final and binding, bahwa mengenai keputusan arbitrase mesti final and binding,kecuali para pihak menghendaki dengan alasan yan berkaitan dengan due process.
5.      Fair and just, bahwa putusan arbitrase harus tepat dan adil bagi para pihak yang bersengketa baik mengenai sifat dan penyelesaian sengketa yang menyangkut hak dan kewajiban bagi para pihak.
6.      Proteksi hak para pihak, bahwa bagi para pihak mesti mendapat perlindungan yang wajar, terutama bagi pihak yang tidak mampu untuk mendatangkan saksi ahli atau untuk menyewa pengacara terkenal.
7.      Sesuai dengan sense of justice dari masyarakat, bahwa putusan dengan adil akan lebih terjamin unsure “deterrant” dari isi pelanggar, dan sengketa dapat dicegah dengan mudah.[7]
G.    Kelebihan dan kelemahan Arbitrase
1.      Kelemahan
a.       Putusan arbitrase ditentukan oleh kemampuan teknis arbiter untuk memberikan keputusan yang memuaskan untuk melakukan rasa keadilan para pihak.
b.      Apabila pihak yang kalah tidak mau melaksanakan putusan arbitrase, maka diperlukan perintah dari pengadilan untuk melakukan eksekusi atas putusan arbitrase tersebut.
c.       Pada praktiknya pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase asing masih menjadi hal yang sulit.
d.      Pada umumnya pihak-pihak yang bersengketa di arbitrase adalah perusahaan-perusahaan besar, jadi untuk mempertemukan kehendak para pihak yang bersengketa dan membawanya ke badan arbitrase tidaklah mudah.[8]
2.      Kelebihan
Pemakaian arbitrase dalam menyelesaikan suatu sengketa, khususnya bagi dunia usaha akan membawa keuntungan/kelebihan, yaitu :
a.       Tenggang waktu penyelesaian sengketa
Penyelesaian masalah dengan gugatan perdata di pengadilan sering memakan waktu yang panjang. Sebab bagi pihak yang belum puas dimungkinkan mengadakan upaya banding ke Pengadilan Tinggi dan setelah itu, masih ada upaya kasasi ke Mahkamah Agung.
Setiap persetujuan arbitrase harus menetapkan suatu jangka waktu dalam perselisihan atau sengketa yang diajukan kepada arbitrase harus diputus. Dan apabila jangka waktu itu tidak diatur dalam perjanjian, maka kekuasaan yang diberikan UU kepada arbiter untuk menyelesaikan sengketa adalah 180 hari dan dapat diperpanjang atas kesepakatan kedua belah pihak (Pasal 48 UU No 30 Tahun 1999).
b.      Mengenai saksi ahli
Dalam arbitrase, para pihak dapat menunjuk wasit ahli yang mengetahui tentang masalah yang disengketakan. Diharapkan putusan yang akan diambil ditunjang dengan pengetahuan yang mendalam mengenai soal yang disengketakan.
Dan ada para ahli dari berbagai bidang (ahli hukum, asuransi, perbankan, dsb). Karena ada jaminan bahwa perkara yang diajukan kepada arbitrase akan diputus oleh mereka yang memang ahlinya dengan persoalan yang bersangkut-paut dengan masalah yang dipersengketakan.
Sikap arbiter atau majelis arbiter dalam menangani perkara arbitrase didasarkan pada sikap yang mengusahakan win-win solution terhadap para pihak yang bersengketa.
c.       Mengenai kerahasiaan putusan
Dalam sidang pengadilan, menurut UU haruslah terbuka untuk umum. Maka dalam arbitrase, baik pemeriksaan maupun pemutusan perkara dilakukan dengan tertutup untuk umum (Pasal 27 UU No 30 Tahun 1999). Hal ini dilakukan untuk menjamin kerahasiaan para pihak yang bersengketa agar tidak diketahui oleh umum. Serta putusan arbitrase tidak pernah dipublikasikan.[9]




BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Menurut UU No 30 tahun 1999, arbitrase didefinisikan sebagai suatu “cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar Peradilan Umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa”.
Kemudian pasal 1 ayat 3 UU No 30 tahun 1999, dinyatakan bahwa “Perjanjian arbitrase itu adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa atau suatu perjanjian abitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa”.
Berdasarkan isi pasal 1 butir 3 UU No 30 tahun 1999, maka bentuk klausula arbitrase dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : Pactum de Compromittendo dan Acta Compromise.
Bentuk-bentuk Arbitrase :
1.      Arbitrase Ad Hoc (Pasal 13 UU No.30 Tahun 1999)
2.      Arbitrase Institusional adalah forum arbitrase yang sengaja didirikan dan bersifat permanen.
Secara garis besar, prosedur arbitrase dapat dibagi ke dalam tiga tahap sebagai berikut : Prosedur sebelum dengan pendapat, prosedur pada waktu dengar pendapat, pelaksanaan putusan.
B.     Saran
Demikianlah makalah yang dapat kami susun. Semoga dapat bermanfaat bagi kita semua, kami menyadari bahwa makalah ini bukanlah proses akhir, tetapi merupakan langkah awal yang masih banyak memerlukan perbaikan. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan tanggapan, saran dan kritik yang membangun demi sempurnanya makalah kami yang selanjutnya. Dan semoga kita bisa bersama-sama mempelajari materi ini dan selanjutnya.



DAFTAR PUSTAKA

            Silondae, Arus Akbar & Wirawan B. Ilyas.Pokok-Pokok Hukum Bisnis.
      Jakarta:Salemba Empat.2015.
Atmadjaja, Djoko Imbawani.Hukum Dagang Indonesia.Malang:Setara
      Press.2012.
Muhibuthabary. Arbitrase Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa
      Ekonomi Syariah Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.
       Jurnal Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Ar-Raniry Aceh.Vol 16 No
      2.Agustus 2014.
Tampongangoy,  Grace Henni.Arbitrase Merupakan Upaya Hukum Dalam
      Penyelesaian Sengketa Dagang Internasional.Jurnal Lex et Societis.
      Vol 3 No 1.Januari-Maret 2015.
 Syarifin, Pipin & Dedah Jubaedah. Hukum Dagang Di Indonesia.
      Bandung:Pustaka Setia.2012.
 Sutiyoso, Bambang. Hukum Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian
      Sengketa.Yogyakarta:Gama Media2008.





[1] Pipin Syarifin & Dedah Jubaedah,Hukum Dagang Di Indonesia,(Bandung:Pustaka Setia,2012), 428.
[2] Arus Akbar Silondae & Wirawan B. Ilyas,Pokok-Pokok Hukum Bisnis,(Jakarta:Salemba Empat, 2015),182.
[3] Pipin Syarifin & Dedah Jubaedah,Hukum Dagang Di Indonesia,(Bandung:Pustaka Setia,2012), 428.
[4] Djoko Imbawani Atmadjaja,Hukum Dagang Indonesia,(Malang:Setara Press,2012),132-133.
[5] Muhibuthabary,Arbitrase Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, Jurnal Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Ar-Raniry Aceh, Vol 16 No 2, Agustus 2014, 103-104.
[6] Bambang Sutiyoso,Hukum Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,(Yogyakarta:Gama Media,2008), 134-135.
[7] Pipin Syarifin & Dedah Jubaedah,Hukum Dagang Di Indonesia,(Bandung:Pustaka Setia,2012), 442.
[8] Grace Henni Tampongangoy,Arbitrase Merupakan Upaya Hukum Dalam Penyelesaian Sengketa Dagang Internasional,Jurnal Lex et Societis,Vol 3 No 1,Januari-Maret 2015, 162.
[9] Djoko Imbawani Atmadjaja,Hukum Dagang Indonesia,(Malang:Setara Press,2012),138-139.

No comments:

SEJARAH PERADABAN ISLAM PADA AWAL PERMULAAN ISLAM SAMPAI DENGAN KHULAFAURRASYIDIN

                                                                                     BAB I                                            ...