DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................... ........
ii
DAFTAR ISI................................................................................................ ........... ....... iii
BAB I :
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.................................................................................. .. ........ 1
B. Rumusan Masalah............................................................................. ........ 2
C. Tujuan.............................................................................................. ........ 2
BAB II : PEMBAHASAN
A. Pengertian waris, tirkah dan ahli waris................................................ ........ 3
B. Sumber hukum kewarisan Islam........................................................ ........ 6
C. Sumber hukum penerapan waris di Indonesia...................................... ........ 9
D. Sumber hukum kewarisan Islam di Indonesia..................................... ........ 11
E. Syarat dan rukun kewarisan............................................................... ........ 11
F. Penyebab dan penghalang mendapatkan warisan................................. ........ 12
BAB III : PENUTUP
A. Kesimpulan....................................................................................... ........ 18
B. Saran.................................................................................................. 18
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... ........ 19
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Warisan adalah harta
peninggalan seseorang yang telah meninggal kepada seseorang yang masih hidup
yang berhak menerima harta tersebut.
Hukum waris adalah sekumpulan peraturan yang mengatur hubungan hukum menegenai
kekayaan setelah wafatnya seseorang. Seseorang yang berhak menerima harta peninggalan disebut
ahli waris. Dalam hal pembagian warta peninggalan, ahli waris telah memilki
bagian-bagian tertentu. Seperti firman Allah sebagai berikut :
تَرَكَ مِمَّا نَصِيبٌ وَلِلنَّسَاءِوَاللأقْرَبُونَ الْوَالِدَانِ تَرَكَ
مِمَّا نَصِيبٌ لِلرَّجَالِ مَفْرُوضًا نَصِيبًا كَثُرَأَوْمِنْهُ قَلَّ مِمَّا
وَال أقْر بُونَ الأقْرَبُونَ
الْوَالِدَان
Artinya : “Bagi laki-laki ada
haka bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita
ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik
sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”.
Syariat Islam menetapkan aturan
waris dengan bentuk yang sangat teratur dan adil. Di dalamnya ditetapkan hak
kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan dengan
cara yang legal. Syariat Islam juga menetapkan hak pemindahan kepemilikan
seseorang sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya, dari seluruh kerabat
dan nasabnya tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan besar atau kecil.
Al-Qur’an menjelaskan dan
merinci secara detail hukum-hukum (sumber hukum) yang berkaitan dengan hak
kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang harus diterima
semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap pewaris. Selain itu dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga menjelaskan tentang waris dan dalam KUHPerdata
juga menjelaskan tentang waris juga.
Maka dari itu, pembagian
warisan haruslah sangat adil dan merata di setiap hubungan nasab dengan
pewaris. Tanpa membedakan satu sama lain. Dan ahli waris juga harus menerima
apa yang sudah menjadi haknya bukan ingin menambah atau merasa kurang dari
pembagian harta warisan tersebut. Namun juga ada syarat bagi ahli waris untuk
menerima harta warisan dari pewaris. Jika tidak terhalang untuk mendapatkan
harta warisan tersebut, maka berhak untuk mendapatkannya.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian dari waris, tirkah dan ahli waris ?
2.
Apa saja sumber hukum kewarisan Islam ?
3.
Apa saja sumber hukum penerapan waris di Indonesia ?
4.
Apa saja sumber hukum kewarisan Islam di Indonesia ?
5.
Apa saja syarat dan rukun kewarisan ?
6.
Apa yang menjadi peyebab dan penghalang mendapatkan
warisan ?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui apa pengertian dari waris, tirkah dan ahli
waris
2.
Mengetahui sumber hukum kewarisan Islam
3.
Mengetahui sumber hukum penerapan waris di Indonesia
4.
Mengetahui apa saja sumber hukum kewarisan Islam di
Indonesia
5.
Memahami apa saja syarat dan rukun kewarisan
6.
Memahami apa yang
menjadi penyebab dan penghalang mendapatkan warisan
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian pewaris, tirkah dan
ahli waris
Secara
bahasa, kata waratsa asal kata kewarisan digunakan dalam Al-Qur’an. Dalam
Al-Qur’an dan dirinci dalam Sunnah Rasulullah, hukum kewarisan Islam
ditetapkan. Secara bahasa, kata waratsa memiliki beberapa arti: pertama,
mengganti (QS Al-Naml [27]:16), artinya: “Sulaiman menggantikan kenabian dan
kerajaan Dawud, serta mewarisi ilmu pengetahuannya”. Kedua, memberi (QS
Al-Zumar [39]:74), dan ketiga, mewarisi (QS Maryam [19]:6).
Secara
terminologi, hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur pembagian warisan,
mengetahui bagian-bagian yang diterima dari harta peninggalan itu untuk setiap
ahli waris yang berhak. Dalam redaksi lain, Hasby Ash-Shiddieqy mengemukakan,
hukum kewarsan adalah hukum yang mengatur siapa-siapa orang yang mewarisi dan
tidak mewarisi, penerimaan bagian setiap ahli waris dan cara-cara pembagiannya.
Berbeda dengan dua cara definisi di atas, Wirjono Prodjodikoro menjelaskan,
warisan adalah soal apa dan bagaimana pembagian hak-hak dan kewajiban-kewajiban
tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal akan beralih kepada orang
lain yang masih hidup.[1]
Hukum
kewarisan, sering dikenal dengan istilah faraidl, bentuk jamak dari kata
tunggal faridlah, artinya ketentuan. Hal ini karena, bagian-bagian warisan yang
menjadi hak ahli waris telah dibakukan dalam Al-Qur’an. Meskipun dalam
realisasinya, sering tidak tepat secara persis nominalnya, seperti masalah radd
atau ‘aul, akan dikemukakan kemudian.
Dari
pengertian diatas, ketahuilah bahwa hukum kewarisan islam itu adalah ketentuan
yang mengatur mengenai orang yang berhak menjadi ahli waris, orang yang tidak
dapat menjadi ahli waris (karena terhalang), besarnya bagian yang diterima
tiap-tiap ahli waris dan cara membagikan harta warisan kepada ahli waris.
Ketentuan
dalam Pasal 171 huruf a Kompilasi Hukum Islam memberikan rumusan pengertian
“Hukum Kewarisan” tersebut yaitu: “Hukum Kewarisan adalah hukum yang mengatur
tentang pemindahan yang lebih tepat adalah perpindahan hak kepemilikan harta
peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli
waris dan berapa bagiannya masing-masing”.
Dari
pengertian rumusan tersebut, teranglah bahwa hukum kewarisan itu (dalam
perspektif hukum Islam) adalah hukum yang mengatur proses pemindahan
kepemilikan atas harta peninggalan (tirkah atau mauruts) milik pewaris kepada
ahli warisnya sesuai dengan bagiannya masing-masing berdasarkan hukum Allah.
Hal-hal yang diatur di dalam hukum kewarisan tersebut, meliputi:
a. Bagaimana pemindahan kepemilikan harta peninggalan yang dimiliki pewaris
kepada ahli waris dapat dilakukan, baik berupa rukun maupun syarat-syarat
kewarisan, termasuk di dalamnya pengaturan kewajiban dan tanggung jawab ahli
waris terhadap pewaris.
b. Penentuan siapa-siapa di antara ahli waris yang berhak menjadi ahli waris
dari pewarisnya, yang berasal dari sekian jumlah ahli waris yang ada atau
hidup, tetapi tidak semuanya menjadi ahli waris, kecuali mereka yang menurut
hukum syara’ mempunyai hak untuk mendapatkan bagian dari harta peninggalan yang
ditinggalkan pewaris.
c. Penentuan berapa besarnya bagian masing-masing yang akan diterima oleh ahli
waris yang berhak menerimanya menurut hukum syara’ sesuai dengan kedudukan ahli
waris dalam struktur dan tingkatan kekeluargaan pewaris yang bersangkutan.
d. Pelaksanaan pembagian harta peninggalan tersebut kepada ahli waris yang
berhak, dengan tidak menutup kemungkinan setelah masing-masing ahli waris yang
berhak menyadari bagiannya dengan mengadakan “kesepakatan” untuk melakukan
“perdamaian” dalam pembagian harta peninggalan tersebut.[2]
Berikut adalah pengertian dari pewaris
(muwarist), harta warisan (tirkah), ahli waris(warits).
1. Pewaris (Muwarits)
Pewaris adalah seseorang yang
meninggal dunia secara hakiki atau yang dinyatakan meninggal secara hukum dan meninggalkan
sesuatu yang dapat beralih kepada keluarganya yang masih hidup (ahli waris).
Berdasarkan prinsip bahwa peralihan
harta dari pewaris kepada ahli waris berlaku sesudah meninggalnya pewaris, maka
kata “pewaris” itu sebenarnya tepat untuk pengertian “seseorang yang telah
mati”. Hukum kewarisan Islam Indonesia dalam perspektif Kompilasi Hukum Islam
mensyaratkan pewarisnya harus seorang yang beragama Islam pada saat meninggal
dunia.
2. Tirkah (harta warisan)
Tirkah adalah sesuatu yang ditinggalkan pewaris, baik berupa harta benda
dan hak-hak kebendaan atau bukan hak kebendaan. Jadi, setiap sesuatu yang
ditinggalkan oleh orang yang meninggal menurut istilah jumhur fuqaha dikatakan
sebagai “tirkah”, baik yang meninggal itu mempunyai utang-piutang, yang aeniyah
atau syahshiyah. Utang piutang aeniyah adalah utang piutang
yang ada hubungannya dengan harta benda, seperti gadai, segala sesuatu yang
berhubungan dengan barang yang
digadaikan. Adapun utang piutang syahshiyah adalah yang berkaitan dengan
kreditur, seperti qiradh, mahar, dll. setelah diambil
untuk biaya-biaya perawatan, melunasi utang-utang dan melaksanakan wasiat si
pewaris. Dan yang dimaksud dengan tirkah, yaitu apa-apa yang ditinggalkan oleh
orang yang meninggal dunia yang dibenarkan oleh syariat untuk dimiliki oleh
para ahli waris, yang mempunyai manfaat.
Menurut Kompilasi Hukum Islam, harta warisan adalah harta bawaan
ditambah harta bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan
pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz),
pembayaran utang dan pemberian untuk kerabat. Sedangkan yang dimaksud dengan
harta peninggalan, yaitu harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik berupa harta
benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya.[3]
Pendapat lain dari tirkah adalah harta yang dimiliki orang yang sudah
meninggal semasa hidupnya, seperti binatang buruan hasil tangkapannya atau
utang yang kemudian dibebaskan oleh pemilik piutang sesudah dia mati, atau ada
seseorang yang dengan sukarela membayar utang-utangnya. Apabila ada orang yang
melakukan tindak pidana terhadap dirinya sesudah dia mati, misalnya memotong
tangan atau kakinya, lalu dikenakan diyat terhadap pelakunya, semua itu
masuk dalam kategori harta tirkah. Jadi intinya, tirkah adalah seluruh harta
peninggalan yang ditinggalkan oleh orang yang meinggal, yang berupa harta
benda, utang piutang, dsb.[4]
3. Ahli waris
Ahli waris adalah orang yang
pada saat meninggal dunia mempunyai pertalian darah atau pertalian perkawinan
dengan pewaris dengan ketentuan mereka harus beragama Islam dan tidak terhalang
karena hukum menjadi ahli waris. Seperti, membunuh pewaris, berbeda agama atau
murtad, menjadi budak. Ada tiga syarat untuk menjadi ahli waris yang ditentukan
di dalam Pasal 171 C KHI, yaitu :
a.
Orang yang mempunyai hubungan
darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris.
b.
Beragama Islam
c.
Tidak terhalang karena hukum
untuk menjadi ahli waris.[5]
B.
Sumber hukum kewarisan Islam
Dalam hukum kewarisan Islam memiliki dasar yang
sangat kuat, yaitu ayat-ayat Al-Qur’an yang selain kedudukannya qath’iy
al-wurud, juga qath’iy al-dalalah, meskipun pada dataran tanfidz (aplikasi),
sering ketentuan baku Al-Qur’an tentang bagian-bagian warisan, mengalami
perubahan pada hitungan nominalnya, misalnya dalam kasus radd dan’aul, dan
sebagainya.
Menurut al-Syatibi, terhadap ketentuan Al-Qur’an yang
kandungannya ibadah atau bukan ibadah mahdlah yang telah dirinci dalam
Al-Qur’an, seperti hukum kewarisan, perlu diterima secara ta’abbudy atau
diterima secara taken for granted. Karena itu realisasinya, apa yang ditegaskan
Al-Qur’an diterima dengan senang hati, sebagai bukti kepatuhan kepada
ketentuan-ketentuan Allah.
Selain Al-Qur’an, hukum kewarisan juga didasarkan kepada Sunnah
Rasulullah Saw, pendapat sahabat, baik yang disepakati maupun yang mukhtalah
fih.[6]
Jadi ketentuan-ketentuan
yang mengatur masalah waris terdapat di dalam:
a)
Al-Qur’an.
1. QS. Al-Baqarah :180
كُتِبَ
عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ
لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila
seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan
harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara
ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”
2. QS. Al-Baqarah : 240
وَآلَّذِ ينَ يُتُوَ فَّوْنَ مِنْكُمْ
وَيَذَرُوْنَ أَزْوَجًاوَصِيَّةًلاِزْوَجِهِمْ مَّتَعًا إِلَى آلْحَوْلِ غَيْرَإِخْرَاجِ
فَإِنْ خَرَجْنَ
فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِى مَا فَعَلْنَ فِى
أَنْفُسِهِنَّ مِنْ مَّعْرُوفٍ وَآللَّهُ عَزِيْزٌحَكِيْمٌ
Artinya : “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di
antaramu dan meninggalkan istri, hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya
(yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari
rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri) maka tidak ada dosa bagimu
(wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma’ruf
terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
3. QS. An-Nisa : 11
يُوصِيكُمُ
اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ ۚ فَإِنْ
كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۖ
وَإِنْ كَانَتْ
وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ ۚ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا
السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ ۚ فَإِنْ
لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ
فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ ۚ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ ۚ مِنْ
بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِهَ
أَوْ دَيْنٍ ۗ
آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا ۚ
فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمً
Artinya: “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka
untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian
dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua,
maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan
itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta. Dan untuk dua orang
ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika
yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai
anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga;
jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat
seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang
ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan
anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat
(banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
4. QS. An-Nisa : 12
وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ
لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ ۚ فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ
مِمَّا تَرَكْنَ ۚ مِنْ
بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۚ
وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ ۚ فَإِنْ
كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ
فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ ۚ مِنْ
بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۗ وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ
كَلَالَةً أَوِ امْرَ
أَةٌ وَلَهُ
أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ ۚ فَإِنْ كَانُوا
أَكْثَرَ مِنْ ذَٰلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ ۚ مِنْ
بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَىٰ بِهَا أَوْ دَيْنٍ
غَيْرَ مُضَارٍّ ۚ وَصِيَّةً مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ
Artinya: “Dan bagimu (suami-suami)
seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak
mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat
seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka
buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat
harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai
anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan
sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar
hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang
tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang
saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja),
maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi
jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam
yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah
dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah
menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.”[7]
b)
Al-Hadits.
1. Hadis riwayat Muttafaq alaih atau diriwayatkan oleh al-Bukhari
dan Muslim
اَلْحِقُوْاالْفَرَائِضَ
بِأَهْلِهَافَمَا بَقِيَ فَلاِوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ (متفق عليه)
Artinya : “Nabi SAW
bersabda : Berikanlah bagian-bagian tertentu kepada orang-orang yang berhak.
Dan sisanya untuk orang laki-laki yang lebih utama (dekat kerabatannya)”.
2. Hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim
لاَيَرِثُ المُسْلِمُ
الكَا فِرَوَلاَالكَافِرُالمُسْلِمَ
Artinya : “Orang Islam
tidak berhak mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak berhak mewarisi orang
Islam”.[8]
c)
Al-Ijma.
Ijma’ yaitu kesepakatan para ulama atau sahabat sepeninggal
Rasulullah Saw. Tentang ketentuan warisan yang terdapat dalam Al-Qur’an maupun
Sunnah. Karena telah disepakati oleh para sahabat para dan ulama, ia dapat
dijadikan sebagai referensi hukum.
d) Ijtihad
Ijtihad
yaitu pemikiran sahabat atau ulama dalam menyelesaikan kasus-kasus pembagian
warisan, yang belum atau tidak disepakati. Misalnya terhadap masalah radd atau
‘aul, di dalamnya terdapat perbedaan pendapat, sejalan dengan hasil
masing-masing sahabat, tabi’in atau ulama.
C.
Sumber hukum penerapan waris di Indonesia
Di Indonesia saat ini masih terdapat
beraneka sistem hukum kewarisan yang berlaku bagi warga negara Indonesia. Dalam
hal ini salah satunya adalah Pasal 136 IS (Indische Staatsregeling) tahun
1925 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1926.
Pasal tersebut berasal dari pasal
109 Reglement op get belied der regeerings van Nederland Indische disingkat
regeering reglement (RR staatsblad Belanda tanggal
1 Januari 1854 no 29 jo. Staatsblad Hindia Belanda tahun 1855 No 2) yang mulai
berlaku pada tanggal 1 Januari 1855 yang semuala berasal dari pasal 6-10 AB (algemeene
bpaligen van wetgefing) tahun 1848 dalam
peraturan ini telah ditetapkan 3 golongan penduduk Hindia
Belanda,
yaitu sebagai berikut :
Mengenai hukum kewarisan sampai saat ini masih beraneka sistem hukum di Indonesia,
yakni sebagai berikut :
1. Sistem hukum kewarisan perdata tertuang dalam BW (KUHP) berdasarkan ketentuaan
Pasal 131 IS jo. Staatsblad
1917 No 12 jo staatsblad 1924 No 557 tentang penundukan diri terhadap
hukum Eropa, maka BW berlaku bagi :
a. Orang-orang Eropa dan mereka
dipersamakan orang Eropa
b.
Orang
timur Asing Tionghoa (staatsblad 1917 No 129)
c.
Orang
asing lain dan orang-orang Indonesia yang
menundukan diri pada hukum Eropa
2.
Sistem
hukum kewarisan Adat, hukum kewarisan ini beraneka
sistemnya karena dipengaruhi oleh bentuk etnis
di lingkungan hukum adatnya. Dalam sistem kewarisan adat dikenal sistem
kewarisan matrilineal, patrilineal, dan
bilateral atau parental. Hal ini diuraikan sebagai berikut :
a.
Sistem
matrilineal, yaitu sistem kewarisan yang menarik garis keturunan selalu
menghubungkan dirinya dengan ibunya, seterusnya keatas kepada ibunya ibu sampai
kepada seorang wanita yang dianggap sebagai marganya , dimana
klan ibunya berasal dan keturunannya,
mereka semua menganggap satu klan ibunya, misalnya di Minangkabau,
Enggano,
dan Timor.
b.
Sistem
patrilineal, yaitu sistem kewarisan yang menarik keturunan dan hanya menghubungkan
dirinya kepada ayah ke atas, kepada ayahnya
ayah, hal demikian terdapat dalam sistem patrilineal
murni seperti di tanah Batak, atau pada sistem patrilineal
yang beralih-alih, yaitu dimana setiap orang
menghubungkan dirinya kepada ayahnya atau kepada
ibunya tergantungkan kepada bentuk perkawinan orang tuanya, misalnya
di Lampung dan Rejang.
c.
Sistem
Bilateral atau Parental
menurut Hazairin, dimana setiap orang menghubungkan dirinya dalam hal
keturunan baik kepada ibunya maupun kepada ayahnya.
3.
Sistem
hukum waris Islam juga terdiri atas prulalisme ajaran, misalnya kewarisan sitem ahlus
sunnah wal jamaah,( madzab
Syafi’i, Hanafi, Hambali, dan Maliki). Akan tetapi, yang paling dominan
diantara 4 madzab di anut di indonesia adalah Imam
Syafi’i, di samping ajaran Hazairin yang mulai berpengaruh sejak tahun 1950 di
indonesia. Hal ini sebagai ijtihad untuk menguraikan hukum kewarisan dalam
Al-Quran secara bilateral.
4.
Hukum
waris orang asing.
Hukum waris yang berlaku bagi warga negara asing karena naturalisasi
menjadi warga negara asing atau anak perempuan kawin dengan pria warga negara
asing. Dalam masalah ini semula terdapat suatu pendirian yang menentukan, bahwa
hukum waris tunduk pada prinsip timbal balik. Artinya bahwa seseorang dapat
mewaris dari negara asing, jika orang dari negara tersebut juga dapat mewaris
dari negaranya. Prinsip ini sekarang tidak berlaku lagi, yang berlaku adalah
hukum nasional pewaris, sebagaimana diatur dalam pasal 837 KUHP.[9]
5. Hukum terapan KHI
Ada beberapa ketentuan hukum waris yang ditetapkan oleh
KHI, tidak didapatkan penjelasannya dalam hukum waris Sunni, diantaranya :
a.
Ahli waris pengganti, ketentuan ini sama dengan apa yang
dilontarkan oleh Hazairin.
b.
Status anak angkat yang mendapatkan hak wasiat wajibah,
yang nilai maksimumnya sepertiga dari harta warisan orang tua angkatnya.
c.
Secara jelas dalam Pasal 173 KHI disebutkan bahwa sebab
terhalangnya ahli waris mendapatkan kewarisan dikarenakan dua hal, yaitu
dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh, demikian juga dipersalahkan
akibat memfitnah yang mengakibatkan hukuman penjara.
Kebijakan yang diangkat dalam hukum terapan KHI seperti
ketentuan kewarisan bagi ahli waris pengganti, anak angkat dan orang beda
agama, telah mendudukan hukum Islam berdasarkan kontekstual yang
mempertimbangkan spirit keislaman dan hukum adat Indonesia. Hal ini sama
seperti yang menjadi dasar pertimbangan Hazairin dalam meneliti konsep
bilateralnya. Oleh karena itu, ketika KHI
menetapkan wasiat wajibah bagi anak angkat.[10]
D.
Sumber hukum kewarisan Islam di Indonesia
Sumber hukum kewarisan Islam di Indonesia menggunakan
hukum yang tertuang dalam KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek). Dalam Pasal
528 KUHPerdata tentang hak mewaris ditentukan dengan hak kebendaan, sedangkan
ketentuan Pasal 854 KUHPerdata bahwa hak waris sebagai salah satu cara untuk
memperoleh hak kebendaan. Oleh karena itu, ketentuan ini ditempatkan dalam buku
ke 2 KUHPerdata (tentang benda).
Namun demikian, penempatan hukum kewarisan dalam buku ke
2 KUHPerdata menimbulkan pro kontra di kalangan ahli hukum, karena dalam
kewarisan tidak hanya mencakup hukum benda saja, tetapi juga menyangkut aspek
hukum lainnya, misalnya hukum perorangan dan kekeluargaan.
Pewarisan dalam KUHPerdata terdapat dalam buku II
mengenai kebendaan pada bab kedua belas tentang pewarisan karena kematian.
Ketentuan ini dimulai dari Pasal 830 KUHPerdata sampai dengan Pasal 1130.[11]Selain
itu juga terdapat dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) buku ke II tentang
kewarisan.
E.
Syarat dan rukun kewarisan
1. Syarat-syarat mendapat
warisan
Di samping mempunyai hubungan
kekerabatan (kekeluargaan), hubungan perkawinan, dan hubungan agama, mereka
baru berhak menerima warisan secara hukum dengan terpenuhinya persyaratan
sebagai berikut :
1)
Orang yang mewariskan
(muwarrits) sudah meninggal. Ulama membeedakan mati itu pada tiga macam, yaitu
:
a.
Mati yang bersifat haqiqi
(mati yang sebenarnya).
b.
Mati secara hukum hukmy, yaitu
terhadap orang yang hilang yang oleh
pengadilan dianggap telah mati.
c.
Mati taqdiri (mati
menurut dugaan), ialah suatu kematian yang bukan haqiqi dan bukan hukmy tetapi
semata-mata berdasarkan dugaan keras. Misalnya kematian seorang bayi yang baru
dilahirkan akibat terjadinya pemukulan terhadap perut ibunya atau pemaksaan
agar ibunya meminum racun. Kematian tersebut hanya semata-mata berdasarkan
dugaan keras, sebab dapat juga disebabkan oleh yang lain.
2)
Orang yang menerima warisan
(ahli waris) masih hidup, pada saat kematian muwarits.
3)
Tidak ada penghalang untuk
mendapatkan warisan.
4)
Tidak tertutup secara penuh
oleh ahli waris yang lebih dekat.[12]
2.
Rukun waris
1)
Waris (ahli waris)
2)
Muwaris (yang mewariskan)
3)
Tirkah/mauruts (harta
warisan/peninggalan)
F.
Penyebab dan penghalang mendapatkan warisan
1.
Penyebab mendapatkan warisan
Islam diturunkan untuk menyempurnakan ajaran sebelumnya, baik masa
jahiliah maupun masa awal Islam diturunkan. Jika pada masa itu sebab-sebab
mewarisi terdiri dari : pertalian darah (al-qarabah), janji setia (al-hilf wa
al-mu’aqadah), dan pengangkatan anak (al-tabani atau adopsi), maka pada awal
Islam, ketiga sebab tersebut masih tetap dijalankan, ditambah dengan kesediaan
ikut berhijrah dan ikatan persaudaraan antar kaum muhajirin dan anshar.
Ketika Islam sempurna diturunkan, dasar yang dijadikan sebab mewarisi
hanyalah yang pertama, sedang keempat lainnya ditiadakan. Dengan demikian,
dapat dijelaskan bahwa sebab-sebab mewarisi dalam Islam adalah :
1)
Al-qarabah (hubungan
kekeluargaan)
Al-qarabah atau pertalian
darah, yaitu semua ahli waris yang ada pertalian darah, baik laki-laki dan
perempuan, dan anak-anak diberi hak untuk menerima bagian menurut dekat jauhnya
kekerabatan. Namun dalam hal ini, berlaku ketentuan ahli waris yang lebih dekat
dapat menutupi ahli waris yang jauh,
sesuai ketentuan Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Karena itu, dapat dinyatakan bahwa
sistem kekerabatan bilateral atau parental. Artinya, penentuan
hubungan kerabat dihubungkan kepada garis ibu dan ayah. Meskipun bagian wanita
hanya separuh dari bagian laki-laki.
Hubungan kekerabatan menurut
Islam yang menjadi dasar mewarisi, dijelaskan dalam firman Allah :
لِّلرِّ جَا لِ نَصِئبٌ
مِّمَّا تَرَكَ الْوَ لِدَانِ وَالْاَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِّمَّا
تَرَكَ آلْوَلِدَانِ وَآللأَاقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أوْكَشُرَ
نَصِيًبامّْفرُوضًا
Artinya : “ Bagi orang
laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapaknya dan kerabatnya,
dan bagi orang wanita ada hak bagian pula dari harta peninggalan ibu bapaknya
dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”
(QS. Al-Nisa 4:7).
ضَرَ بَ اللهُ مَشَلاً عَبْدًا
مَّمْلُو كاً لاَّيَقْدِ رُ عَلَي شَيْءٍ
Artinya : “Orang-orang yang
mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya di
dalam kitab Allah” (QS. Al-Anfal 8:75).
2)
Al-Mushaharah (hubungan
perkawinan)
Perkawinan yang sah antara
seorang laki-laki dan seorang perempuan, baik menurut hukum agama dan
kepercayaan maupun hukum negara, menyebabkan adanya hubungan saling mewarisi,
apabila salah satunya meninggal dunia. Untuk mengetahui adanya perkawinan
tersebut, hanya dapat dibuktikan melalui akta nikah yang dikeluarkan oleh
pegawai pencatat nikah. Sebagian anggota masyarakat sering mempersoalkan antara
ketentuan hukum agama dan hukum positif. Mereka merasa perkawinannya sah,
apabila ketentuan hukum agama, syarat dan rukunnya terpenuhi. Soal pencatatan dan
akta nikah hanyalah soal administrasi saja.
Dianggap masih termasuk dalam
ikatan perkawinan adalah apabila istri dicerai raj’i oleh suaminya, selama
berada dalam masa tunggu (iddah). Alasannya, wanita yang berada dalam masa
tunggu (iddah raj’i), suaminyalah yang paling berhak merujukinya, karena itu
statusnya dianggap masih terikat dengan perkawinan suaminya. Misalnya, seorang
suami mencerai istrinya yang masih normal menstruasinya, sebulan kemudian ia
meninggal dunia, maka istrinya tetap berhak menerima bagian warisan.
Dasar hukum hubungan perkawinan
sebagai sebab saling mewarisi adalah firman Allah :
وِلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَجُكُمْ إِنْ لَّمْ يَكُنْ
لّهُنَّ وَلَدُ فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلُدُ فَلَكُمُ آلرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ
مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِيْنَ بِهَآأَوْدَيْنٍ
وَلَهُنَّ
آلرُّبُعُ مِمَّا تَرَ كْتُمْ إِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّكُمْ وَلَدُ فَإِن كَانَ
لَكُمْ وَلُدُ فَلَهُنَّ آلشُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِّنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ
تُوصُو نَ بِهَآأَوْدَيْنٍ
Artinya : “Dan bagimu
(suami-istri) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika
mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu
mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat
yang mereka buat atau dan sesudah dibayar utangnya. Para istri memperoleh
seperempat dari harta yang kamu
tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak maka para
istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi
wasiat yang kamu buat atau sesudah dibayar utang-utangmu” (QS. Al- Nisa 4:12).
3)
Al-Wala’ (memerdekakan hamba
sahaya)
Al-Wala’ adalah kewarisan
karena seseorang memerdekakan hamba sahaya, atau melalui perjanjian tolong
menolong. Jika yang memerdekakan budak itu laki-laki disebut mu’tiq dan jika
perempuan disebut mu’tiqah. Bagiannya 1/6 dari harta warisan pewaris. Dalam kompilasi
sebab ketiga ini tidak dicantumkan, karena dalam kehidupan sekarang ini,
lebih-lebih di Indonesia, perbudakan tidak diakui lagi keberadaannya.
Karena itu sebab-sebab saling
mewarisi menurut Komilasi Hukum Islam terdiri dari dua hal, pertama karena
hubungan darah, dan kedua karena hubungan perkawinan (pasal 174 ayat 1 KHI).
4)
Hubungan Agama (sesama muslim)
Dalilnya hadis Nabi Muhammad SAW “Orang Islam tidak mewarisi orang kafir,
demikian juga orang kafir tidak mewarisi orang Islam” (HR Jama’ah).
Bila seseorag meninggal dunia tidak mempunyai ahli waris, maka harta
peninggalannya diserahkan kepada baitul mal untuk umat Islam, sebagai warisan.
Rasulullah bersabda “Saya menjadi ahli waris dari orang yang tidak mempunyai
ahli waris” (HR Ahmad dan Abu Daud).
Walaupun di dalam hadis ini tidak ditegaskan untuk umat Islam, tetapi
pada hakikatnya, harta itu dipergunakan untuk kepentingan mereka. Nabi
menerimanya tidak untuk pribadinya, tetapi untuk kemaslahatan umum. Umat Islam
mendapat warisan dari orang yang meninggal melalui dua jalur :
a)
Ahli warisnya atau rahimnya
tidak ada. Oleh sebab itu, harta tersebut diserahkan ke baitul mal. Akan
tetapi, apabila baitul mal itu belum teratur baik, maka harta itu diserahkan
kepada seseorang (Muslim) yang adil, ahli dan bijaksana, supaya disalurkan
untuk kemaslahatan umum.
b)
Ahli warisnya hanya salah
seorang dari suami isteri, sedangkan rahimnya juga tidak ada. Sisa dari bagian
suami dan istri diserahkan ke baitul mal.
Untuk mengetahui hubungan agama, telah dijelaskan dalam Kompilasi Hukum
Islam “Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari kartu
identitas atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau
anak yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya”.[13]
2.
Penghalang mendapatkan warisan
Dalam pasal 171 huruf c KHI
disebutkan bahwa ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia
mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama
Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. Ketentuan ini
sekaligus dimaksudkan untuk menafikan adanya penghalang saling mewarisi. Di
bawah ini akan dijelaskan penghalang saling mewarisi :
1)
Pembunuhan
Pembunuhan yang dilakukan ahli
waris terhadap pewarisnya menyebabkan ia terhalang hukumnya untuk mewarisi.
Dalam KHI dijelaakan dalam pasal 173 yang berbunyi :
Seorang terhalang menjadi ahli
waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap, dihukum karena :
a.
Dipersalahkan telah membunuh
atau mencoba membnuh atau menganiaya berat pada pewaris.
b.
Dipersalahkan secara memfitnah
telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5
tahun penjara atau hukuman yang lebih
berat.
Pembunuhan sebagai penghalang
saling mewarisi didasarkan pada riwayat dari Ibn Abbas r.a :
قَالَ رَسُوْلُ اللّهُ صلعم مَنْ
قَتَلَ قَتِيْلاً فَاِنَّهُ لاَيَرِسُهُ وَاِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَارِثٌ غَيْرَهُ
وَاِنْ كَا نَ لَهُ وَالِدُهُ اَوْوَلَدُهُ فَلَيْسَ لَقَا تِلِ مِيْرَاثٌ (رواه
احمد)
Artinya : “Rasulullah SAW, bersabda : Barangsiapa
membunuh seorang korban, maka ia tidak berhak mewarisinya, meskipun korban
tidak mempunyai ahli waris lainnya selain dirinya, baik itu orang tuanya atau
anaknya maka bagi pembunuh tidak berhak atas warisan” (Riwayat Ahmad). Dan
dalam riwayat Al-Nasa’i juga mengatakan :
لَيْسَ لِلْقَاتِلِ مِنَ
الْمِيْرَاثِ شَيْئٌ (رواه النسائ)
Artinya : “Tidak ada hak bagi pembunuh sedikit pun
dari warisan (yang dibunuh)” (Riwayat Al-Nasa’i).
2)
Berbeda agama
Kompilasi tidak menegaskan
secara eksplisit perbedaan agama antara ahli waris dan pewarisnya sebagai
penghalang mewarisi, hanya menegaskan bahwa ahli waris beragama Islam pada saat
meninggalnya pewaris (pasal 171 huruf c). Untuk mengidentifikasi seorang ahli
waris beragama Islam, pasal 172 menyatakan: “ahli waris dipandang beragama
Islam apabila diketahui dari kartu identitas atau pengakuan atau amalan atau
kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa,
beragama menurut ayahnya atau lingkungannya”.
Sedangkan identitas pewaris
hanya dijelaskan dalam ketentuan umum huruf b, yaitu orang yang pada saat
meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan,
beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan (Pasal 171).
Yang dimaksud berbeda agama
disini adalah antara orang Islam dan non-Islam. Perbedaan agama yang bukan
Islam, atau sama-sama non-Islam, misalnya antara orang kristen dan Budha, tidak
termasuk dalam pengertian ini. Mereka tetap dapat saling mewarisi, karena
berarti tidak berlaku ketentuan hukum Islam. Dasar hukum perbedaan agama
sebagai hilangnya saling mewarisi adalah hadis riwayat Imam Al-Bukhari dan
Muslim.
لاَيَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَا
فِرِ وَلاَالْكَا فِرُالْمُسْلِمَ (متفق عليه)
Artinya : “Orang Islam tidak berhak mewarisi harta
orang kafir dan orang kafir tidak berhak mewarisi harta orang Islam” (Riwayat
Al-Bukhari dan Muslim).
لاَيَتَوَارَثُ اَهْلُ
الْمِلَّتَيْنِ شَتَّى (رواه اصح ب السنن)
Artinya : “Tidak dapat saling mewarisi antara dua
orang pemeluk agama yang berbeda” (Riwayat ashab al-sunan).
Isi kedua hadis tersebut
dikuatkan oleh firman Allah dalam surat A-Nisa 4:141
وَلَنْ يَجْعَلَ آللَّهُ
لِلْكَفِر ينَ عَلَى آلْمُؤْ مِنِيْنَ سَبِيْلاً
Artinya : “Dan Allah sekali-kali tidak akan
memberikan suatu jalan bagi orang-orang kafir (untuk menguasai orang mu’min)”
(QS. Al-Nisa’ 4:141).
3)
Perbudakan
Budak dinyatakan menjadi
penghalang mewarisi, karena status dirinya yang dipandang tidak cakap melakukan
perbuatan hukum. Demikian kesepakatan mayoritas ulama. Dalam firman Allah
menyebutkan :
ضَرَبَ آللَّهُ مَشَلاً عَبْدًا
مَّمْلُو كًا لاَّيَقْدُعَلَى شَئ ءٍ
Artinya : “Allah telah membuat perumpamaan (yakni)
seorang budak (hamba sahaya) yang dimiliki tidak dapat bertindak terhadap
sesuatu pun..” (QS. Al-Nahl 16:75).
Kehadiran Islam dengan semangat
egalitarianismenya, menempatkan tindakan memerdekakan hamba sahaya, sebagai
perbuatan yang sangat mulia. Bahkan oleh Islam, memerdekakan budak, dijadikan
kafarat (sanksi hukum berupa tebusan) bagi pelaku kejahatan, misalnya membunuh
dengan khilaf (QS. Al-Nisa 4:92). Ini karena Islam menghendaki agar tidak ada
lagi perbudakan di muka bumi ini.
Kompilasi tidak membicarakan
masalah ini, tentu saja karena perbudakan tidak dikenal dalam sistem hukum dan
nilai-nilai hukum yang ada di Indonesia. Jika, ketiga halangan tersebuta atau
salah satunya terjadi, maka ahli waris tidak berhak mewarisi harta peninggalan
pewarisnya, yaitu adanya pembunuhan, berbeda agama, dan perbudakan.[14]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Jadi, hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur pembagian warisan,
mengetahui bagian-bagian yang diterima dari harta peninggalan itu untuk setiap
ahli waris yang berhak. Dan sumber dari hukum kewarisan itu sendiri terdapat
dalam Al-Qur’an, Sunnah, Ijma dan Ijtihad. Rukun waris, ada 3 yaitu :
waris (ahli waris), Muwaris (yang mewariskan), Tirkah/mauruts (harta
warisan/peninggalan).
Syarat mendapatkan waris, yaitu orang yang mewariskan (muwarrits) sudah
meninggal, orang yang menerima warisan (ahli waris) masih hidup, pada saat
kematian muwarits, tidak ada penghalang untuk mendapatkan warisan, tidak
tertutup secara penuh oleh ahli waris yang lebih dekat. Ada beberapa sebab yang
menghalangi untuk mendapatkan warisan, yaitu :
1.
Pembunuhan
2.
Berbeda Agama
3.
Perbudakan
Penerapan hukum waris di Indonesia masih sangat beragam. Di Indonesia saat ini masih terdapat beraneka sistem hukum
kewarisan yang berlaku bagi warga negara Indonesia. Dalam hal ini salah satunya
adalah Pasal 136 IS (Indische Staatsregeling) tahun 1925 yang mulai
berlaku pada tanggal 1 Januari 1926. Seperti hukum Adat.
B.
Saran
Demikianlah makalah
yang dapat kami susun. Semoga dapat bermanfaat bagi kita semua, kami menyadari
bahwa makalah ini bukanlah proses akhir, tetapi merupakan langkah awal yang
masih banyak memerlukan perbaikan. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan
tanggapan, saran dan kritik yang membangun demi sempurnanya makalah kami yang
selanjutnya. Dan semoga kita bisa bersama-sama mempelajari materi ini dan
selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Saebani, Beni Ahmad dan Syamsul Falah. Hukum Perdata
Islam Di Indonesia.
Bandung:Pustaka Setia.2011.
Mardani.Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia.Jakarta:Rajagrafindo
Persada.2014.
Rofiq, Ahmad.Hukum Perdata Islam di Indonesia.Jakarta:RajaGrafindo
Persada.2015
Usman,
Rachmadi.Hukum Kewarisan Islam.Bandung:Mandar Maju. 2009.
Afdol.Penerapan Hukum Waris Islam Secara Adil.Surabaya:
Airlangga University
Press.2003.
Suparman, Maman.Hukum Waris Perdata.Jakarta:Sinar
Grafika.2015.
Ilyas. Kedudukan Ahli Waris Non-Muslim Terhadap Harta
Warisan Pewaris Islam
Ditinjau Dari Hukum Islam Dan Kompilasi
Hukum Islam,Vol 3 No 1, April
2015.
Arifin, Muhammad Patri.Konsep Penerapan Hukum
Kewarisan Islam Nusantara.Vol.
11 No.1,Januari-Juni 2017.
[3] Ahmad rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia,
(Jakarta:RajaGrafindo Persada, 2015), 331-338.
[4] Beni ahmad saebani dan syamsul falah.Hukum Perdata Islam
Di Indonesia.(Bandung:Pustaka Setia,2011), 170-171.
[10] Muhammad Patri Arifin,Konsep Penerapan
Hukum Kewarisan Islam Nusantara,Vol. 11 No.1,Januari-Juni 2017, 103-104.
[14] Ilyas,Kedudukan Ahli Waris Non-Muslim
Terhadap Harta Warisan Pewaris Islam Ditinjau Dari Hukum Islam Dan Kompilasi
Hukum Islam,Vol 3 No 1, April 2015, 177-180.
No comments:
Post a Comment