DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................. i
DAFTAR ISI...........................................................................................
ii
BAB I :
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................. 1
C. Tujuan..................................................................................
2
BAB II : PEMBAHASAN
A. Definisi
Hiwalah.................................................................... 3
B. Dasar hukum
Hiwalah............................................................ 5
C. Implementasi/Konsep Hiwalah...............................................
6
D. Fatwa/Pandangan Hiwalah.....................................................
7
E. Analisis Hiwalah....................................................................
9
BAB III : PENUTUP
A.
Kesimpulan..........................................................................
11
B. Saran...................................................................................
11
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................
12
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kehidupan di dunia ini, manusia tidak
akan pernah lepas dari manusia yang lain. Saling membutuhkan dan membantu satu
sama lain dalam berbagai aspek kehidupan. Termasuk dalam kegiatan
utang-piutang. Utang-piutang merupakan istilah yang tak asing lagi di telinga
kita.
Dalam kegiatan ada istilah hiwalah, yaitu
pemindahan utang, namun pemindahan ini ada ketentuan-ketentuan yang harus
diketahui bersama. Dan pengalihan penagihan hutang ini dibenarkan oleh syariah
dan telah dipraktekkan oleh kaum muslimin dari zaman Nabi Muhammad SAW sampai
sekarang. Hiwalah ini merupakan suatu bentuk saling tolong menolong.
Hiwalah meruapakan sistem yang unik, yang
sesuai untuk diadaptasikan kepada manusia. Hal ini karena hiwalah sangat erat
hubungannya dengan kehidupan manusia.
Hiwalah sering berlaku dalam permasalahan
hutang piutang, maka salah satu cara untuk menyelesaikan masalah hutang piutang
dalam muamalah adalah hiwalah.
Hiwalah bukan saja digunakan untuk
menyelesaikan masalah hutang piutang, akan tetapi bisa juga digunakan sebagai
pemindah dana dari individu kepada individu lain atau syarikat dan firma.
Sebagaimana telah digunakan oleh sebagian sistem perbankan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi Hiwalah ?
2. Apa saja dasar hukum Hiwalah ?
3. Bagaimana implementasi/Konsep dari Hiwalah ?
4. Bagaimana Fatwa/Pandangan tentang Hiwalah ?
5. Bagaimana analisis dari Hiwalah ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi Hiwalah
2. Untuk mengetahui apa saja dasar hukum Hiwalah
3. Untuk memahami bagaimana implementasi/Konsep Hiwalah
4. Untuk mengetahui bagaimana Fatwa/Pandangan tentang Hiwalah
5.
Untuk memahami analisis dari Hiwalah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Hiwalah
Menurut bahasa, hiwalah adalah al-intiqal dan
al-tahwil yang artinya memindahkan atau mengalihkan. Sedangkan menurut istilah,
adalah pemindahan hak berupa utang dari orang yang berutang (al-muhil) kepada orang
lain yang dibebani tanggungan pembayaran utang tersebut.
Objek yang dialihkan dapat berupa uang atau piutang. Jenis akad ini pada
dasarnya adalah akad tabaru’ yang bertujuan untuk saling tolong menolong untuk
menggapai ridho Allah SWT.
Jika yang dialihkan utang, maka akad hiwalah merupakan akad pengalihan
utang dari satu pihak yang berutang kepada pihak lain yang wajib menanggung
(membayar) utangnya. Transaksi seperti ini dapat terjadi dengan adanya saling
mempercayai antara para pihak yang bertransaksi. Pihak yang berutang (muhil)
meminta pihak lain (muhal alaih) untuk membayarkan terlebih dahulu utangnya
pada pihak lain (muhal). Setelah akad hiwalah dilakukan, pihak yang berutang
(muhil) akan membayar kepada pihak yang telah menanggung utangnya (muhal alaih)
atau hak penagihan berpindah menjadi hak muhal alaih. Dalam hal ini, pihak yang
mengambil alih utang harus yakin pihak yang diambil alih utangnya dapat
memenuhi kewajibannya di kemudian hari.[1]
Jika yang dialihkan piutang, maka akad hiwalah merupakan akad pengalihan
piutang dari satu pihak yang berpiutang kepada pihak lain yang berkewajiban
menagih piutangnya. Pihak yang berpiutang (muhil) meminta pihak lain untuk
mengambil alih (muhal alaih) piutang yang dimilikinya, dengan pemngambil alihan
ini pihak yang berpiutang akan menerima uang dari yang mengambil alih piutang,
sementara pihak yang berutang (muhal) akan membayar pada pihak yang telah
mengambil alih piutang. Dalam hal ini hiwalah dapat membantu likuiditas bagi
pihak yang mempunyai piutang. Sebaliknya pihak yang yang mengambil alih piutang
harus berhati-hati pada kredibilitas dan kemampuan pihak yang berutang selain
juga harus melihat keabsahan transaksinya.
Pihak yang menerima pengalihan utang atau piutang (muhal alaih) dapat
memperoleh imbalan/feel ujrah atas jasanya (berupa kesediaan dan
komitmennya) dan besarnya ujrah harus ditetapkan pada saat akad secara jelas,
tetap, dan pasti.
1.
Rukun hiwalah, yaitu :
a. Pelaku akad, yaitu muhal (pihak yang berhutang), Muhil (pihak yang
mempunyai piutang), dan Muhal Alaih (pihak yang mengambil alih utang/piutang).
b. Objek akad, yaitu muhal bih (utang)
c. Shighat, yaitu ijab dan qabul.[2]
2. Syarat hiwalah, yaitu :
1) Pelaku akad :
a. Baligh (dewasa) dan berakal sehat.
b. Berhak penuh untuk melakukan tindakan hukum dalam urusan hartanya dan rela
dengan pengalihan utang piutang tersebut.
c. Diketahui identitasnya.
2) Objek akad :
a. Bisa dilaksanakan oleh pihak yang mengambil alih utang atau piutang.
b. Harus merupakan utang/piutang mengikat, yang tidak mungkin hapus kecuali
setelah dibayar atau dibebaskan.
c. Harus jelas nilai, jumlah dan spesifikasinya.
d. Tidak bertentangan dengan syariah.
3) Ijab qabul, dilakukan secara tertulis.[3]
B. Dasar hukum Hiwalah
1. Landasan Syariah
a.
Al-Qur’an
يَأَ يُّهَا آلَّذِ
ينَءَامَنُواإِذَاتَدَايَنْتُمْ بِدَيْنِ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَآ كْتُبُوهُ
وَلْيَكْتُبْ بَّيْنَكُمْ كَا تِبٌ بِآلْعَدْلِ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan
hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar”. (Q.S. Al-Baqarah : 282).
Surat Al-Baqarah ayat 282 diatas menerangkan
bahwa dalam utang-piutang atau transaksi yang tidak kontan hendaklah dituliskan
sehingga ketika ada perselisihan dan dapat dibuktikan. Dalam kegiatan ini pula
diwajibkan untuk ada dua orang saksi yang adil dan tidak merugikan pihak
manapun, saksi ini adalah orang yang menyaksikan proses utang-piutang secara
langsung dari awal.
b. Sunnah
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu
Hurairah bahwa Rasulullah SAW, bersabda :
مَطْلُ الْغَنِىَّ ظُلْمٌ فَاِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِىِّ
فَلْيَتْبَعْ
Artinya : “Menunda pembayaran bagi orang yang
mampu adalah suatu kezaliman. Dan, jika salah seorang dari kamu diikutkan (di
hawalah kan) kepada orang yang mampu/kaya, terimalah hawalah itu”.
Pada hadits tersebut, Rasulullah
memberitahukan kepada orang yang mengutangkan, jika orang yang berutang
menghawalahkan kepada orang yang kaya/mampu, hendaklah ia menerima hawalah
tersebut dan hendaklah ia menagih kepada orang yang di hawalahkan (muhal
alaih). Dengan demikian, haknya dapat terpenuhi.
Sebagian ulama berpendapat bahwa perintah
untuk menerima hawalah dalam hadits tersebut menunjukkan wajib. Oleh sebab itu,
wajib bagi yang mengutangkan (muhal) menerima hawalah. Adapun mayoritas ulama
berpendapat bahwa perintah itu menunjukkan sunnah. Jadi, sunnah hukumnya
menerima hawalah bagi muhal.
c. Fatwa Dewan Syariah Nasional No : 12/DSN-MUI/2000 Tentang Hawalah.
2. Landasan Hukum Positif
Hiwalah sebagai salah satu produk perbankan
syariah di bidang jasa telah mendapatkan dasar hukum dalam UU No 10 Tahun 1998
tentang perubahan atas dalam UU No 7 Tahun 1992 tentang perbankan. Dengan di
undangkannya UU No 21 Tahun 20088 tentang perbankan syariah, hiwalah mendapatkan
dasar hukum yang lebih kokoh. Dalam pasal 19 UU perbankan syariah disebutkan
bahwa kegiatan usaha Bank Umum Syariah antara lain meliputi melakukan pengambil
alihan utang berdasarkan akad hiwalah atau akad lain yang tidak bertentangan
dengan prinsip syariah.
Produk jasa perbankan syariah berdasarkan akad
hiwalah secara teknis mendasarkan pada Peraturan Bank Indonesia (PBI), yaitu dalam
Pasal 36 huruf c poin kedua PBI No. 6/24/PBI/2004 tentang bank umum yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, yang intinya
menyatakan bahwa bank wajib menerapkan prinsip syariah dan prinsip
kehati-hatian dalam kegiatan usahanya yang meliputi melakukan pemberian jasa
pelayanan perbankan berdasarkan akad hiwalah.[4]
C. Implementasi/Konsep dari Hiwalah
Dalam praktek perbankan syariah fasilitas dalam
hiwalah lazimnya untuk membantu supplier dalam mendapatkan modal tunai agar
dapat melanjutkan produksinya. Bank mendapat ganti biaya atas jasa pemindahan
piutang tersebut. Untuk mengantisipasi resiko kerugian yang akan timbul, bank
perlu melakukan penelitian atas kemampuan pihak yang berutang dan kebenaran
transaksi antara yang memindahkan piutang dengan yang berutang.
Akad hiwalah dalam perbankan syariah biasanya diterapkan pada hal-hal
berikut, yaitu :
1. Factoring atau anjak piutang, dimana para nasabah yang memiliki piutang kepada pihak
ketiga memindahkan piutang itu kepada bank, bank lalu membayar piutang tersebut
dan bank menagihnya dari pihak ketiga itu.
2. Post dated check, dimana bank bertindak sebagai juru tagih, tanpa
membayarkan dulu piutang tersebut.
3.
Bill discounting. Secara prinsip, bill discounting serupa
dengan hawalah. Hanya saja, dalam bill discounting, nasabah harus
membayar fee, sedangkan pembahasan fee tidak didapati dalam kontrak hawalah.[5]
Tujuan hiwalah dari bank adalah untuk membantu supplier dalam menapatkan modal
tunai agar dapat menjalankan produksinya. Bank akan mendapat ganti biaya atas
jasa pemindahan piutang, dan untuk mengantisipasi kerugian yang timbul, bank
perlu melakukan adanya penelitian atas kemampuan pihak yang berutang dan kebenaran transaksi
antara yang memindahkan piutang dengan yang berutang.
Hiwalah sebagai suatu cara untuk mendapatkan fresh money bagi pihak
nasabah juga tidak luput dari resiko, terutama dari pihak bank. Adapun resiko
yang harus diwaspadai oleh pihak bank syariah dari sebuah kontrak hiwalah
adalah adanya kecurangan nasabah dengan memberi invoice palsu atau
wanprestasi (ingkar janji) untuk memenuhi kewajiban hiwalah ke bank.[6]
D. Fatwa/Pandangan tentang Hiwalah
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional
No:12/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Hawalah, yaitu :
Menimbang :
1. Bahwa terkadang seseorang tidak dapat membayar utang- utangnya secara
langsung, karena itu ia boleh memindahkan penagihannya kepada pihak lain, yang
dalam hukum Islam disebut dengan Hawalah, yaitu akad pengalihan utang dari satu
pihak yang berutang kepada pihak lain yang wajib menanggung (membayar nya).
2. Bahwa akad hawalah saat ini bisa dilakukan oleh LKS.
3. Bahwa agar cara tersebut dilakukan sesuai dengan ajaran Islam, DSN
memandang perlu menetapkan fatwa tentang hawalah untuk dijadikan pedoman oleh
LKS.
Memperhatikan : Pendapat peserta Rapat pleno
Dewan Syariah Nasional pada
Hari kamis, tanggal 8 Muharram 1421
H/13 April 2000.
Menetapkan : FATWA TENTANG HAWALAH
Pertama : Ketentuan umum dalam Hawalah :
1. Rukun hawalah adalah muhil, yakni orang yang berutang dan sekaligus
berpiutang, muhal atau muhtal yakni orang berpiutang kepada muhil, muhal alaih
yakni orang yang berutang kepada muhil dan wajib membayar utang kepada muhtal,
muhal bih yakni utang muhil kepada muhtal, dan sighat (ijab-qabul).
2. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan
kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).
3. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespodensi atau menggunakan
cara-cara komunikasi modern.
4. Hawalah dilakukan harus dengan persetujuan muhil, muhal/ muhtal, dan muhal
alaih.
5. Kedudukan dan kewajiban para pihak harus dinyatakan dalam akad secara tegas.
6. Jika transaksi hawalah telah dilakukan, pihak-pihak yang terlibat hanyalah
muhtal dan muhal alaih, dan hak penagihan muhal berpindah kepada muhal alaih.
Kedua : Jika salah satu pihak tidak menunaikan
kewajibannya atau jika terjadi
Perselisihan diantara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan
melalui badan arbitrasi syariah setelah tidak tercapai kesepakatan
melalui musyawarah.[7]
E. Analisis dari Hiwalah
Bank Indonesia pada tahun 2008 mengeluarkan
surat edaran tentang teknis penerapan akad hiwalah sebagai produk perbankan
syariah dibidang jasa, yaitu SEBI No. 10/14/DPbS tanggal 17 Maret 2008. SEBI
ini memberikan ketentuan bagi hiwalah mutlaqah maupun hiwalah muqayyadah.
Apabila hiwalah telah dilaksanakan dan sah,
maka tanggungan muhil menjadi gugur. Muhal mempunyai kewenangan menuntut muhal
alaih atas hutang muhil kepada muhal. Anadaikata muhal alaih mengalami
kebangkrutan atau membantah hiwalah atau meninggal dunia, maka muhal tidak
boleh kembali lagi kepada muhil (jumhur ulama). Akad hiwalah akan berakhir oleh
hal-hal berikut ini, yaitu :
1. -Karena dibatalkan atau fasakh. Terjadi jika akad hiwalah belum dilaksanakan
sampai akhir kemudian difasakh.
2. Hilangnya hak muhal alaih karena meninggal dunia, bangkrut, mengingkari
adanya akad hiwalah sementara muhal tidak dapat menghadirkan bukti atau saksi.
3. Jika muhal menghibahkan atau menyedekahkan harta hiwalah kepada muhal alaih
dan ia menerima hibah tersebut.
4. Jika muhal alaih telah melaksanakan kewajibannya kepada muhal, berarti akad
hiwalah benar-benar telah dipenuhi oleh semua pihak.
5. Jika muhal menghapuskan kewajiban membayar hutang kepada muhal alaih.
Jenis-jenis hiwalah ada 4, yaitu :
a. Hiwalah Muthlaqoh. Terjadi jika orang yang berhutang (orang pertama) kepada
orang lain (orang kedua) mengalihkan hak penagihannya kepada pihak ketiga tanpa
didasari pihak ketiga ini berhutang kepada orang pertama.
b. Hiwalah Muqoyyadah. Terjadi jika muhil mengalihkan hak penagihan muhal kepada
muhal alaih, karena yang terakhir punya hutang kepada muhal.
c. Hiwalah dayn. Adalah pemindahan kewajiban melunasi hutang kepada orang
lain. Disebut hiwalah dayn jika memandangnya sebagai pengalihan utang.
d. Hiwalah haqq. Adalah pemindahan kewajiban piutang kepada orang lain. Disebut
hiwalah haqq jika memandangnya sebagai pengalihan piutang. Jadi, factoring
(anjak piutang) termasuk dalam kelompok hiwalah haqq.[8]
Contohnya : A meminjamkan uang Rp 2.000.000
kepada B. Sedangkan B juga memiliki hutang pada C dengan jumlah yang sama yaitu
Rp 2.000.000. dan ketika A menagih hutangnya kepada B, dan B berkata “Si C juga
memiliki hutang yang sejumlah Rp 2.000.000 kepadaku dan kau dapat menagih
kepadanya”. Maka A bisa langsung menagih hutang pada C, dan B sudah tanpa
tanggungan.
Dalam fiqh kontemporer saat ini, khususnya
dalam dunia perbankan, pengembangan konsep hiwalah ini ada dalam beberapa
bentuk selain anjak piutang (factoring), salah satunya adalah bilyet giro cek
bertempo.[9] Manfaat
dari hiwalah sendiri yaitu :
1. Dapat menjadi salah satu sumber pendapatan non pembiayaan bagi bank
syariah.
2.
Memungkinkan penyelesaian hutang dan piutang
dengan cepat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hiwalah adalah pengalihan utang dari orang
yang berutang kepada orang lain yang dibebani tanggungan pembayaran utang. Akad
hiwalah ini dibolehkan oleh syara’. Fatwa Dewan
Syari’ah Nasional No:12/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Hawalah.
Rukun yang harus dipenuhi dalam akad hiwalah
ini adalah adanya muhil, muhal, muhal alaih, dan shighat hiwalah. Landasan
hukum hiwalah sendiri ada landasan syariah dan dan dari hukum positif.
Dalam praktek perbankan syariah fasilitas
dalam hiwalah lazimnya untuk membantu supplier dalam mendapatkan modal tunai
agar dapat melanjutkan produksinya. Bank mendapat ganti biaya atas jasa
pemindahan piutang tersebut. Untuk mengantisipasi resiko kerugian yang akan
timbul, bank perlu melakukan penelitian atas kemampuan pihak yang berutang dan
kebenaran transaksi antara yang memindahkan piutang dengan yang berutang.
B. Saran
Demikianlah makalah
yang dapat kami susun. Semoga dapat bermanfaat bagi kita semua, kami menyadari
bahwa makalah ini bukanlah proses akhir, tetapi merupakan langkah awal yang
masih banyak memerlukan perbaikan. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan tanggapan,
saran dan kritik yang membangun demi sempurnanya makalah kami yang selanjutnya.
Dan semoga kita bisa bersama-sama mempelajari materi ini dan selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syariah
Dari Teori Ke Praktik.Jakarta:
Gema Insani.2016.
Nurhayati, Sri & Wasilah. Akuntansi
Syariah Di Indonesia. Jakarta:
Salemba Empat.2014.
Ascarya.Akad & Produk Bank Syariah.Jakarta:Rajawali
Pers.2013.
Anshori, Abdul Ghofur. Perbankan Syariah Di
Indonesia.Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.2007.
Nugraheni, Destri Budi.Analisis Fatwa Dewan
Syariah Nasional Tentang
Wakalah, Hawalah dan Kafalah Dalam Kegiatan
Jasa Perusahaan
Pembiayaan
Syariah. Jurnal Media Hukum.Vol 24 No 2. Desember
2017.
[1]Sri Nurhayati & Wasilah,Akuntansi Syariah Di Indonesia,(Jakarta:Salemba
Empat,2014), 262-263.
[2] Ascarya,Akad & Produk Bank Syariah,(Jakarta:Rajawali
Pers,2013),107.
[3] Sri Nurhayati & Wasilah,Akuntansi Syariah Di Indonesia,(Jakarta:Salemba
Empat,2014),264.
[4]
Abdul Ghofur
Anshori,Perbankan Syariah Di Indonesia,(Yogyakarta:Gadjah Mada University
Press,2007),147-148.
[6] Abdul Ghofur Anshori,Perbankan Syariah Di
Indonesia,(Yogyakarta:Gadjah Mada University Press,2007),149.
[8] Destri Budi Nugraheni,Analisis Fatwa Dewan
Syariah Nasional Tentang Wakalah, Hawalah dan Kafalah Dalam Kegiatan Jasa
Perusahaan Pembiayaan Syariah,Jurnal Media Hukum,Vol 24 No 2, Desember 2017,131-134.
No comments:
Post a Comment