DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................ ii
DAFTAR ISI..........................................................................................
iii
BAB I :
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................. 2
C. Tujuan..................................................................................
2
BAB II : PEMBAHASAN
A. Pengertian
Arbitrase............................................................... 3
B. Objek Dan Klausula
Arbitrase................................................. 3
C. Dasar Hukum Arbitrase..........................................................
4
D. Bentuk-Bentuk Arbitrase.......................................................
5
E.
Syarat, Prosedur, dan Mekanisme Arbitrase............................ 6
F.
Prinsip-Prinsip
Arbitrase........................................................ 9
G.
Kelebihan Dan Kelemahan
Arbitrase..................................... 10
BAB III : PENUTUP
A.
Kesimpulan..........................................................................
11
B. Saran...................................................................................
11
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................
12
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Berbagai macam
konflik atau sengketa sering muncul dalam masyarakat. Penyebabnya pun sangat
beraneka ragam, seperti karena masalah ekonomi, politik, agama, suku, golongan,
harga diri, dsb. Pada hakikatnya, konflik atau sengketa muncul karena adanya
masalah. Masalah sendiri itu terjadi karena adanya kesenjangan das sollen dan
das sein, atau karena adanya perbedaan antara hal yang diinginkan dengan
hal yang terjadi.
Penyelesaian
sengketa dalam suatu konflik, pada dasarnya dapat diselesaikan dengan berbagai pilihan.
Salah satunya adalah arbitrase. Arbitrase merupakan mekanisme penyelesaian
sengketa penanaman modal yang banyak dipilih oleh para pihak yang bersengketa
termasuk dalam hal penanaman modal asing yang dilakukan berdasarkan perjanjian
bilateral penanaman modal.
Pertumbuhan ekonomi
yang berkembang dengan pesat membuat sistem perdagangan dan perindustrian ikut
maju dengan pesat, baik dalam hubungan nasional maupun hubungan internasional. Dan
hal ini sering menjadi pemicu timbulnya sengketa diantara para pihak pelaku
usaha dan bisnis, yang mengharuskan para pihak untuk menyelesaikannya baik
melalui jalur pengadilan maupun jalur diluar pengadilan, sehingga diharapkan
tidak mengganggu iklim bisnis antar pihak yang bersengketa.
Bagi pengusaha,
arbitrase merupakan pilihan yang paling menarik guna menyelesaikan sengketa
sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka. Sehingga, penyelesaian sengketa melalui cara
arbitrase diatur secara khusus dalam peraturan perundang-undangan No. 30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian dari
Arbitrase ?
2.
Apa objek dan klausula
Arbitrase ?
3.
Apa saja dasar hukum
Arbitrase ?
4.
Apa saja bentuk-bentuk
Arbitrase ?
5.
Bagaimana syarat, prosedur,
dan mekanisme Arbitrase ?
6.
Apa saja prinsip-prinsip
Arbitrase ?
7.
Apa kelebihan dan kelemahan
dari Arbitrase ?
C.
Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian Arbitrase
2. Untuk mengetahui apa objek dan klausula Arbitrase
3. Untuk mengetahui dasar hukum Arbitrase
4. Untuk mengetahui bentuk-bentuk dari Arbitrase
5. Untuk memahami bagaimana syarat, prosedur, dan mekanisme Arbitrase
6. Untuk mengetahui prinsip-prinsip dari Arbitrase
7. Untuk mengetahui kelebihan dan kelemahan Arbitrase
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Arbitrase
Arbitrase berasal
dari kata arbiter yang berarti wasit. Menurut UU No 30 tahun 1999,
arbitrase didefinisikan sebagai suatu “cara penyelesaian suatu sengketa perdata
di luar Peradilan Umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat
secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa”.
Berdasarkan rumusan tersebut,
maka arbitrase lahir karena perjanjian yang dibuat oleh para pihak yang
berisikan perjanjian untuk menyelesaikan suatu sengketa di bidang perdata di
luar peradilan umum atau melalui arbitrase. Kalau dalam Pasal 1233 KUHPerdata,
arbitrase ini merupakan perikatan yang lahir karena perjanjian.
Kemudian pasal 1
ayat 3 UU No 30 tahun 1999, dinyatakan bahwa “Perjanjian arbitrase itu adalah
suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu
perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa atau suatu
perjanjian abitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa”.
Arbiter adalah
seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau ditunjuk
oleh PN atau lembaga arbitrase, untuk memberikan putusan mengenai sengketa
tertentu, yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase.
Lembaga arbitrase
adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan
putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan
pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum
timbul sengketa.[1]
B.
Objek Dan
Klausula Arbitrase
Sengketa yang dapat
diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa dalam bidang perdagangan. Adapun
sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah yang menurut
peraturan perundang-undangan tidak dapat dilakukan perdamaian.
UU No 30 tahun 1999
Pasal 4 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa, menyatakan
bahwa “Pengadilan Negeri tidak berwenang menyelesaikan sengketa para pihak yang
telah terikat di dalam perjanjian arbitrase dan putusan arbitrase adalah final,
artinya tidak dapat dilakukan banding, peninjauan kembali atau kasasi serta
putusannya berkekuatan hukum tetap bagi para pihak”.
Pembatasan
Pengadilan Negeri untuk sengketa yang terikat dalam perjanjian arbitrase dapat
mencegah upaya intervensi PN dalam perjanjian tersebut. Hal ini juga berarti
bahwa sejak awal perjanjian dibuat, para pihak telah mengesampingkan
kemungkinan penyelesaian secara ligitasi di PN.[2]
Karena perjanjian
arbitrase dapat dibuat sebelum atau sesudah timbul sengketa oleh para pihak
berdasarkan isi pasal 1 butir 3 UU No 30 tahun 1999, maka bentuk klausula
arbitrase dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :
a.
Pactum de
compromittendo
Adalah adanya
kesepakatan bagi para pihak yang memuat perjanjian agar di kemudian hari
apabila terjadi sengketa dapat diselesaikan melalui arbitrase. Klausula ini
dicantumkan dalam perjanjian sehingga klausula tersebut menjadi bagian dari
kontrak yang dibuat.
b.
Acta compromise
Adalah adanya
kesepakatan yang dituangkan dalam perjanjian bagi kedua pihak yang berselisih
untuk menyelesaikan sengketanya melalui arbitrase.
C.
Dasar Hukum Arbitrase
Landasan hukum yang
mengatur mengenai arbitrase, yaitu :
1.
Arbitrase
berdasarkan reglement op de burgerlijke rechtsvordering (RV)
2.
Arbitrase
berdasarkan het Herzience Indonesisch Reglement (HIR)
3.
Arbitrase
berdasarkan UU pokok kekuasaan kehakiman
4.
Arbitrase
berdasarkan UU MA
5.
Arbitrase
berdasarkan hukum adat
6. Arbitrase berdasarkan UU RI No 30 Tahun 1999[3]
Namun yang sampai sekarang masih digunakan adalah
UU RI No 30 Tahun 1999.
D.
Bentuk-Bentuk Arbitrase
1.
Arbitrase Ad Hoc
Arbitrase Ad Hoc
(Pasal 13 UU No 30 Tahun 1999) adalah forum arbitrase yang dibentuk untuk
menyelesaikan masalah atau sengketa tertentu. Karakteristik atau sifat
arbitrase Ad Hoc ini adalah insidentil, artinya keberadaannya hanya untuk
melayani dan memutus kasus sengketa tertentu saja dan setelahnya keberadaannya
dan fungsinya berakhir. Ciri yang bisa dikenali dari arbitrase Ad Hoc ini
adalah penunjukan arbitrator nya dilakukan secara perorangan dan dipilih
sendiri berdasarkan kesepakatan para pihak.
Kedudukan arbitrase
Ad Hoc ini tidak terkait dengan badan arbitrase tertentu, sehingga arbitrase Ad
Hoc ini tidak mempunyai aturan dan tata cara sendiri, baik aturan pengangkatan
arbitratornya maupun tentang tata cara pemeriksanya. Jadi, arbitrase Ad Hoc ini
tunduk sepenuhnya kepada aturan tata cara yang ditentukan oleh UU.
2.
Arbitrase
Institusional
Arbitrase
institusional adalah forum arbitrase yang sengaja didirikan dan bersifat
permanen serta dimaksudkan untuk menangani sengketa kontraktual yang timbul diantara
pihak-pihak yang menghendaki penyelesaian diluar pengadilan. Ciri dari
arbitrase intitusional ini, adalah :
a.
Keberadaannya sudah
eksis sebelum timbulnya sengketa
b.
Bersifat permanen,
artinya tetap berdiri meskipun sengketanya telah diputus
c.
Organisasinya dan
ketentuan tentang tata cara bagaimana mengangkat arbitratornya maupun tata cara
pemeriksaan sengketanya telah ditetapkan aturannya.
Arbitrase institusional berdasarkan wilayah
kerjanya dibedakan dalam arbitrase yang bersifat nasional dan arbitrase yang
bersifat internasional.
a.
Arbitrase
institusional yang bersifat Nasional.
Institusi arbitrase
ini sengaja didirikan sebagai lembaga arbitrase permanen. Dikatakan arbitase
nasional dikarenakan tujuan pendiriannya adalah untuk memenuhi kepentingan
suatu negara tertentu saja, serta eksistensi dan yurisdiksinya hanya sebatas
wilayah negara yang bersangkutan. Misalnya BANI (Badan Arbitrase Nasional
Indonesia) yang merupakan pusat arbitrase nasional Indonesia yang berkedudukan
di Jakarta.
b.
Arbitrase institusional
yang bersifat Internasional.
Institusi arbitrase
Internasional adalah lembaga arbitrase yang berwawasan Internasional. Misalnya Court
of Arbitration of the Internasional Chamber of Commerce (ICC) yang
merupakan lembaga arbitrase internasional tertua yang didirikan di Paris pada
tahun 1919.[4]
E.
Syarat, Prosedur, dan Mekanisme
Arbitrase
Berdasarkan
pengertian arbitrase, dapat disimpulkan bahwa syarat utama dari berlangsungnya
suatu arbitrase adalah perjanjian dari para pihak untuk menyelesaikan sengketa
melalui meknisme arbitrase. Perjanjian dapat lahir sebelum adanya sengketa atau
sudah adanya sengketa. Jika arbitrase dijalankan tanpa adanya perjanjian
arbitrase di antara para pihak yang bersengketa, maka itu bukanlah arbitrase.
Dengan adanya
perjanjian arbitrase, Pengadilan Negeri tidak bewenang untuk mengadili sengketa
para pihak tersebut. Pelaksanaan perjanjian arbitrase tidak mempersoalkan
masalah pelaksanaan perjanjian, akan tetapi yang dipermasalahkannya adalah cara
dan lembaga apa yang berwenang menyelesaikan perselisihan yang terjadi antara
para pihak yang berjanji tersebut. Perjanjian arbitrase harus memenuhi syarat
yaitu persetujuan mengenai perjanjian arbitrase, harus dibuat dalam suatu
perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak tersebut.
Perjanjian
arbitrase sering juga disebut sebagai klausul arbitrase yang berada dalam badan
perjanjian pokok. Hal tersebut dapat diartikan suatu perjanjian pokok diikuti
atau dilengkapi dengan persetujuan mengenai pelaksanaan arbitrase. Klausul
arbitrase ini diletakkan di dalam perjanjian pokok sehingga disebut sebagai
perjanjian aksesori. Keberadaannya hanya sebagai tambahan dari perjanjian
pokok, sehingga tidak berpengaruh terhadap pemenuhan perjanjian pokok. Tanpa
adanya perjanjian pokok, perjanjian arbitrase ini tidak bisa berdiri sendiri,
karena sengketa atau perselisihan timbul akibat adanya perjanjian pokok.
Timbul suatu
konsekuensi dari sifat perjanjian arbitrase yang merupakan perjanjian aksesori.
Dengan sifat aksesorinya, suatu perjanjian arbtrase tidak akan hapus karena
berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok. Selain itu, perjanjian arbitrase
juga tidak akan hapus oleh keadaan meninggalnya para pihak, bangkrutnya salah
satu pihak, novasi, insolvensi salah satu pihak yang mengadakan perjanjian
arbitrase.
Prosedur arbitrase
perlu dipahami untuk melihat apakah prosedur arbitrase konvensional seperti
yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dapat diterapkan
menjadi mekanisme online. Secara garis besar, prosedur arbitrase dapat dibagi ke dalam
tiga tahap sebagai berikut :
1. Prosedur
sebelum dengar
pendapat. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase, di awali dengar prosedur sebelum dengan pendapat yang
terdiri dari beberapa tahap sebagai berikut :
a. Pemberitahuan
kepada arbiter tentang penunjukannya. Langkah pertama yang perlu dilakukan
untuk melakukan arbitrase adalah pemberitahuan secara tertulis kepada seorang
ahli bahwa ia telah dipilih sebagai arbiter untuk menyelesaikan suatu sengketa.
b. Persiapan
arbiter. Hal penting yang perlu diperhatikan oleh arbiter adalah penunjukannya
sudah dilakukan berdasarkan hukum sesuai dengan peraturan yang berlaku.
c. Pemeriksaan
pendahuluan. Berdasarkan praktek, biasanya arbiter mengadakan pertemuan
terlebih dahulu dengan para pihak sebelum mengadakan dengar pendapat secara
resmi.
d. Prosedur
pelaksanaan tugas arbiter. Berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999,
arbiter berwenang untuk memerintahkan dan melakukan introgasi dalam proses
dengar pendapat. Dalam proses tersebut, arbiter dapat bersikap aktif, yaitu
arbiter bertindak mencari data. Namun, arbiter juga dapat bersikap pasif, yaitu
para pihak lah yang menyampaikan data-data sedangkan arbiter cukup mendengarkan
saja.
e. Menentukan
waktu dan dengar pendapat. Jika ada salah satu pihak yang tidak datang pada
saat dengar pendapat, maka arbiter tetap dapat melakukan dengar pendapat
tersebut.
f. Komunikasi
perorangan para pihak. Apabila salah satu pihak dalam proses arbitrase
menghubungi arbiter tanpa sepengetahuan pihak lain, arbiter wajib menolaknya.
2. Prosedur
pada waktu dengar pendapat. Arbiter memiliki kedudukan sebagai seorang hakim
berdasarkan adanya kesepakatan penunjukan para pihak yang bersengketa.
Penunjukan oleh para pihak yang bersengketa. Penunjukan oleh para pihak ini
memberikan wewenang kepada arbiter untuk dapat memutus berdasarkan fakta yang
diberikan kepadanya. Pada saat proses arbitrase berlangsung pihak ketiga atau
pihak lain (umum) tidak diperbolehkan hadir dalam proses. Hal ini merupakan
cerminan dari sifat arbitrase yang menjaga kerahasian para pihak yang
bersengeta.
3. Pelaksanaan
putusan. Dalam melaksanakan putusan arbitrase ada tata cara pelaksanaan yang
harus ditempuh. Berdasarkan pasal 59 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999, tata
cara pelaksanaan pokok-pokok di dalam putusan tergantung pada telah
didaftarkannya di pengadilan atau belum.
Dalam kaitannya
dengan institusi pengadilan, lembaga arbitrase masih memiliki ketergantungan
pada pengadilan, misalnya dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase. Ada
keharusan untuk mendaftarkan putusan arbitrase di pengadilan negeri. Hal ini
menunjukan bahwa lembaga arbitrase tidak mempunyai upaya pemaksa terhadap para
pihak untuk menaati putusannya, terutama dalam perkara perdata.11
Peranan pengadilan
dalam penyelenggaraan arbitrase berdasar Undang-Undang Arbitrase antara lain
mengenai penunjukan arbiter atau majelis arbiter dalam hal para pihak tidak ada
kesepakatan pasal 14 ayat (3) dan dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase
nasional maupun internasional yang harus dilakukan melalui mekanisme sistem
peradilan yatu pendaftaran putusan tersebut dengan menyerahkan salinan autentik
putusan.[5]
Berdasarkan UU No
30 tahun 1999, pemeriksaan perkara di arbitrase melalui 3 tahapan, yaitu :
1. Tahap persiapan
Adalah tahap untuk mempersiapkan segala sesuatunya guna
sidang pemeriksaan perkara. Tahap persiapan antara lain meliputi :
a.
Persetujuan arbitrase dalam dokumen tertulis
b.
Penunjukan arbiter
c.
Pengajuan surat tuntutan oleh pemohon
d.
Jawaban surat tuntutan oleh termohon
e.
Perintah arbiter agar para pihak menghadap sidang
arbitrase
2. Tahap pemeriksaan
Adalah tahap
mengenai jalannya sidang pemeriksaan perkara, mulai dari awal pemeriksaan
peristiwanya, proses pembuktian, sampai dijatuhkannya putusan oleh arbiter.
3. Tahap pelaksanaan
Adalah tahap untuk
merealisasi putusan arbiter yang bersifat final dan mengikat. Pelaksanaan putusan
dapat dilakukan secara sukarela maupun dengan paksa melalui eksekusi oleh PN.
Hukum acara yang
berlaku dalam pemeriksaan arbitrase diatur mulai Pasal 27-51 UU No 30 tahun
1999. Para pihak diberikan kebebasan untuk menentukan sendiri acara dan proses
pemeriksaan perkara yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan oleh arbiter. Dan
tidak boleh bertentangan dengan ketentuan UU No 30 tahun 1999.[6]
F.
Prinsip-Prinsip
Arbitrase
Dalam pelaksanaan
penyelesaian sengketa dengan jalan arbitrase sebaiknya dilakukan dengan tujuh
prinsip, yaitu sebagai berikut :
1.
Accessibilitas, bahwa biaya arbitrase mesti terjangkau
oleh para pihak baik mengenai biaya yang murah, waktunya cepat selesai, dan
tempat mudah terjangkau dengan kendaraan umum.
2.
Credibilitas, bahwa para arbiter dan badan arbitrase yang
bersangkutan semestinya orang-orang yang diakuinya kredibilitasnya, karena
keputusannya akan lebih dihormati oleh para pihak.
3.
Efisien, bahwa penyelesaian melalui badan arbitrase lebih
efisien, karena efisien dalam kaitannya dengan biaya murah dan waktunya cepat
selesai dibandingkan dengan penyelesaian sengketa lewat badan peradilan umum.
4. Final
and binding, bahwa mengenai keputusan arbitrase mesti final and binding,kecuali
para pihak menghendaki dengan alasan yan berkaitan dengan due process.
5. Fair
and just, bahwa putusan arbitrase harus tepat dan adil bagi para pihak yang
bersengketa baik mengenai sifat dan penyelesaian sengketa yang menyangkut hak
dan kewajiban bagi para pihak.
6. Proteksi
hak para pihak, bahwa bagi para pihak mesti mendapat perlindungan yang wajar,
terutama bagi pihak yang tidak mampu untuk mendatangkan saksi ahli atau untuk
menyewa pengacara terkenal.
7. Sesuai
dengan sense of justice dari
masyarakat, bahwa putusan dengan adil akan lebih terjamin unsure “deterrant”
dari isi pelanggar, dan sengketa dapat dicegah dengan mudah.[7]
G.
Kelebihan dan
kelemahan Arbitrase
1.
Kelemahan
a.
Putusan arbitrase
ditentukan oleh kemampuan teknis arbiter untuk memberikan keputusan yang
memuaskan untuk melakukan rasa keadilan para pihak.
b.
Apabila pihak yang
kalah tidak mau melaksanakan putusan arbitrase, maka diperlukan perintah dari
pengadilan untuk melakukan eksekusi atas putusan arbitrase tersebut.
c.
Pada praktiknya
pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase asing masih menjadi hal yang
sulit.
d.
Pada umumnya
pihak-pihak yang bersengketa di arbitrase adalah perusahaan-perusahaan besar,
jadi untuk mempertemukan kehendak para pihak yang bersengketa dan membawanya ke
badan arbitrase tidaklah mudah.[8]
2.
Kelebihan
Pemakaian arbitrase dalam menyelesaikan suatu
sengketa, khususnya bagi dunia usaha akan membawa keuntungan/kelebihan, yaitu :
a. Tenggang waktu penyelesaian sengketa
Penyelesaian masalah dengan gugatan perdata di
pengadilan sering memakan waktu yang panjang. Sebab bagi pihak yang belum puas
dimungkinkan mengadakan upaya banding ke Pengadilan Tinggi dan setelah itu,
masih ada upaya kasasi ke Mahkamah Agung.
Setiap persetujuan arbitrase harus menetapkan
suatu jangka waktu dalam perselisihan atau sengketa yang diajukan kepada
arbitrase harus diputus. Dan apabila jangka waktu itu tidak diatur dalam
perjanjian, maka kekuasaan yang diberikan UU kepada arbiter untuk menyelesaikan
sengketa adalah 180 hari dan dapat diperpanjang atas kesepakatan kedua belah
pihak (Pasal 48 UU No 30 Tahun 1999).
b. Mengenai saksi ahli
Dalam arbitrase, para pihak dapat menunjuk
wasit ahli yang mengetahui tentang masalah yang disengketakan. Diharapkan
putusan yang akan diambil ditunjang dengan pengetahuan yang mendalam mengenai
soal yang disengketakan.
Dan ada para ahli dari berbagai bidang (ahli
hukum, asuransi, perbankan, dsb). Karena ada jaminan bahwa perkara yang
diajukan kepada arbitrase akan diputus oleh mereka yang memang ahlinya dengan
persoalan yang bersangkut-paut dengan masalah yang dipersengketakan.
Sikap arbiter atau majelis arbiter dalam
menangani perkara arbitrase didasarkan pada sikap yang mengusahakan win-win
solution terhadap para pihak yang bersengketa.
c. Mengenai kerahasiaan putusan
Dalam sidang pengadilan, menurut UU haruslah terbuka untuk umum. Maka dalam
arbitrase, baik pemeriksaan maupun pemutusan perkara dilakukan dengan tertutup
untuk umum (Pasal 27 UU No 30 Tahun 1999). Hal ini dilakukan untuk menjamin
kerahasiaan para pihak yang bersengketa agar tidak diketahui oleh umum. Serta
putusan arbitrase tidak pernah dipublikasikan.[9]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Menurut UU No 30 tahun 1999, arbitrase
didefinisikan sebagai suatu “cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar
Peradilan Umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara
tertulis oleh para pihak yang bersengketa”.
Kemudian pasal 1 ayat 3 UU No 30 tahun 1999,
dinyatakan bahwa “Perjanjian arbitrase itu adalah suatu kesepakatan berupa
klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat
para pihak sebelum timbul sengketa atau suatu perjanjian abitrase tersendiri
yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa”.
Berdasarkan isi pasal 1 butir 3 UU No 30 tahun
1999, maka bentuk klausula arbitrase dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : Pactum
de Compromittendo dan Acta Compromise.
Bentuk-bentuk
Arbitrase :
1.
Arbitrase Ad Hoc
(Pasal 13 UU No.30 Tahun 1999)
2. Arbitrase Institusional adalah forum arbitrase
yang sengaja didirikan dan bersifat permanen.
Secara garis besar,
prosedur arbitrase dapat dibagi ke dalam tiga tahap sebagai berikut : Prosedur
sebelum dengan pendapat, prosedur pada waktu dengar pendapat, pelaksanaan
putusan.
B.
Saran
Demikianlah makalah
yang dapat kami susun. Semoga dapat bermanfaat bagi kita semua, kami menyadari
bahwa makalah ini bukanlah proses akhir, tetapi merupakan langkah awal yang
masih banyak memerlukan perbaikan. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan
tanggapan, saran dan kritik yang membangun demi sempurnanya makalah kami yang
selanjutnya. Dan semoga kita bisa bersama-sama mempelajari materi ini dan
selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Silondae, Arus Akbar & Wirawan B.
Ilyas.Pokok-Pokok Hukum Bisnis.
Jakarta:Salemba Empat.2015.
Atmadjaja, Djoko Imbawani.Hukum
Dagang Indonesia.Malang:Setara
Press.2012.
Muhibuthabary. Arbitrase
Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa
Ekonomi Syariah Menurut Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999.
Jurnal Fakultas Syariah Dan Hukum UIN
Ar-Raniry Aceh.Vol 16 No
2.Agustus
2014.
Tampongangoy, Grace Henni.Arbitrase Merupakan Upaya
Hukum Dalam
Penyelesaian
Sengketa Dagang Internasional.Jurnal Lex et Societis.
Vol 3 No 1.Januari-Maret 2015.
Syarifin, Pipin & Dedah Jubaedah. Hukum
Dagang Di Indonesia.
Bandung:Pustaka Setia.2012.
Sutiyoso, Bambang. Hukum Arbitrase Dan
Alternatif Penyelesaian
Sengketa.Yogyakarta:Gama
Media2008.
[2] Arus Akbar Silondae & Wirawan B. Ilyas,Pokok-Pokok
Hukum Bisnis,(Jakarta:Salemba Empat, 2015),182.
[3] Pipin Syarifin & Dedah Jubaedah,Hukum Dagang Di Indonesia,(Bandung:Pustaka
Setia,2012), 428.
[5] Muhibuthabary,Arbitrase Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa
Ekonomi Syariah Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, Jurnal Fakultas
Syariah Dan Hukum UIN Ar-Raniry Aceh, Vol 16 No 2, Agustus 2014, 103-104.
[6] Bambang Sutiyoso,Hukum Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,(Yogyakarta:Gama
Media,2008), 134-135.
[8] Grace Henni Tampongangoy,Arbitrase Merupakan Upaya Hukum Dalam
Penyelesaian Sengketa Dagang Internasional,Jurnal Lex et Societis,Vol 3 No
1,Januari-Maret 2015, 162.
No comments:
Post a Comment