Wednesday, August 21, 2019

MAKALAH PENGERTIAN WARIS DAN SUMBER HUKUM WARIS ISLAM DI INDONESA




DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................        ........    ii
DAFTAR ISI................................................................................................ ........... .......     iii
BAB I : PENDAHULUAN                            
A.    Latar Belakang.................................................................................. ..  ........    1
B.     Rumusan Masalah.............................................................................     ........    2
C.     Tujuan..............................................................................................      ........    2
BAB II : PEMBAHASAN
A.    Pengertian waris, tirkah dan ahli waris................................................  ........    3
B.     Sumber hukum kewarisan Islam........................................................    ........    6
C.     Sumber hukum penerapan waris di Indonesia...................................... ........    9
D.    Sumber hukum kewarisan Islam di Indonesia.....................................  ........    11
E.     Syarat dan rukun kewarisan...............................................................    ........    11
F.      Penyebab dan penghalang mendapatkan warisan................................. ........    12
BAB III : PENUTUP
A.    Kesimpulan.......................................................................................     ........    18
B.     Saran..................................................................................................  18
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................   ........    19


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Warisan adalah harta peninggalan seseorang yang telah meninggal kepada seseorang yang masih hidup yang  berhak menerima harta tersebut. Hukum waris adalah sekumpulan peraturan yang mengatur hubungan hukum menegenai kekayaan setelah wafatnya seseorang. Seseorang yang  berhak menerima harta peninggalan disebut ahli waris. Dalam hal pembagian warta peninggalan, ahli waris telah memilki bagian-bagian tertentu. Seperti firman Allah sebagai berikut :
تَرَكَ مِمَّا نَصِيبٌ وَلِلنَّسَاءِوَاللأقْرَبُونَ الْوَالِدَانِ تَرَكَ مِمَّا نَصِيبٌ لِلرَّجَالِ مَفْرُوضًا نَصِيبًا كَثُرَأَوْمِنْهُ قَلَّ مِمَّا وَال أقْر بُونَ الأقْرَبُونَ الْوَالِدَان
Artinya : “Bagi laki-laki ada haka bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”.
Syariat Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur dan adil. Di dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan dengan cara yang legal. Syariat Islam juga menetapkan hak pemindahan kepemilikan seseorang sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya, dari seluruh kerabat dan nasabnya tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan besar atau kecil.
Al-Qur’an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum (sumber hukum) yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang harus diterima semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap pewaris. Selain itu dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga menjelaskan tentang waris dan dalam KUHPerdata juga menjelaskan tentang waris juga.
Maka dari itu, pembagian warisan haruslah sangat adil dan merata di setiap hubungan nasab dengan pewaris. Tanpa membedakan satu sama lain. Dan ahli waris juga harus menerima apa yang sudah menjadi haknya bukan ingin menambah atau merasa kurang dari pembagian harta warisan tersebut. Namun juga ada syarat bagi ahli waris untuk menerima harta warisan dari pewaris. Jika tidak terhalang untuk mendapatkan harta warisan tersebut, maka berhak untuk mendapatkannya.




B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari waris, tirkah dan ahli waris ?
2.      Apa saja sumber hukum kewarisan Islam ?
3.      Apa saja sumber hukum penerapan waris di Indonesia ?
4.      Apa saja sumber hukum kewarisan Islam di Indonesia ?
5.      Apa saja syarat dan rukun kewarisan ?
6.      Apa yang menjadi peyebab dan penghalang mendapatkan warisan ?
C.    Tujuan
1.      Mengetahui apa pengertian dari waris, tirkah dan ahli waris
2.      Mengetahui sumber hukum kewarisan Islam
3.      Mengetahui sumber hukum penerapan waris di Indonesia
4.      Mengetahui apa saja sumber hukum kewarisan Islam di Indonesia
5.      Memahami apa saja syarat dan rukun kewarisan
6.      Memahami  apa yang menjadi penyebab dan penghalang mendapatkan warisan



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian pewaris, tirkah dan ahli waris
     Secara bahasa, kata waratsa asal kata kewarisan digunakan dalam Al-Qur’an. Dalam Al-Qur’an dan dirinci dalam Sunnah Rasulullah, hukum kewarisan Islam ditetapkan. Secara bahasa, kata waratsa memiliki beberapa arti: pertama, mengganti (QS Al-Naml [27]:16), artinya: “Sulaiman menggantikan kenabian dan kerajaan Dawud, serta mewarisi ilmu pengetahuannya”. Kedua, memberi (QS Al-Zumar [39]:74), dan ketiga, mewarisi (QS Maryam [19]:6).
     Secara terminologi, hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur pembagian warisan, mengetahui bagian-bagian yang diterima dari harta peninggalan itu untuk setiap ahli waris yang berhak. Dalam redaksi lain, Hasby Ash-Shiddieqy mengemukakan, hukum kewarsan adalah hukum yang mengatur siapa-siapa orang yang mewarisi dan tidak mewarisi, penerimaan bagian setiap ahli waris dan cara-cara pembagiannya. Berbeda dengan dua cara definisi di atas, Wirjono Prodjodikoro menjelaskan, warisan adalah soal apa dan bagaimana pembagian hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.[1]
     Hukum kewarisan, sering dikenal dengan istilah faraidl, bentuk jamak dari kata tunggal faridlah, artinya ketentuan. Hal ini karena, bagian-bagian warisan yang menjadi hak ahli waris telah dibakukan dalam Al-Qur’an. Meskipun dalam realisasinya, sering tidak tepat secara persis nominalnya, seperti masalah radd atau ‘aul, akan dikemukakan kemudian.
     Dari pengertian diatas, ketahuilah bahwa hukum kewarisan islam itu adalah ketentuan yang mengatur mengenai orang yang berhak menjadi ahli waris, orang yang tidak dapat menjadi ahli waris (karena terhalang), besarnya bagian yang diterima tiap-tiap ahli waris dan cara membagikan harta warisan kepada ahli waris.
     Ketentuan dalam Pasal 171 huruf a Kompilasi Hukum Islam memberikan rumusan pengertian “Hukum Kewarisan” tersebut yaitu: “Hukum Kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan yang lebih tepat adalah perpindahan hak kepemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing”.
         Dari pengertian rumusan tersebut, teranglah bahwa hukum kewarisan itu (dalam perspektif hukum Islam) adalah hukum yang mengatur proses pemindahan kepemilikan atas harta peninggalan (tirkah atau mauruts) milik pewaris kepada ahli warisnya sesuai dengan bagiannya masing-masing berdasarkan hukum Allah. Hal-hal yang diatur di dalam hukum kewarisan tersebut, meliputi:
a.       Bagaimana pemindahan kepemilikan harta peninggalan yang dimiliki pewaris kepada ahli waris dapat dilakukan, baik berupa rukun maupun syarat-syarat kewarisan, termasuk di dalamnya pengaturan kewajiban dan tanggung jawab ahli waris terhadap pewaris.
b.      Penentuan siapa-siapa di antara ahli waris yang berhak menjadi ahli waris dari pewarisnya, yang berasal dari sekian jumlah ahli waris yang ada atau hidup, tetapi tidak semuanya menjadi ahli waris, kecuali mereka yang menurut hukum syara’ mempunyai hak untuk mendapatkan bagian dari harta peninggalan yang ditinggalkan pewaris.
c.       Penentuan berapa besarnya bagian masing-masing yang akan diterima oleh ahli waris yang berhak menerimanya menurut hukum syara’ sesuai dengan kedudukan ahli waris dalam struktur dan tingkatan kekeluargaan pewaris yang bersangkutan.
d.      Pelaksanaan pembagian harta peninggalan tersebut kepada ahli waris yang berhak, dengan tidak menutup kemungkinan setelah masing-masing ahli waris yang berhak menyadari bagiannya dengan mengadakan “kesepakatan” untuk melakukan “perdamaian” dalam pembagian harta peninggalan tersebut.[2]
       Berikut adalah pengertian dari pewaris (muwarist), harta warisan (tirkah), ahli waris(warits).
1.    Pewaris (Muwarits)
Pewaris adalah seseorang yang meninggal dunia secara hakiki atau yang dinyatakan  meninggal secara hukum dan meninggalkan sesuatu yang dapat beralih kepada keluarganya yang masih hidup (ahli waris). Berdasarkan  prinsip bahwa peralihan harta dari pewaris kepada ahli waris berlaku sesudah meninggalnya pewaris, maka kata “pewaris” itu sebenarnya tepat untuk pengertian “seseorang yang telah mati”. Hukum kewarisan Islam Indonesia dalam perspektif Kompilasi Hukum Islam mensyaratkan pewarisnya harus seorang yang beragama Islam pada saat meninggal dunia.
2.      Tirkah (harta warisan)
Tirkah adalah sesuatu yang ditinggalkan pewaris, baik berupa harta benda dan hak-hak kebendaan atau bukan hak kebendaan. Jadi, setiap sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal menurut istilah jumhur fuqaha dikatakan sebagai “tirkah”, baik yang meninggal itu mempunyai utang-piutang, yang aeniyah atau syahshiyah. Utang piutang aeniyah adalah utang piutang yang ada hubungannya dengan harta benda, seperti gadai, segala sesuatu yang berhubungan dengan barang  yang digadaikan. Adapun utang piutang syahshiyah adalah yang berkaitan dengan kreditur, seperti qiradh, mahar, dll. setelah diambil untuk biaya-biaya perawatan, melunasi utang-utang dan melaksanakan wasiat si pewaris. Dan yang dimaksud dengan tirkah, yaitu apa-apa yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia yang dibenarkan oleh syariat untuk dimiliki oleh para ahli waris, yang mempunyai manfaat.
Menurut Kompilasi Hukum Islam, harta warisan adalah harta bawaan ditambah harta bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran utang dan pemberian untuk kerabat. Sedangkan yang dimaksud dengan harta peninggalan, yaitu harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya.[3]
Pendapat lain dari tirkah adalah harta yang dimiliki orang yang sudah meninggal semasa hidupnya, seperti binatang buruan hasil tangkapannya atau utang yang kemudian dibebaskan oleh pemilik piutang sesudah dia mati, atau ada seseorang yang dengan sukarela membayar utang-utangnya. Apabila ada orang yang melakukan tindak pidana terhadap dirinya sesudah dia mati, misalnya memotong tangan atau kakinya, lalu dikenakan diyat terhadap pelakunya, semua itu masuk dalam kategori harta tirkah. Jadi intinya, tirkah adalah seluruh harta peninggalan yang ditinggalkan oleh orang yang meinggal, yang berupa harta benda, utang piutang, dsb.[4]
3.      Ahli waris
Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai pertalian darah atau pertalian perkawinan dengan pewaris dengan ketentuan mereka harus beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum menjadi ahli waris. Seperti, membunuh pewaris, berbeda agama atau murtad, menjadi budak. Ada tiga syarat untuk menjadi ahli waris yang ditentukan di dalam Pasal 171 C KHI, yaitu :
a.       Orang yang mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris.
b.      Beragama Islam
c.       Tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.[5]
B.     Sumber hukum kewarisan Islam
     Dalam hukum kewarisan Islam memiliki dasar yang sangat kuat, yaitu ayat-ayat Al-Qur’an yang selain kedudukannya qath’iy al-wurud, juga qath’iy al-dalalah, meskipun pada dataran tanfidz (aplikasi), sering ketentuan baku Al-Qur’an tentang bagian-bagian warisan, mengalami perubahan pada hitungan nominalnya, misalnya dalam kasus radd dan’aul, dan sebagainya.
     Menurut al-Syatibi, terhadap ketentuan Al-Qur’an yang kandungannya ibadah atau bukan ibadah mahdlah yang telah dirinci dalam Al-Qur’an, seperti hukum kewarisan, perlu diterima secara ta’abbudy atau diterima secara taken for granted. Karena itu realisasinya, apa yang ditegaskan Al-Qur’an diterima dengan senang hati, sebagai bukti kepatuhan kepada ketentuan-ketentuan Allah.
     Selain Al-Qur’an, hukum kewarisan juga didasarkan kepada Sunnah Rasulullah Saw, pendapat sahabat, baik yang disepakati maupun yang mukhtalah fih.[6]
Jadi ketentuan-ketentuan yang mengatur masalah waris terdapat di dalam:
a)    Al-Qur’an.
1.   QS. Al-Baqarah :180
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”
2.      QS. Al-Baqarah : 240
وَآلَّذِ ينَ يُتُوَ فَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُوْنَ أَزْوَجًاوَصِيَّةًلاِزْوَجِهِمْ مَّتَعًا إِلَى آلْحَوْلِ غَيْرَإِخْرَاجِ فَإِنْ خَرَجْنَ
فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِى مَا فَعَلْنَ فِى أَنْفُسِهِنَّ مِنْ مَّعْرُوفٍ وَآللَّهُ عَزِيْزٌحَكِيْمٌ
Artinya : “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antaramu dan meninggalkan istri, hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri) maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma’ruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
3.      QS. An-Nisa : 11
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ ۚ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۖ
وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ ۚ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ ۚ فَإِنْ
 لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ ۚ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِهَ
أَوْ دَيْنٍ ۗ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا ۚ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمً 
Artinya: “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
4.      QS. An-Nisa : 12
 وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ ۚ فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ ۚ مِنْ
 بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۚ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ ۚ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ
 فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۗ وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلَالَةً أَوِ امْرَ
أَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ ۚ فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَٰلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ ۚ مِنْ
 بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَىٰ بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ ۚ وَصِيَّةً مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ
Artinya: Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.[7]
b)   Al-Hadits.
1. Hadis riwayat Muttafaq alaih atau diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim
اَلْحِقُوْاالْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَافَمَا بَقِيَ فَلاِوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ (متفق عليه)
Artinya : “Nabi SAW bersabda : Berikanlah bagian-bagian tertentu kepada orang-orang yang berhak. Dan sisanya untuk orang laki-laki yang lebih utama (dekat kerabatannya)”.
2. Hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim
لاَيَرِثُ المُسْلِمُ الكَا فِرَوَلاَالكَافِرُالمُسْلِمَ
Artinya : “Orang Islam tidak berhak mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak berhak mewarisi orang Islam”.[8]
c)    Al-Ijma.
   Ijma’ yaitu kesepakatan para ulama atau sahabat sepeninggal Rasulullah Saw. Tentang ketentuan warisan yang terdapat dalam Al-Qur’an maupun Sunnah. Karena telah disepakati oleh para sahabat para dan ulama, ia dapat dijadikan sebagai referensi hukum.
d)   Ijtihad
     Ijtihad yaitu pemikiran sahabat atau ulama dalam menyelesaikan kasus-kasus pembagian warisan, yang belum atau tidak disepakati. Misalnya terhadap masalah radd atau ‘aul, di dalamnya terdapat perbedaan pendapat, sejalan dengan hasil masing-masing sahabat, tabi’in atau ulama.
C.    Sumber hukum penerapan waris di Indonesia
Di Indonesia saat ini  masih terdapat beraneka sistem hukum kewarisan yang berlaku bagi warga negara Indonesia. Dalam hal ini salah satunya adalah Pasal 136 IS (Indische Staatsregeling) tahun 1925 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1926.
     Pasal tersebut berasal dari pasal 109 Reglement op get belied der regeerings van Nederland Indische disingkat regeering reglement (RR staatsblad Belanda tanggal 1 Januari 1854 no 29 jo. Staatsblad Hindia Belanda tahun 1855 No 2) yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1855 yang semuala berasal dari pasal 6-10 AB (algemeene bpaligen van wetgefing) tahun 1848 dalam peraturan ini telah ditetapkan 3 golongan penduduk Hindia Belanda, yaitu sebagai berikut :
Mengenai hukum kewarisan sampai saat ini masih beraneka sistem hukum di Indonesia, yakni sebagai berikut :
1.      Sistem hukum kewarisan perdata tertuang dalam BW (KUHP) berdasarkan ketentuaan Pasal 131 IS jo. Staatsblad  1917  No 12 jo staatsblad  1924 No 557 tentang penundukan diri terhadap hukum Eropa, maka BW berlaku bagi :
a.       Orang-orang Eropa dan mereka dipersamakan orang Eropa
b.      Orang timur Asing Tionghoa (staatsblad 1917 No 129)
c.       Orang asing lain dan orang-orang Indonesia yang menundukan diri pada hukum Eropa
2.      Sistem hukum kewarisan Adat, hukum kewarisan ini beraneka sistemnya karena dipengaruhi oleh bentuk etnis di lingkungan hukum adatnya. Dalam sistem kewarisan adat dikenal sistem kewarisan matrilineal, patrilineal, dan bilateral atau parental. Hal ini diuraikan sebagai berikut :
a.       Sistem matrilineal, yaitu sistem kewarisan yang menarik garis keturunan selalu menghubungkan dirinya dengan ibunya, seterusnya keatas kepada ibunya ibu sampai kepada seorang wanita yang dianggap sebagai marganya , dimana klan ibunya berasal dan keturunannya, mereka semua menganggap satu klan ibunya, misalnya di Minangkabau, Enggano, dan Timor.
b.      Sistem patrilineal, yaitu sistem kewarisan yang menarik keturunan dan hanya menghubungkan dirinya kepada ayah ke atas, kepada ayahnya ayah, hal demikian terdapat dalam sistem patrilineal murni seperti di tanah Batak, atau pada sistem patrilineal yang beralih-alih, yaitu dimana setiap orang menghubungkan dirinya kepada ayahnya atau kepada ibunya tergantungkan kepada bentuk perkawinan orang tuanya, misalnya di Lampung dan Rejang.
c.       Sistem Bilateral atau Parental menurut Hazairin, dimana setiap orang menghubungkan dirinya dalam hal keturunan baik kepada ibunya maupun kepada ayahnya.
3.      Sistem hukum waris Islam juga terdiri atas prulalisme ajaran, misalnya kewarisan sitem ahlus sunnah wal jamaah,( madzab Syafi’i, Hanafi, Hambali, dan Maliki). Akan tetapi, yang paling dominan diantara 4 madzab di anut di indonesia adalah Imam Syafi’i, di samping ajaran Hazairin yang mulai berpengaruh sejak tahun 1950 di indonesia. Hal ini sebagai ijtihad untuk menguraikan hukum kewarisan dalam Al-Quran secara bilateral.
4.      Hukum waris orang asing.
Hukum waris yang berlaku bagi warga negara asing karena naturalisasi menjadi warga negara asing atau anak perempuan kawin dengan pria warga negara asing. Dalam masalah ini semula terdapat suatu pendirian yang menentukan, bahwa hukum waris tunduk pada prinsip timbal balik. Artinya bahwa seseorang dapat mewaris dari negara asing, jika orang dari negara tersebut juga dapat mewaris dari negaranya. Prinsip ini sekarang tidak berlaku lagi, yang berlaku adalah hukum nasional pewaris, sebagaimana diatur dalam pasal 837 KUHP.[9]
5.      Hukum terapan KHI
Ada beberapa ketentuan hukum waris yang ditetapkan oleh KHI, tidak didapatkan penjelasannya dalam hukum waris Sunni, diantaranya :
a.       Ahli waris pengganti, ketentuan ini sama dengan apa yang dilontarkan oleh Hazairin.
b.      Status anak angkat yang mendapatkan hak wasiat wajibah, yang nilai maksimumnya sepertiga dari harta warisan orang tua angkatnya.
c.       Secara jelas dalam Pasal 173 KHI disebutkan bahwa sebab terhalangnya ahli waris mendapatkan kewarisan dikarenakan dua hal, yaitu dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh, demikian juga dipersalahkan akibat memfitnah yang mengakibatkan hukuman penjara.
Kebijakan yang diangkat dalam hukum terapan KHI seperti ketentuan kewarisan bagi ahli waris pengganti, anak angkat dan orang beda agama, telah mendudukan hukum Islam berdasarkan kontekstual yang mempertimbangkan spirit keislaman dan hukum adat Indonesia. Hal ini sama seperti yang menjadi dasar pertimbangan Hazairin dalam meneliti konsep bilateralnya. Oleh karena itu, ketika KHI  menetapkan wasiat wajibah bagi anak angkat.[10]
D.    Sumber hukum kewarisan Islam di Indonesia
Sumber hukum kewarisan Islam di Indonesia menggunakan hukum yang tertuang dalam KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek). Dalam Pasal 528 KUHPerdata tentang hak mewaris ditentukan dengan hak kebendaan, sedangkan ketentuan Pasal 854 KUHPerdata bahwa hak waris sebagai salah satu cara untuk memperoleh hak kebendaan. Oleh karena itu, ketentuan ini ditempatkan dalam buku ke 2 KUHPerdata (tentang benda).
Namun demikian, penempatan hukum kewarisan dalam buku ke 2 KUHPerdata menimbulkan pro kontra di kalangan ahli hukum, karena dalam kewarisan tidak hanya mencakup hukum benda saja, tetapi juga menyangkut aspek hukum lainnya, misalnya hukum perorangan dan kekeluargaan.   
Pewarisan dalam KUHPerdata terdapat dalam buku II mengenai kebendaan pada bab kedua belas tentang pewarisan karena kematian. Ketentuan ini dimulai dari Pasal 830 KUHPerdata sampai dengan Pasal 1130.[11]Selain itu juga terdapat dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) buku ke II tentang kewarisan.
E.     Syarat dan rukun kewarisan
1.      Syarat-syarat mendapat warisan
Di samping mempunyai hubungan kekerabatan (kekeluargaan), hubungan perkawinan, dan hubungan agama, mereka baru berhak menerima warisan secara hukum dengan terpenuhinya persyaratan sebagai berikut :
1)      Orang yang mewariskan (muwarrits) sudah meninggal. Ulama membeedakan mati itu pada tiga macam, yaitu :
a.       Mati yang bersifat haqiqi (mati yang sebenarnya).
b.      Mati secara hukum hukmy, yaitu terhadap orang yang hilang  yang oleh pengadilan dianggap telah mati.
c.       Mati taqdiri (mati menurut dugaan), ialah suatu kematian yang bukan haqiqi dan bukan hukmy tetapi semata-mata berdasarkan dugaan keras. Misalnya kematian seorang bayi yang baru dilahirkan akibat terjadinya pemukulan terhadap perut ibunya atau pemaksaan agar ibunya meminum racun. Kematian tersebut hanya semata-mata berdasarkan dugaan keras, sebab dapat juga disebabkan oleh yang lain.
2)      Orang yang menerima warisan (ahli waris) masih hidup, pada saat kematian muwarits.
3)      Tidak ada penghalang untuk mendapatkan warisan.
4)      Tidak tertutup secara penuh oleh ahli waris yang lebih dekat.[12]
2.      Rukun waris
1)      Waris (ahli waris)
2)      Muwaris (yang mewariskan)
3)      Tirkah/mauruts (harta warisan/peninggalan)
F.     Penyebab dan penghalang mendapatkan warisan
1.      Penyebab mendapatkan warisan
Islam diturunkan untuk menyempurnakan ajaran sebelumnya, baik masa jahiliah maupun masa awal Islam diturunkan. Jika pada masa itu sebab-sebab mewarisi terdiri dari : pertalian darah (al-qarabah), janji setia (al-hilf wa al-mu’aqadah), dan pengangkatan anak (al-tabani atau adopsi), maka pada awal Islam, ketiga sebab tersebut masih tetap dijalankan, ditambah dengan kesediaan ikut berhijrah dan ikatan persaudaraan antar kaum muhajirin dan anshar.
Ketika Islam sempurna diturunkan, dasar yang dijadikan sebab mewarisi hanyalah yang pertama, sedang keempat lainnya ditiadakan. Dengan demikian, dapat dijelaskan bahwa sebab-sebab mewarisi dalam Islam adalah :
1)      Al-qarabah (hubungan kekeluargaan)
Al-qarabah atau pertalian darah, yaitu semua ahli waris yang ada pertalian darah, baik laki-laki dan perempuan, dan anak-anak diberi hak untuk menerima bagian menurut dekat jauhnya kekerabatan. Namun dalam hal ini, berlaku ketentuan ahli waris yang lebih dekat dapat menutupi ahli waris yang  jauh, sesuai ketentuan Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Karena itu, dapat dinyatakan bahwa sistem kekerabatan bilateral atau parental. Artinya, penentuan hubungan kerabat dihubungkan kepada garis ibu dan ayah. Meskipun bagian wanita hanya separuh dari bagian laki-laki.
Hubungan kekerabatan menurut Islam yang menjadi dasar mewarisi, dijelaskan dalam firman Allah :
لِّلرِّ جَا لِ نَصِئبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَ لِدَانِ وَالْاَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِّمَّا تَرَكَ آلْوَلِدَانِ وَآللأَاقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أوْكَشُرَ نَصِيًبامّْفرُوضًا
Artinya : “ Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapaknya dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian pula dari harta peninggalan ibu bapaknya dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan” (QS. Al-Nisa 4:7).
ضَرَ بَ اللهُ مَشَلاً عَبْدًا مَّمْلُو كاً لاَّيَقْدِ رُ عَلَي شَيْءٍ
Artinya : “Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya di dalam kitab Allah” (QS. Al-Anfal 8:75).
2)      Al-Mushaharah (hubungan perkawinan)
Perkawinan yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, baik menurut hukum agama dan kepercayaan maupun hukum negara, menyebabkan adanya hubungan saling mewarisi, apabila salah satunya meninggal dunia. Untuk mengetahui adanya perkawinan tersebut, hanya dapat dibuktikan melalui akta nikah yang dikeluarkan oleh pegawai pencatat nikah. Sebagian anggota masyarakat sering mempersoalkan antara ketentuan hukum agama dan hukum positif. Mereka merasa perkawinannya sah, apabila ketentuan hukum agama, syarat dan rukunnya terpenuhi. Soal pencatatan dan akta nikah hanyalah soal administrasi saja.
Dianggap masih termasuk dalam ikatan perkawinan adalah apabila istri dicerai raj’i oleh suaminya, selama berada dalam masa tunggu (iddah). Alasannya, wanita yang berada dalam masa tunggu (iddah raj’i), suaminyalah yang paling berhak merujukinya, karena itu statusnya dianggap masih terikat dengan perkawinan suaminya. Misalnya, seorang suami mencerai istrinya yang masih normal menstruasinya, sebulan kemudian ia meninggal dunia, maka istrinya tetap berhak menerima bagian warisan.
Dasar hukum hubungan perkawinan sebagai sebab saling mewarisi adalah firman Allah :
            وِلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَجُكُمْ إِنْ لَّمْ يَكُنْ لّهُنَّ وَلَدُ فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلُدُ فَلَكُمُ آلرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِيْنَ بِهَآأَوْدَيْنٍ
 وَلَهُنَّ آلرُّبُعُ مِمَّا تَرَ كْتُمْ إِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّكُمْ وَلَدُ فَإِن كَانَ لَكُمْ وَلُدُ فَلَهُنَّ آلشُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِّنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُو نَ بِهَآأَوْدَيْنٍ
Artinya : “Dan bagimu (suami-istri) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau dan sesudah dibayar utangnya. Para istri memperoleh seperempat dari harta yang  kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau sesudah dibayar utang-utangmu” (QS. Al- Nisa 4:12).
3)      Al-Wala’ (memerdekakan hamba sahaya)
Al-Wala’ adalah kewarisan karena seseorang memerdekakan hamba sahaya, atau melalui perjanjian tolong menolong. Jika yang memerdekakan budak itu laki-laki disebut mu’tiq dan jika perempuan disebut mu’tiqah. Bagiannya 1/6 dari harta warisan pewaris. Dalam kompilasi sebab ketiga ini tidak dicantumkan, karena dalam kehidupan sekarang ini, lebih-lebih di Indonesia, perbudakan tidak diakui lagi keberadaannya.
Karena itu sebab-sebab saling mewarisi menurut Komilasi Hukum Islam terdiri dari dua hal, pertama karena hubungan darah, dan kedua karena hubungan perkawinan (pasal 174 ayat 1 KHI).
4)      Hubungan Agama (sesama muslim)
Dalilnya hadis Nabi Muhammad SAW “Orang Islam tidak mewarisi orang kafir, demikian juga orang kafir tidak mewarisi orang Islam” (HR Jama’ah).
Bila seseorag meninggal dunia tidak mempunyai ahli waris, maka harta peninggalannya diserahkan kepada baitul mal untuk umat Islam, sebagai warisan. Rasulullah bersabda “Saya menjadi ahli waris dari orang yang tidak mempunyai ahli waris” (HR Ahmad dan Abu Daud).
Walaupun di dalam hadis ini tidak ditegaskan untuk umat Islam, tetapi pada hakikatnya, harta itu dipergunakan untuk kepentingan mereka. Nabi menerimanya tidak untuk pribadinya, tetapi untuk kemaslahatan umum. Umat Islam mendapat warisan dari orang yang meninggal melalui dua jalur :
a)      Ahli warisnya atau rahimnya tidak ada. Oleh sebab itu, harta tersebut diserahkan ke baitul mal. Akan tetapi, apabila baitul mal itu belum teratur baik, maka harta itu diserahkan kepada seseorang (Muslim) yang adil, ahli dan bijaksana, supaya disalurkan untuk kemaslahatan umum.
b)      Ahli warisnya hanya salah seorang dari suami isteri, sedangkan rahimnya juga tidak ada. Sisa dari bagian suami dan istri diserahkan ke baitul mal.
Untuk mengetahui hubungan agama, telah dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam “Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari kartu identitas atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya”.[13]
2.      Penghalang mendapatkan warisan
Dalam pasal 171 huruf c KHI disebutkan bahwa ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. Ketentuan ini sekaligus dimaksudkan untuk menafikan adanya penghalang saling mewarisi. Di bawah ini akan dijelaskan penghalang saling mewarisi :
1)      Pembunuhan
Pembunuhan yang dilakukan ahli waris terhadap pewarisnya menyebabkan ia terhalang hukumnya untuk mewarisi. Dalam KHI dijelaakan dalam pasal 173 yang berbunyi :
Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena :
a.       Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membnuh atau menganiaya berat pada pewaris.
b.      Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan  suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang  lebih berat.
Pembunuhan sebagai penghalang saling mewarisi didasarkan pada riwayat dari Ibn Abbas r.a :
قَالَ رَسُوْلُ اللّهُ صلعم مَنْ قَتَلَ قَتِيْلاً فَاِنَّهُ لاَيَرِسُهُ وَاِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَارِثٌ غَيْرَهُ وَاِنْ كَا نَ لَهُ وَالِدُهُ اَوْوَلَدُهُ فَلَيْسَ لَقَا تِلِ مِيْرَاثٌ (رواه احمد)
Artinya : “Rasulullah SAW, bersabda : Barangsiapa membunuh seorang korban, maka ia tidak berhak mewarisinya, meskipun korban tidak mempunyai ahli waris lainnya selain dirinya, baik itu orang tuanya atau anaknya maka bagi pembunuh tidak berhak atas warisan” (Riwayat Ahmad). Dan dalam riwayat Al-Nasa’i juga mengatakan :  
لَيْسَ لِلْقَاتِلِ مِنَ الْمِيْرَاثِ شَيْئٌ (رواه النسائ)
Artinya : “Tidak ada hak bagi pembunuh sedikit pun dari warisan (yang dibunuh)” (Riwayat Al-Nasa’i).
2)      Berbeda agama
Kompilasi tidak menegaskan secara eksplisit perbedaan agama antara ahli waris dan pewarisnya sebagai penghalang mewarisi, hanya menegaskan bahwa ahli waris beragama Islam pada saat meninggalnya pewaris (pasal 171 huruf c). Untuk mengidentifikasi seorang ahli waris beragama Islam, pasal 172 menyatakan: “ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari kartu identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya”.
Sedangkan identitas pewaris hanya dijelaskan dalam ketentuan umum huruf b, yaitu orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan, beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan (Pasal 171).
Yang dimaksud berbeda agama disini adalah antara orang Islam dan non-Islam. Perbedaan agama yang bukan Islam, atau sama-sama non-Islam, misalnya antara orang kristen dan Budha, tidak termasuk dalam pengertian ini. Mereka tetap dapat saling mewarisi, karena berarti tidak berlaku ketentuan hukum Islam. Dasar hukum perbedaan agama sebagai hilangnya saling mewarisi adalah hadis riwayat Imam Al-Bukhari dan Muslim.
لاَيَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَا فِرِ وَلاَالْكَا فِرُالْمُسْلِمَ (متفق عليه)
Artinya : “Orang Islam tidak berhak mewarisi harta orang kafir dan orang kafir tidak berhak mewarisi harta orang Islam” (Riwayat Al-Bukhari dan Muslim).
لاَيَتَوَارَثُ اَهْلُ الْمِلَّتَيْنِ شَتَّى (رواه اصح ب السنن)
Artinya : “Tidak dapat saling mewarisi antara dua orang pemeluk agama yang berbeda” (Riwayat ashab al-sunan).
Isi kedua hadis tersebut dikuatkan oleh firman Allah dalam surat A-Nisa 4:141
وَلَنْ يَجْعَلَ آللَّهُ لِلْكَفِر ينَ عَلَى آلْمُؤْ مِنِيْنَ سَبِيْلاً
Artinya : “Dan Allah sekali-kali tidak akan memberikan suatu jalan bagi orang-orang kafir (untuk menguasai orang mu’min)” (QS. Al-Nisa’ 4:141).
3)   Perbudakan
Budak dinyatakan menjadi penghalang mewarisi, karena status dirinya yang dipandang tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Demikian kesepakatan mayoritas ulama. Dalam firman Allah menyebutkan :
ضَرَبَ آللَّهُ مَشَلاً عَبْدًا مَّمْلُو كًا لاَّيَقْدُعَلَى شَئ ءٍ
Artinya : “Allah telah membuat perumpamaan (yakni) seorang budak (hamba sahaya) yang dimiliki tidak dapat bertindak terhadap sesuatu pun..” (QS. Al-Nahl 16:75).
Kehadiran Islam dengan semangat egalitarianismenya, menempatkan tindakan memerdekakan hamba sahaya, sebagai perbuatan yang sangat mulia. Bahkan oleh Islam, memerdekakan budak, dijadikan kafarat (sanksi hukum berupa tebusan) bagi pelaku kejahatan, misalnya membunuh dengan khilaf (QS. Al-Nisa 4:92). Ini karena Islam menghendaki agar tidak ada lagi perbudakan di muka bumi ini.
Kompilasi tidak membicarakan masalah ini, tentu saja karena perbudakan tidak dikenal dalam sistem hukum dan nilai-nilai hukum yang ada di Indonesia. Jika, ketiga halangan tersebuta atau salah satunya terjadi, maka ahli waris tidak berhak mewarisi harta peninggalan pewarisnya, yaitu adanya pembunuhan, berbeda agama, dan perbudakan.[14]





BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Jadi, hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur pembagian warisan, mengetahui bagian-bagian yang diterima dari harta peninggalan itu untuk setiap ahli waris yang berhak. Dan sumber dari hukum kewarisan itu sendiri terdapat dalam Al-Qur’an, Sunnah, Ijma dan Ijtihad. Rukun waris, ada 3 yaitu : waris (ahli waris), Muwaris (yang mewariskan), Tirkah/mauruts (harta warisan/peninggalan).
Syarat mendapatkan waris, yaitu orang yang mewariskan (muwarrits) sudah meninggal, orang yang menerima warisan (ahli waris) masih hidup, pada saat kematian muwarits, tidak ada penghalang untuk mendapatkan warisan, tidak tertutup secara penuh oleh ahli waris yang lebih dekat. Ada beberapa sebab yang menghalangi untuk mendapatkan warisan, yaitu :
1.      Pembunuhan
2.      Berbeda Agama
3.      Perbudakan
Penerapan hukum waris di Indonesia masih sangat beragam. Di Indonesia saat ini  masih terdapat beraneka sistem hukum kewarisan yang berlaku bagi warga negara Indonesia. Dalam hal ini salah satunya adalah Pasal 136 IS (Indische Staatsregeling) tahun 1925 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1926. Seperti hukum Adat.
B.     Saran
Demikianlah makalah yang dapat kami susun. Semoga dapat bermanfaat bagi kita semua, kami menyadari bahwa makalah ini bukanlah proses akhir, tetapi merupakan langkah awal yang masih banyak memerlukan perbaikan. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan tanggapan, saran dan kritik yang membangun demi sempurnanya makalah kami yang selanjutnya. Dan semoga kita bisa bersama-sama mempelajari materi ini dan selanjutnya.




DAFTAR PUSTAKA

Saebani, Beni Ahmad dan Syamsul Falah. Hukum Perdata Islam Di Indonesia.  
     Bandung:Pustaka Setia.2011.
Mardani.Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia.Jakarta:Rajagrafindo Persada.2014.
Rofiq, Ahmad.Hukum Perdata Islam di Indonesia.Jakarta:RajaGrafindo Persada.2015
Usman, Rachmadi.Hukum Kewarisan Islam.Bandung:Mandar Maju. 2009.
Afdol.Penerapan Hukum Waris Islam Secara Adil.Surabaya: Airlangga University
     Press.2003.
Suparman, Maman.Hukum Waris Perdata.Jakarta:Sinar Grafika.2015.
Ilyas. Kedudukan Ahli Waris Non-Muslim Terhadap Harta Warisan Pewaris Islam
     Ditinjau Dari Hukum Islam Dan Kompilasi Hukum Islam,Vol 3 No 1, April 2015.
Arifin, Muhammad Patri.Konsep Penerapan Hukum Kewarisan Islam Nusantara.Vol.
     11 No.1,Januari-Juni 2017.





[1] Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), 282.
[2] Rachmadi Usman, Hukum Kewarisan Islam, (Bandung:Mandar Maju, 2009), 30.
[3] Ahmad rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 2015), 331-338.
[4] Beni ahmad saebani dan syamsul falah.Hukum Perdata Islam Di Indonesia.(Bandung:Pustaka Setia,2011), 170-171.
[5] Afdol,Penerapan Hukum Waris Islam Secara Adil,(Surabaya:Airlangga University Press,2003),97.
[6] Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), 296.
[7] Afdol,Penerapan Hukum Waris Islam Secara Adil,(Surabaya:Airlangga University Press,2003),7-11.
[8] Ahmad Rofiq,Hukum Perdata Islam Di Indonesia,(Jakarta:Rajagrafindo Persada,2015),299.
[9] Maman Suparman,Hukum Waris Perdata,(Jakarta:Sinar Grafika,2015),1-6.
[10] Muhammad Patri Arifin,Konsep Penerapan Hukum Kewarisan Islam Nusantara,Vol. 11 No.1,Januari-Juni 2017, 103-104.
[11] Maman Suparman,Hukum Waris Perdata,(Jakarta:Sinar Grafika,2015),14.
[12] Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia,(Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2014), 28-29.
[13] Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia,(Jakarta : PT Rajagrafindo Persada, 2014 ), 28-29.
[14] Ilyas,Kedudukan Ahli Waris Non-Muslim Terhadap Harta Warisan Pewaris Islam Ditinjau Dari Hukum Islam Dan Kompilasi Hukum Islam,Vol 3 No 1, April 2015, 177-180.

No comments:

SEJARAH PERADABAN ISLAM PADA AWAL PERMULAAN ISLAM SAMPAI DENGAN KHULAFAURRASYIDIN

                                                                                     BAB I                                            ...