DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................. ....... i
DAFTAR ISI........................................................................................................... ....... ii
BAB I : PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang..................................................................................... ....... 1
B.
Rumusan
Masalah............................................................................ ....... 1
C.
Tujuan.................................................................................................. ....... 2
BAB II : PEMBAHASAN
A.
Kuasa/wakil ....................................................................................... ....... 3
B.
Perkara gugur........................................................................................ ....... 8
C.
Perkara dibatalkan.............................................................................. ........ 9
D.
Perkara
verstek.................................................................................. ........
10
E.
Verzet............................................................................................... ........ 13
BAB III : PENUTUP
A.
Kesimpulan........................................................................................... ....... 17
B.
Saran..................................................................................................... ....... 17
DAFAR
PUSTAKA................................................................................................. ....... 18
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Para pihak yang hendak berperkara di muka
pengadilan, prinsipnya tidak harus diwakilkan/dikuasakan kepada pihak lain.
Dalam artian, pemeriksaan perkara di persidangan bisa secara langsung terhadap
para pihak, namun apabila dikehendaki oleh pihah yang berperkara dan memang ada
alasan untuk itu, maka kehadiran mereka dalam persidangan bisa
dikuasakan/diwakilkan kepada pihak lain. Dalam HIR, pengaturan mengenai surat
kuasa khusus dalam pasal 123 HIR.
Seseorang yang tidak mempunyai waktu atau
tidak mau direpotkan oleh urusan hukum atau pengadilan, atau bisa juga karena
suatu kepentingan lain, sehingga seseorang tersebut tidak dapat menjalani dan
menangani secara langsung masalah yang dihadapi, bisa juga karena sakit
misalnya, sehingga ia tidak bisa berbuat apa-apa. Maka untuk mewakili seseorang
yang berhalangan tersebut, diperlukan jasa orang lain sebagai “kuasa” untuk
mewakili kepentingannya dalam melakukan perbuatan-perbuatan tertentu.
Namun selama persidangan berlangsung, ada beberapa
kendala yang bisa menghambat jalannya persidangan. Dari yang semula bisa
selesai dalam 1 minggu bisa lebih karena kendala tersebut, atau yang biasa
disebut dengan perihal acara istimewa. Yaitu dari perkara dibatalkan, perkara
gugur, perkara verstek, dan verzet.
Di materi ini, kita mencoba mengupas satu
persatu, apa yang dimaksud dari kuasa/ wakil, perkara dibatalkan, perkara
gugur, perkara verstek, verzet dan bagaimana alurnya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan kuasa/wakil ?
2. Bagaimana dengan perkara gugur itu ?
3. Mengapa perkara bisa dibatalkan ?
4. Bagaimana perkara verstek itu ?
5. Apa yang dimaksud dengan verzet ?
C. Tujuan
1.
Mengetahui apa yang
dimaksud dengan kuasa/wakil
2.
Mengetahui bagaimana
perkara gugur
3.
Untuk mengetahui
perkara yang bisa dibatalkan
4.
Memahami bagaimana
perkara verstek
5.
Mengetahui apa yang
dimaksud dengan verzet
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kuasa/wakil
1. Lembaga kuasa hukum/wakil
Di dalam hukum, dikenal lembaga kuasa
(lastgeving). Inti dari lembaga kuasa ini adalah untuk mewakili kepentingan
hukum seseorang. Menurut pasal 1792 KUH Perdata, pemberian kuasa adalah suatu
perjanjian dengan mana seseorang memberikan kuasa kepada orang lain, yang
menerimanya untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusan. Pemberi kuasa
disebut lastgever (instruction, mandate), sedangkan penerima kuasa
disebut lasthebber (mandatory) bertindak mewakili pemberi kuasa terhadap
pihak ketiga untuk dan atas nama pemberi kuasa.[1]
Seseorang atau sekelompok orang yang bersengketa dengan pihak lain, baik
sebagai penggugat maupun tergugat, dapat menggunakan jasa seorang advokat
selaku kuasa hukum untuk bertindak mewakili kepentingan-kepentingan penggugat
maupun tergugat di pengadilan dan atau di luar pengadilan. Namun sebenarnya,
HIR tidak mewajibkan para pihak untuk mewakilkan kepada orang lain, sehingga
pemeriksaan di pengadilan terjadi secara langsung terhadap para pihak yang
berkepentingan (pasal 123 HIR, 147 RBg). Jadi, setiap orang yang telah memenuhi
syarat kecakapan dalam hukum dapat bertindak atas namanya sendiri di
pengadilan. Seorang kuasa hukum yang dapat mewakili kepentingan klien, baik di
luar/dalam pengadilan, haruslah advokat resmi yang telah mendapatkan izin
praktik dari organisasi advokat, sebagaimana yang diatur dalam UU No. 18 tahun
2003 tentang advokat.
Dahulu kuasa hukum ini tidak harus advokat, tetapi boleh siapa saja selain
advokat, pengacara, pengacara praktik, asal dapat menunjukkan izin khusus yang
diberikan oleh ketua PN setempat. Namun sejak berlakunya UU advokat tersebut,
izin khusus dengan sendirinya dilarang, bahkan diancam pidana lima tahun,
karena yang dapat menjadi kuasa hukum hanya advokat yang terdaftar menjadi
anggota organisasi profesi advokat. Hak untuk menggunakan kuasa, diatur dalam
pasal 147 RBg/123 HIR. Biaya yang dikeluarkan untuk penggunaan jasa kuasa
hukum, tidak dapat dibebankan kepada pihak lawan (Yurisprudensi Mahkamah Agung RI,
tanggal 11 September 1975, Nomor 983 K/Sip/1973).
2. Surat kuasa
Pasal 123 HIR/RBg menentukan bahwa surat kuasa
yang dapat digunakan untuk beracara di pengadilan, baik untuk mewakili
kepentingan pihak penggugat maupun pihak tergugat, harus merupakan surat kuasa
khusus atau istimewa. Hal demikian diatur dalam surat edaran Mahkamah Agung,
tanggal 19 Januari 1959, Nomor 2 tahun 1959 jo tanggal 14 Oktober 1994, Nomor 6
tahun 1994 yang menentukan bahwa surat kuasa khusus adalah surat kuasa yang
khusus tentang subjeknya, objeknya, materi perkaranya, pengadilannya, serta
tingkat proses perkaranya, yaitu tingkat PN, banding (PT), kasasi (MA). Kuasa
boleh diberikan per tingkat, boleh juga untuk tingkat pertama sampai dengan
tingkat kasasi.
Contoh : kuasa untuk menggugat, yang belum
terdaftar di pengadilan : ... khusus untuk mewakili pemberi kuasa
sepenuhnyasebagai penggugat dalam perkara perdata di PN Surabaya, tentang
gugatan ingkar janji (wanprestastie) dan ganti rugi melawan Raharjo, 45
tahun, pedagang, beralamat di jalan arjuno nomor 118 kota Surabaya sebagai
tergugat.
Surat kuasa yang tidak memenuhi syarat sebagaimana yang telah diatur dalam
pasal 123 HIR/RIB dan surat edaran MA tersebut, tidak dapat digunakan untuk
beracara di pengadilan, sehingga surat kuasa yang demikian itu, akan dapat
berakibat fatal, yaitu gugatan menjadi tidak sah. Surat kuasa harus dibuat
sebelum tanggal gugatan, serta isi dalam surat kuasa harus sesuai dengan surat
gugatan. Jika objek/ subjek dalam surat kuasa tidak sama dengan yang disebutkan
dalam surat gugatan, dapat mengakibatkan gugatan tidak sah dan diputuskan tidak
dapat diterima (niet onvankeljiek verklaard).
3.
Pemberian kuasa
Dari pasal 1792 KUHPerdata, dapat disimpulkan
beberapa faktor penting suatu pemberian kuasa.
1. Subjek pemberian kuasa terdiri dari pihak yang memberikan kuasa atau
pemberi kuasa (lastgever) dan penerima kuasa (lastheber). Pemberi
kuasa mewakilkan kepentingan hukumnya kepada penerima kuasa sesuai dengan
fungsi hak dan kewenangan dalam surat kuasa.
2. Pemberian kuasa adalah suatu perjanjian. Perjanjian disini adalah antara
pemberi kuasa dan penerima kuasa.
3. Objek pemberian kuasa objek dari pemberian kuasa, menurut pasal 1792 KUH
Perdata, adalah menyelenggarakan suatu urusan. Urusan itu meliputi
perbuatan-perbuatan hukum yang berkaitan dengan harta kekayaan si pemberi
kuasa.
4. Berakhirnya kuasa
Menurut pasal 1813 KUHPerdata, berakhirnya pemberian
kuasa dapat disebabkan:
1. Penarikan kembali kuasa oleh pemberi kuasa. Tanpa persetujuan si penerima
kuasa. Penarikan kembali pemberian kuasa secara tegas dilakukan pemberi kuasa
dengan cara mencabut secara tegas dengan tertulis atau meminta kembali surat
kuasa dari penerima kuasa. Sedangkan penarikan pemberian kuasa secara diam-diam
dapat dilakukan pemberi kuasa dengan cara mengangkat kuasa baru untuk substansi
pemberian kuasa yang sama. Dalam praktik dikenal adanya Surat Kuasa Mutlak,
yaitu surat kuasa yang tidak dapat ditarik kembali secara sepihak oleh pemberi
kuasa.
2. Penghentian kuasa oleh penerima kuasa. Pelepasan kuasa oleh penerima kuasa
itu dapat dilakukan dengan cara memberitahukan maksud tersebut kepada pemberi
kuasa (pasal 1817 KUHPerdata). Namun pelepasan pemberian kuasa tidak akan
mengakibatkan kerugian bagi si pemberi kuasa.
3. Meninggalnya atau di bawah pengampuan dan pailitnya pemberi kuasa, dan
karena perkawinan perempuan sebagai pihak pemberi kuasa atau penerima kuasa.
Atau bisa dengan meninggalnya salah satu pihak, dengan sendirinya pemberian
kuasa itu berakhir (pasal 1813 KUHPerdata). Pemberian kuasa tidak dapat
dilanjutkan kepada ahli waris, kecuali dibuat pemberian kuasa yang baru. Untuk
sesseorang yang berada di bawah pengampuan atau dinyatakan pailit, maka
terhadap mereka dapat diangkat seorang penerima kuasa untuk mewakili melakukan
perbuatan hukum orang yang diampu atau orang pailit.
5. Jenis kuasa
1. Kuasa umum
Diatur dalam pasal 1795 KUHPerdata, di mana kuasa umum
bertujuan untuk memberi kuasa kepada seseorang untuk mengurus kepentingan
pemberi kuasa mengenai perusahaan yang disebut berharder untuk mengatur
kepentingan pemberi kuasa. Dari segi hukum, surat kuasa umum tidak dapat
dipergunakan di depan pengadilan untuk mewakili pemberi kuasa.
2. Kuasa khusus
Diatur dalam pasal 1975 BW, yaitu mengenai pemberian
kuasa satu kepentingan tertentu atau lebih. Agar bentuk kuasa yang disebut
dalam pasal ini sah sebagai surat kuasa khusus di depan pengadilan, kuasa
tersebut harus disempurnakan terlebih dahulu dengan syarat yang disebutkan
dalam pasal 123 HIR.
3. Kuasa istimewa
Diatur dalam pasal 1796 BW dikaitkan dengan pasal 157 HIR
atau pasal 184 RBg.
4. Kuasa perantara
Disebut juga agen, yakni di mana pemberi kuasa memberikan
kuasa kepada pihak kedua dalam kedudukannya sebagai perantara atau makelar
untuk melakukan perbuatan hukum terhadap pihak ketiga dalam perdagangan
keagenan. Kuasa perantara ini di konstruksi berdasarkan pasal 1792 KUHPerdata
dan pasal 62 KUHD.
6. Kuasa menurut hukum
Kuasa menurut hukum adalah pemberian khusus
dari seseorang atau suatu badan kepada orang atau badan lain karena UU. Jadi,
pemberian kuasa menurut hukum bukan berasal dari suatu pemberian kuasa dari
pihak pemberi kuasa, melainkan UU yang memberikan kuasa kepada penerima kuasa. Kuasa
menurut hukum antara lain sebagai berikut.
1. Wali terhadap anak di bawah perwalian.
Menurut pasal 51 UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
Secara hukum, wali adalah penerima kuasa dari anak di bawah perwalian.
2. Kurator atas orang yang tidak waras.
Menurut pasal 229 HIR. Dalam hal ini kurator adalah
penerima kuasa menurut Undang-Undang yang mewakili kepentingan orang dewasa
yang tidak waras itu untuk mengurus kepentingan hukumnya.
3. Orang tua terhadap anak yang belum dewasa.
Menurut pasal 45 ayat 2 UU no 1 tahun 1974 tentang
perkawinan. Selama seorang anak belum dewasa, maka kepentingan hukumnya
diwakili oleh orang tuanya. Dalam hal ini orang tua merupakan pihak penerima
kuasa atas anak yang belum dewasa.
4. Balai Harta Peninggalan (BHP) sebagai kurator kepailitan.
Menurut pasal 13 UU nomor 4 tahun 1998 tentang
kepailitan, jika seseorang dianggap pailit oleh putusan pengadilan, dan debitur
maupun kreditor tidak mengangkat seorang kurator, maka pengadilan akan
mengangkat kurator. Kurator merupakan pihak penerima kuasa atas orang pailit.
5. Direksi/ badan pengurus badan hukum.
Menurut UU PT, penanggung jawab perseroan adalah direksi.
Direksi ini yang melakukan pengurusan baik internal dan eksternal, serta
direksi pula yang mewakili perusahaan melakukan hubungan hukum dengan pihak
lain.
6. Pimpinan perwakilan perusahaan asing.
Pimpinan perwakilan perusahaan asing merupakan legal
mandatory yang kedudukannya sejajar dengan wettelijke vertegenwoording.
Secara hukum, ia adalah penerima kuasa dari perusahaan asing.
7. Pimpinan cabang perusahaan domestik.
Menurut putusan MA no 779 K/Pdt/1992, pimpinan cabang
suatu bank berwenang bertindak untuk dan atas nama pimpinan pusat tanpa
memerlukan surat kuasa untuk itu.
7. Wakil
Peraturan perundang-undangan tidak mengatur bahwa para pihak dalam suatu
perkara harus mewakilkan kepada orang lain. Mereka yang mempunyai kepentingan
langsung dalam perkara yang bersangkutan, tetapi mereka sekaligus menjadi pihak
formil, karena mereka sendirilah yang beracara di muka pengadilan. Akan tetapi,
dalam keadaan tertentu orang lain dapat bertindak sebagai penggugat atau
tergugat di muka pengadilan tanpa bersangkutan, misalnya seorang wali atau pengampu
(pasal 383, 446, 452, 403, dan 405 BW).
Sering terjadi pihak materiil memerlukan suatu wakil untuk beracara di muka pengadilan karena memang tidak mungkin
beracara tanpa diwakili, misalnya suatu badan hukum (Pasal 8 no 2 Rv BW 1955).
Dalam hal tersebut harus dibedakan dengan seorang pengacara yang meskipun
mewakili kliennya karena seorang pengacara bukan merupakan pihak, baik formil
maupun materiil. Untuk mewakili kepada seorang pengacara dalam suatu
persidangan harus mempergunakan surat kuasa khusus.
8. Syarat seorang kuasa/wakil
Jadi, untuk dapat bertindak sebagai kuasa atau wakil dari penggugat,
seseorang harus memenuhi salah satu syarat berikut ini.
1. Harus mempunyai surat kuasa khusus, sesuai dengan bunyi Pasal 123 ayat 1
HIR, 147 1 RBg.
2. Ditunjuk sebagai kuasa atau wakil dalam surat gugat (Pasal 123 ayat 1 HIR,
147 ayat 1 RBg).
3. Ditunjuk sebagai kuasa atau wakil dalam catatan gugatan apabila diajukan
secara lisan (Pasal 123 ayat 1 HIR, Pasal 147 ayat 1 RBg).
4. Ditunjuk oleh penggugat sebagai kuasa atau wakil di persidangan (Pasal 123
ayat 1 HIR, Pasal 147 ayat 1 RBg).
5. Memenuhi syarat dalam Peraturan Menteri Kehakiman 1/1965 tanggal 28 Mei
1965 jo. Keputusan Menteri Kehakiman No.J.P 14/2/11 tanggal 7 Oktober 1965
tentang protokol.
6. Telah terdaftar sebagai advokat.
Adapun yang bertindak sebagai kuasa atau wakil dari negara atau pemerintah
berdasarkan S 1922 No. 522 dan Pasal 123 ayat 1 HIR, Pasal 147 ayat 2 RBg
adalah :
1. Pengacara negara yang diangkat oleh pemerintah
2. Jaksa
3. Orang-orang tertentu atau pejabat-pejabat yang diangkat atau ditunjuk.[2]
B. Perkara gugur
Jika pada hari sidang yang telah ditentukan
untuk mengadili perkara, salah satu pihak baik penggugat ataupun tergugat tidak
hadir atau tidak menyuruh wakilnya untuk menghadap pada sidang yang ditentukan,
maka diberlakukan acara istimewa yang diatur dalam pasal 124 dan pasal 125 HIR.
Apabila ada banyak penggugat ataupun tergugat, maka haruslah semuanya penggugat
dan tergugat yang tidak hadir. Apabila dari pihak penggugat/tergugat ada yang
hadir, acara istimewa ini tidak berlaku, sidang akan diundurkan dan perkara
tersebut pada akhirnya akan diputus menurut acara biasa.
Pasal 124 HIR yang mengatur perihal gugur, berbunyi : “Jikalau
si penggugat, walaupun dipanggil dengan patut, tidak menghadap PN pada hari
yang ditentukan itu, dan tidak juga menyuruh seorang lain menghadap selaku
wakilnya, maka gugatannya dipandang gugur dan si penggugat dihukum membayar
biaya perkara, akan tetapi si penggugat berhak, sesudah membayar biaya yang
tersebut, memasukan gugatannya sekali lagi”. Sebelum gugatan digugurkan, hakim
harus terlebih dahulu teliti memeriksa berita acara pemanggilan pihak-pihak,
apakah penggugat telah dipanggil dengan patut, seksama dan jika cara
pemanggilan tidak dilakukan sebagai mana
mestinya, hakim tidak boleh menggugurkan gugatan, melainkan akan
menyuruh juru sita untuk memanggil penggugat sekali lagi.
Meskipun penggugat telah dipanggil dengan
patut, pihak penggugat juga telah mengirim orang atau surat yang menyatakan
bahwa pihak penggugat berhalangan secara sah (misalnya sakit parah) atau
penggugat telah mengurus wakilnya, akan tetapi ternyata surat kuasa yang telah
ia berikan kepada wakilnya tidak memenuhi persyaratan (terdapat kesalahan),
maka hakim harus bijaksana untuk mengundurkan sidang.
Jika penggugat sebelum dipanggil telah wafat,
maka terserah kepada para ahli warisnya apakah mereka akan meneruskan perkara
atau kan mencabut perkara yang bersangkutan. Sebaiknya para ahli waris datang
datang menghadap pada ketua PN yang bersangkutan untuk mengutarakan maksudnya
agar gugatan tersebut tidak gugur. Jika mereka berkehendak untuk melanjutkan
gugatan, maka surat gugat harus diubah dengan mencantumkan para ahli waris
sebagai penggugat. Namun jika perihal kematian si penggugat tidak diberitahukan
kepada pengadilan oleh pihak warisnya, maka perkara tersebut akan digugurkan.
Apabila gugat digugurkan, maka dibuatlah suatu
putusan dan penggugat dihukum untuk membayar baiaya perkara. Pihak penggugat
yang perkaranya digugurkan, diperkenankan untuk mengajukan gugatannya sekali
lagi setelah ia terlebih dulu membayar biaya perkara (kekurangannya) dan
membayar persekot untuk perkaranya yang baru. Jika perkara yang kedua kemudian
juga digugurkan, dalam HIR menjelaskan bahwa pengajuan gugat semacam itu diperkenankan.
Dalam perkara yang digugurkan pokok persoalan
sama sekali belum diperiksa, oleh karena itu tidaklah diperkenankan dan salah.
Apabila sekalian dengan menggugurkan gugutan, pokok perkara ditolak.[3]
C. Perkara dibatalkan
a.
Jika panjar biaya perkara sudah habis, pihak
berperka ditegur untuk membayar tambahan panjar biaya perkara dalam tenggang waktu
30 (tiga puluh) hari setelah surat teguran itu disampaikan.
b.
Jika setelah ditegur tidak membayar tambahan
panjar biaya perkara, maka perkara tersebut dapat dibatalkan dalam bentuk
putusan dengan amar sebagai berikut : - Membatalkan perkara nomor ….. -
Memerintahkan Panitera untuk mencoret dari daftar perkara. - Menghukum
penggugat membayar biaya perkara sejumlah Rp. ….
(………).
(………).
Apabila suatu perkara tidak memenuhi syarat
subjektif, maka perkara tersebut ‘dapat dibatalkan’, artinya salah satu pihak
dapat memintakan pembatalan itu. Sedangkan, jika suatu perkara tidak memenuhi
syarat objektif, maka perjanjian tersebut adalah ‘batal demi hukum’, artinya
adalah dari semula dianggap tidak pernah ada dilahirkan suatu perkara tersebut
dan tidak pernah ada ada lagi perkara tersebut. Contohnya seperti perkara
perjanjian.
D. Perkara Verstek
1) Pengetian verstek
Verstek adalah pernyataan bahwa tidak hadirnya tergugat, meskipun menurut
hukum acara ia harus datang. Verstek hanya dapat dinyatakan, apabila pihak
tergugat kesemuanya tidak datang menghadap sidang pada sidang yang pertama, dan
apabila perkara diundurkan sesuai pasal 126 HIR, juga pihak-pihak tergugat
kesemuanya tidak datang menghadap lagi.
Apabila tergugat pada sidang pertama hadir dan
sidang selanjutnya tidak hadir atau hakim mengundurkan sidang berdasarkan pasal
126 HIR dan pada sidang yang kedua ini tergugat hadir dan sidang selanjutnya
tidak hadir lagi, maka perkara akan diperiksa menurut acara biasa dan putusan
dijatuhkan secara contradictoir (dengan adanya perlawanan), meskipun
sesungguhnya tidak diajukan suatu perlawanan. Pasal 125 ayat 1 HIR menentukan,
bahwa untuk putusan verstek yang mengabulkan gugat diharuskan adanya
syarat-syarat sebagai berikut :
a. Tergugat atau para tergugat kesemuanya tidak datang pada hari sidang yang
telah ditentukan.
b. Tergugat atau para tergugat tidak mengirimkan wakil atau kuasa nya yang sah
untuk menghadap.
c. Tergugat atau para tergugat kesemuanya telah dipanggil dengan patut.
d. Petitum gugatan tidak melawan hak.
e. Petitum gugatan cukup beralasan.
Syarat tersebut harus diperiksa dengan
seksama, baru apabila benar-benar persyaratan semuanya di penuhi, putusan
verstek dijatuhkan dengan mengabulkan gugat. Apabila syarat 1, 2, 3 terpenuhi,
akan tetapi petitumnya ternyata melawan hak atau tidak beralasan, maka meskipun
perkara diputus dengan verstek, gugatan ditolak. Apabila syarat 1, 2, 3
terpenuhi, akan tetapi ternyata ada kesalahn formal dalam gugatan (misalnya
gugatan diajukan oleh para orang yang tidak berhak, kuasa yang menandatangani
surat gugat ternyata tidak memiliki surat kuasa khusus dari pihak penggugat,
maka gugatan dinyatakan tidak dapat diterima).
2) Dasar hukum verstek
Yang mengatur persoalan verstek adalah pasal
125 HIR yang berbunyi sebagai berikut :
Jikalau si tergugat, walaupun dipanggil dengan
patut, tidak menghadap pada hari yang ditentukan dan tidak juga menyuruh
seorang lain menghadap selaku wakilnya, maka gugatan itu diterima dengan
keputusan tidak hadir, kecuali jika nyata kepada PN bahwa gugatan itu melawan
hak atau tidak beralasan.
Akan tetapi, jika si tergugat dalam surat
jawabannya yang tersebut dalam pasal 121 mengajukan perlawanan (tangkisan)
bahwa PN tidak berhak menerima perkara itu, hendaklah PN walaupun si tergugat
sendiri atau wakilnya tidak menghadap, sesudah didengar si penggugat, mengadili
perlawanannya dan hanya kalau perlawanan itu ditolak maka keputusan dijatuhkan
mengenai pokok perkara.
Jikalau gugatannya diterima, maka keputusan PN
dengan perintah ketua diberitahukan kepada orang yang dikalahkan, dan serta itu
diterangkan kepadanya bahwa ia berhak dalam waktu dan dengan cara yag
ditentukan dalam pasal 129, mengajukan perlawanan terhadap putusan tak hadir
itu pada majelis pengadilan itu juga.
Di bawah keputusan tak hadir itu panitera
pengadilan mencatat, siapa yang diperintahkan mejalankan pekerjaan itu dan
apakah diberitahukannya tentang hal itu, baik dengan surat maupun dengan lisan.
3) Cara pemberitahuan putusan verstek
Putusan verstek harus diberitahukan kepada
orang yang dikalahkan/kepada yang diterangkan, bahwasanya ia berhak mengajukan
perlawanan terhadap putusan verstek ini kepada PN yang sama, dalamtenggang
waktu dan dengan cara yng ditentukan dalam pasal 129 HIR. Di bawah surat
putusan verstek ditulis siapa yang diperintahkan untuk menjalankan
pemberitahuan putusan tersebut secara lisan atau tertulis.
Seperti berita acara pemanggilan pihak-pihak
untuk menghadap pada sidang PN, surat pemberitahuan putusan verstek dibuat oleh
juru sita atas sumpah jabatan dan meruapakan akta autentik yang mempunyai
kekuatan pembuktian yang sempurna. Jadi, harus menggambarkan keadaan yang benar
tejadi dan menyebutkan dengan siapa juru sita tersebut bertemu dan apa yang
dikatakan oleh yang bersangkutan, dengan maksud agar putusan ini benar
diketahui oleh pihak yang kalah dan apabila ia menghendakinya dapat memajukan
perlawanan terhadap putusan verstek tersebut, dalam tenggang waktu dan menurut
cara yang telah ditentukan dalam pasal 129 HIR.
4) Cara pengajuan perlawanan terhadap putusan verstek (verzet tegen verstek)
Diatur dalam pasal 129 HIR. Menurut pasal ini
yang dapat mengajukan perlawanan ialah tergugat yang dihukum dengan putusan
tidak hadir dan tidak menerima putusan tersebut. Jadi hanya tergugat yang dapat
megajukan perlawanan karena telah dikalahkan, baik gugatan dikabulkan
seluruhnya atau untuk sebagian. Yang perlu diperhatikan dalam pengajuan verzet
ini adalah mengenai tenggang waktu untuk mengajukan verzet, sebagai berikut :
1) Dalam waktu 14 hari setelah putusan verstek diberitahukan kepada pihak yang
dikalahkan itu sendiri.
2) Apabila pemberitahuan tidak dilakukan terhadap tergugat itu sendiri, maka
sampai hari kedelapan setelah teguran seperti yang dimaksud pasal 196 HIR,
apabila yangditegur itu datang menghadap.
3) Kalau ia tidak datang waktu ditegur, sampai hari kedelapan setelah sita
eksekutorial (pasal 197 HIR).
Perlawanan (verzet) terhadap putusan verstek
hanya dapat diajukan sekali saja, artinya hanya terhadap putusan verstek yang
pertama, sedang terhadap putusan verstek yang kedua yang bersangkutan hanya
diperkenankan untuk mengajukan permohonan banding. Pasal 8 UU no 20 tahun 1947
yang mengatur perihal banding, berbunyi sebagai berikut :
a) Dari putusan PN, yang dijatuhkan di luar hadir tergugat tidak boleh minta
pemeriksaan ulangan melainkan hanya dapat menggunakan hak perlawanan dalam
pemeriksaan tingkat pertama, akan tetapi jikalau penggugat dalam minta
pemeriksaan ulangan, tergugat tidak dapat menggunakan hak perlawanan dalam pemeriksaan
tingkat pertama.
b) Jika dari sebab apa pun juga tergugat tidak dapat menggunakan hak
perlawanan dalam pemeriksaan tingkat pertama, tergugat boleh meminta
pemeriksaan ulangan.
Dari pasal tersebut jelas bahwa tergugat untuk
pertama kalinya dikalahkan dengan putusan verstek, tidak diperkenankan untuk
mengajukan permohonan banding, melainkan hanya diperkenankan untuk mengajukan
perlawanan terhadap putusan verstek sesuai dengan pasal 129 HIR. Dalam gugatan
dikabulkan untuk verstek, dapat terjadi bahwa kedua belah pihak, yaitu baik
pihak penggugat maupun pihak tergugat, tidak merasa puas terhadap putusan yang
dijatuhkan. Mungkin penggugat akan
mengajukan perlawanan terhadap putusan verstek,yang hanya terbuka bagi pihak
tergugat yang dikalahkan saja.
Jika pihak penggugat telah mengajukan
permohonan banding, apakah pihak tergugat masih dapat mengajukan perlawanan
terhadap putusan verstek? Dalam pasal 8 UU no 20 tahun 1947 telah dijelaskan
bahwa dalam hal pihak penggugat mengajukan banding, pihak tergugat tidak
diperkenankan untuk mengajukan perlawanan terhaadap putusan verstek. Lalu
apakah tergugat harus diam atau menerima putusan saja? Tidak, ia dapat pula
mengajukan permohonan banding. Apabila belum ada putusan PT dari pihak
penggugat.[4]
E. Verzet
1) Pengertian verzet
Verzet adalah perlawanan tergugat atas putusan yang dijatuhkan secara
verstek. Perlawanan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah dengan gugatan
semula. Oleh karena itu, perlawanan bukan gugatan atau perkara baru, tetapi
tiada lain merupakan bantahan yang ditujukan kepada ketidakbenaran dalil
gugatan, dengan alasan putusan verstek yang dijatuhkan, keliru dan tidak benar.
putusan MA No. 494 K/Pdt/1983 mengatakan dalam proses verset atas verstek,
pelawan tetap berkedudukan sebagai tergugat dan terlawan sebagai penggugat.
Demikian verzet terhadap putusan verstek hanya dapat diajukan oleh pihak-pihak
dalam perkara, tidak oleh pihak ketiga.
1. Sesuai Pasal 129 HIR/153 RBg, tergugat/para tergugat yang dihukum dengan
verstek berhak mengajukan verzet atau perlawanan, dalam waktu 14 hari terhitung
setelah tanggal pemberitahuan putusan verstek itu kepada tergugat semula jika
peberitahuan langsung disampaikan sendiri kepada yang bersangkutan.
2. Jika putusan itu tidak langsung diberitahukan kepada tergugat sendiri dan
pada waktu anmaning tergugat hadir, maka tenggang waktunya sampai pada hari
kedelapan sesudah anmaning (peringatan).
3. Jika tergugat tidak hadir pada waktu anmaning maka tenggang waktunya adalah
hari ke-8 sesudah sita eksekusi dilaksanakan. (Pasal 129 ayat 2 jo. Pasal 196
HIR dan Pasal 153 ayat 2 jo. Pasal 207 RBg). Kedua perkara tersebut (perkara
verstek dan verset terhadap verstek) berada dalam satu nomor perkara.
4. Perkara verzet sedapat mungkin dipegang oleh Majelis Hakim yang telah
menjatuhkan putusan verstek.
5. Hakim yang melakukan pemeriksaan perkara verzet atas putusan verstek harus
memeriksa gugatan yang telah diputus verstek secara keseluruhan. Pemeriksaan
perkara verzet dilakukan secara biasa (Pasal 129 ayat 3 HIR, Pasal 153 ayat 3
RBg, dan SEMA No.9 tahun 1964).
6. Apabila dalam pemeriksaan verzet pihak penggugat asal (terlawan) tidak
hadir, maka pemeriksaan dilanjutkan secara contradictoire, tetapi apabila
pelawan yang tidak hadir maka hakim menjatuhkan putusan verstek untuk kedua
kalinya. Terhadap putusan verstek yang dijatuhkan kedua kalinya tidak dapat
diajukan perlawanan, tetapi bisa diajukan upaya hukum banding (Pasal 129 ayat 5
HIR dan Pasal 153 ayat 5 RBg).
7. Apabila verzet diterima dan putusan verstek dibatalkan maka putusannya
berbunyi:
a. Menyatakan pelawan adalah pelawan yang benar
b. Membatalkan putusan verstek
c. Mengabulkan gugatan penggugat atau menolak gugatan penggugat
8. Apabila verzet tidak diterima dan putusan verstek tidak dibatalkan, maka
putusannya berbunyi :
a. Menyatakan pelawan adalah pelawan yang tidak benar
b. Menguatkan putusan verstek tersebut
9. Terhadap putusan verzet kedua belah pihak berhak mengajukan banding. Dalam
mengajukan banding, maka berkas perkara verstek dan verzet disatukan dalam satu
berkas dan dikirim ke PT dan hanya ada satu nomor perkara.
2. Pemeriksaan perlawanan (Verzet)
a. Pemeriksaan berdasarkan gugatan semula. Dalam putusan MA No. 938K/Pdt/
1986, terdapat pertimbangan sebagai berikut.
Substansi verzet terhadap putusan verstek,
harus ditujukan kepada isi pertimbangan putusan dan adil gugatan
terlawan/penggugat asal. Putusan verzet yang hanya mempertimbangkan masalah sah
atau tidak ketidakhadiran tergugat memenuhi panggilan sidang adalah keliru.
Sekiranya pelawan hanya mengajukan alasan verzet tentang masalah keabsahan atas
ketidakhadiran tergugat memenuhi panggilan, PN yang memeriksa verzet harus
memeriksa kembali gugatan semula, karena dengan adanya verzet, putusan verrstek
mentah kembali, dan perkara harus diperiksa sejak semula.
b. Surat perlawanan sebagai jawaban tergugat dalil gugatan.
Berdasarkan pasal 129 ayat 3 HIR, perlawanan
diajukan dan diperiksa dengan acara biasa yang berlaku untuk acara perdata.
Kedudukan pelawan sama dengan tergugat. Berarti surat perlawanan yang diajukan
dan disampaikan kepada PN, pada hakikatnya sama dengan surat jawaban yang
digariskan pasal 121 ayat 2 HIR. Kualitas surat perlawanan sebagai jawaban
dalam proses verzet dianggap sebagai jawaban pada sidang pertama.
3. Beban pembuktian dalam putusan verzet/perlawanan
a. Pemeriksaan dan putusan terhadap perkara perlawanan adalah seperti halnya
perkara biasa. Berarti, perlawanan yang semula kedudukannya sebagai tergugat
dalam sola pembuktian harus tetap diperlakukan selaku tergugat, artinya yang
lebih dulu membuktikan/memberi alat-alat pembuktian adalah terlawan sebagai
penggugat asal (SEMA no 9 tahun 1964 tanggal 13-04-1964).
b. Dalam pemeriksaan, karena kedudukan para pihak tidak berubah maka pihak
pengguatlah (terlawan) yang harus memulai dengan pembuktian.
c. Cara pembuktian perkara verzet, ialah bukti-bukti tertulis cukup di
konfirmasikan kepada pelawan, sedangkan bukti saksi-saksi dibaca keterangan
saksi terdahulu yang ditulis dalam berita acara dan tidak mesti dihadirkan dalam sidang.
4. Putusan perlawanan
1. Putusan verzet
Dari segi upaya hukum, verzet menurut pasal
129 ayat 1 HIR merupakan upaya perlawanan terhadap putusan verstek. Putusan
verzet yang dijatuhkan pengadilan, merupakan koreksi terhadap putusan verstek.
Jadi, jika tergugat mengajukan verzet terhadap putusan verstek, PN harus memeriksa
dan menilai apakah putusan verstek yang dijatuhkan sudah tepat atau tidak.
Tepat atau tidaknya putusan verstek tersebut, dinilai dan dipertimbangkan PN
dalam putusan verzet.
2. Bentuk putusan verzet
1. Verzet tidak dapat diterima apabila tenggang waktu mengajukan verzet telah
dilampui.
2. Menolak verzet atau perlawanan. Apabila pelawan sebagai tergugat asal tidak
mampu melumpuhkan kebenaran dalil gugatan terlawan sebagai penggugat asal,
berarti pendapat dan pertimbangan yang terkandung dalam putusan verstek adalah
tepat dan benar, karena sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
3. Mengabulkan perlawanan. Apabila terlawan sebagai penggugat asal, tidak
mampu membuktikan dalil gugatan.
5. Putusan MA RI terhadap Verzet atas putusan perdata yang sudah di-Executie
MA RI dalam putusan kasasi telah membatalkan putusan judex facti. PT
Jakarta yang telah memperkuat putusan PN, dikarenakan dinilai telah salah
menerapkan hukum acara perdata. Bantahan (verzet) terhadap suatu putusan
perkara perdata yang telah dilaksanakan executie-nya, tidak dapat dibenarkan,
karena bertentangan dengan Hukum Acara Perdata. Upaya hukum yang harusnya
dijalankan oleh pembantah adalah mengajukan suatu “gugatan biasa” (putusan
MARI, No.2150 K/Pdt/1985, tanggal 5 Agustus 1986).
Sedangkan bantahan (verzet) terhadap conservatoir beslag (CB) bersifat
insidentil, sehingga kalau diterima sebagai bantahan seharusnya diperiksa
terrsendiri (insidentil) dengan menunda pemeriiksaan terhadap pokok perkara,
sehingga kedua perkara tersebut tidak dapat disatukan apalagi dengan dua nomor
(putusan MARI, No. 1346 K/Sip/1971, tanggal 23 Juli 1973).[5]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan
mana seseorang memberikan kuasa kepada orang lain, yang menerimanya untuk dan
atas namanya menyelenggarakan suatu urusan. Pasal 123 HIR/RBg menentukan bahwa
surat kuasa yang dapat digunakan untuk beracara di pengadilan, baik untuk
mewakili kepentingan pihak penggugat maupun pihak tergugat, harus merupakan
surat kuasa khusus atau istimewa. Pasal 124 HIR yang mengatur perihal gugur, berbunyi : “Jikalau
si penggugat, walaupun dipanggil dengan patut, tidak menghadap PN pada hari
yang ditentukan itu, dan tidak juga menyuruh seorang lain menghadap selaku
wakilnya, maka gugatannya dipandang gugur dan si penggugat dihukum membayar
biaya perkara, akan tetapi si penggugat berhak, sesudah membayar biaya yang
tersebut, memasukan gugatannya sekali lagi”.
Verstek adalah pernyataan bahwa tidak hadirnya
tergugat, meskipun menurut hukum acara ia harus datang. Verstek hanya dapat
dinyatakan, apabila pihak tergugat kesemuanya tidak datang menghadap sidang
pada sidang yang pertama, dan apabila perkara diundurkan sesuai pasal 126 HIR,
juga pihak-pihak tergugat kesemuanya tidak datang menghadap lagi. Verzet adalah
perlawanan tergugat atas putusan yang dijatuhkan secara verstek. Perlawanan
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah dengan gugatan semula
B. Saran
Demikianlah
makalah yang dapat kami susun. Semoga dapat bermanfaat bagi kita semua, kami
menyadari bahwa makalah ini bukanlah proses akhir, tetapi merupakan langkah
awal yang masih banyak memerlukan perbaikan. Oleh karena itu kami sangat
mengharapkan tanggapan, saran dan kritik yang membangun demi sempurnanya
makalah kami yang selanjutnya. Dan semoga kita bisa bersama-sama mempelajari
materi ini dan selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Hutagalung Sophar Maru. Praktik Peradilan Perdata dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.Jakarta : Sinar Grafika.2012.
Sugeng Bambang. Pengantar Hukum Acara Perdata Dan Contoh
Dokumen Litigasi. Jakarta : Kencana.2012.
Hutagalung Sophar Maru. Praktik Peradilan Perdata Teknis Menangani
Perkara di Pengadilan.Jakarta : Sinar Grafika.2011.
Sutantio Retnowulan.Hukum Acara Perdata dalam Teori
dan Praktek. Bandung:CV.mandar maju.2009.
[1] Sophar maru hutagalung.praktik
peradilan perdata dan alternatif penyelesaian sengketa.2012 (jakarta: Sinar
Grafika). 96
[2] Sophar maru hutagalung. Praktik Peradilan Perdata teknis menangani perkara di pengadilan.2011. (Jakarta : Sinar Grafika). 44-48
[3] Retnowulan sutantio.Hukum Acara
Perdata dalam Teori dan Praktek.2009 (Bandung:CV.mandar maju).22-24
[4] Bambang sugeng, Pengantar Hukum
Acara Perdata & Contoh Dokumen Litigasi, 2012, (Jakarta:
Kencana),32-40.
[5] Sophar maru hutagalung.praktik peradilan perdata
dan alternatif penyelesaian sengketa.2012.(Jakarta : Sinar Grafika).136-140.
No comments:
Post a Comment