DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................... ...... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................................
iii
BAB I : PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang..........................................................................................
1
B.
Rumusan Masalah....................................................................................
2
C.
Tujuan.......................................................................................................
2
BAB II :
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Salam.....................................................................................
3
B.
Landasan
Hukum Salam...........................................................................
4
C.
Syarat
Dan Rukun Salam..........................................................................
6
D.
Skema
Salam...............................................................................................
8
E.
Aplikasi
Salam Dalam Lembaga Keuangan Syariah............................. 8
BAB III : PENUTUP
A.
Kesimpulan.............................................................................................
11
B.
Saran........................................................................................................
11
DAFTARPUSTAKA...................................................................................................12
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu
pembiayaan yang dikenal di Bank Syariah adalah pembiayaan yang menggunakan jual
beli. Akad pembiayaan jual-beli yang dikembangkan oleh Bank Syariah adalah tiga
akad, yaitu Murabahah, Istishna, dan Salam.
Transaksi
salam banyak dipergunakan untuk bidang pertanian, dimana pada awal musim tanam
petani membutuhkan modal untuk memproduksi hasil pertanian, baik modal dalam
bentuk kas maupun modal dalam non kas atau barang yang berhubungan dengan
produksi pertanian seperti misalnya bibit, pupuk, alat pertanian dan sebagainya
untuk membantu petani.
Bagi Lembaga
Keuangan Syariah khusus Perbankan Syariah, saat ini transaksi salam tidaklah
menjadi menarik karena bagi pelaksanaan perbankan syariah masih banyak
paradigma yang tidak lepas dari paradigma bank konvensional, yaitu saat
memberikan modal dalam bentuk uang harus segera menghasilkan, sedangkan dalam
transaksi salam ini LKS memberikan modal terlebih dahulu dan pendapatannya baru
diperoleh saat penyerahan barang yang
dilakukan kemudian.
Namun jual
beli dengan salam merupakan solusi tepat yang ditawarkan oleh Islam guna menghindari
riba. Dikarenakan dengan akad ini kedua belah pihak mendapatkan keuntungan
tanpa ada unsur gharar. Pembeli mendapatkan keuntungan berupa jaminan untuk
mendapatkan barang sesuai dengan yang ia butuhkan dan pada waktu yang ia
inginkan. Sedangkan penjual juga mendapatkan keuntungan yang tidak kalah besar
dibanding pembeli, diantaranya penjual mendapatkan modal untuk menjalankan
usahanya dengan cara yang halal, sehingga ia dapat menjalankan dan
mengembangkan usahahnya tanpa harus membayar bunga.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian
dari Salam ?
2.
Apa
yang mejadi landasan Hukum Salam ?
3.
Apa
saja syarat dan rukun Salam ?
4.
Bagaimana
skema dari Salam ?
5.
Bagaimanakah
aplikasi Salam dalam Lembaga Keuangan Syariah ?
D. Tujuan
1.
Untuk
mengetahui apa pengertian dari Salam
2.
Untuk
mengetahui apa yang mejadi landasan Hukum dari Salam
3.
Untuk
mengetahui apa saja syarat dan rukun Salam
4.
Untuk
memahami bagaimana skema dari Salam
5.
Untuk
memahami bagaimanakah aplikasi Salam dalam Lembaga Keuangan Syariah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian dari Salam
Salam berasal
dari kata As-Salaf, yang artinya pendahuluan, pesanan atatu jual beli dengan
melakukan pesanan terlebih dahulu. Sedangkan menurut istilah, Salam adalah akad
pemesanan suatu barang dengan kriteria yang telah disepakati dan dengan pembayaran
tunai pada saat akad berlangsung dan
barang datang di kemudian hari.
Spesifikasi
barang pesanan telah disepakati oleh penjual dan pembeli di awal akad. Barang
pesanan juga harus sesuai dengan karakteristik yang telah disepakati. Jika
barang pesanan yang dikirim tidak sesuai spesifikasi yang tertuang dalam akad,
maka bank syariah dapat mengembalikannya kepada penjual.[1]
Salam
merupakan bentuk jual beli dengan pembayaran di muka dan penyerahan barang di
kemudian hari (advanced payment atau forward buying atau future
sales) dengan harga, spesifikasi, jumlah, kualitas, tanggal dan tempat
penyerahan yang jelas, serta disepakati sebelumnya dalam perjanjian.
Barang
yang diperjualbelikan belum tersedia pada saat transaksi dan harus diproduksi
terlebih dahulu, seperti produk-produk pertanian dan produk-produk fungible
(barang yang dapat diperkirakan dan diganti sesuai berat, ukuran, dan
jumlahnya) lainnya. Barang-barang non-fungible seperti batu mulia, lukisan
berharga, dll yang merupakan barang langka tidak dapat dijadikan objek salam.
Resiko terhadap barang yang diperjualbelikan masih berada pada penjual sampai
waktu penyerahan barang. Pihak pembeli berhak untuk meneliti dan dapat menolak
barang yang akan diserahkan apabila tidak sesuai dengan spesifikasi awal yang
disepakati.
Salam
diperbolehkan oleh Rasulullah SAW dengan beberapa syarat yang harus dipenuhi.
Tujuan utama dari jual beli salam adalah untuk memenuhi kebutuhan para petani
kecil yang memerlukan modal untuk memulai masa tanam dan untuk menghidupi
keluarganya sampai waktu panen tiba. Setelah pelarangan riba, mereka tidak
dapat lagi mengambil pinjaman ribawi untuk keperluan ini sehingga diperbolehkan
bagi mereka untuk menjual produk pertaniannya di muka.
Sama
halnya dengan para pedagang Arab yang biasa mengekspor barang ke wilayah lain
dan mengimpor barang lain untuk keperluan negerinya. Mereka membutuhkan modal
untuk menjalankan usaha perdagangan ekspor-impor itu. Untuk kebutuhan modal
perdagangan ini, mereka tidak dapat lagi meminjam dari para rentenir setelah
dilarangnya riba. Oleh sebab itu, mereka diperbolehkan menjual barang di muka.
Setelah menerima pembayaran tunai tersebut, mereka dengan mudah dapat
menjalankan usaha perdagangan mereka.
Salam
bermanfaat bagi penjual karena mereka menerima pembayaran di muka. Salam juga
bermanfaat bagi pembeli karena pada umumnya harga dengan akad salam lebih murah
daripada harga dengan akad tunai.
Transaksi
salam sangat populer pada zaman Imam Abu Hanifah (80-150 AH/699-767 AD). Imam
Abu Hanifah meragukan keabsahan kontrak tersebut yang mengarah kepada
perselisihan. Oleh karena itu, beliau berusaha menghilangkan kemungkinan adanya
perselisihan dengan merinci lebih khusus apa yang harus diketahui dan dinyatakan dengan jelas
dalam kontrak, seperti jenis komoditi, mutu, kuantitas, serta tanggal dan
tempat pengiriman.[2]
Berikut
ada beberapa hal yang dapat membatalkan kontrak salam, yaitu sebagai berikut :
1.
Barang
yang dipesan tidak ada pada waktu yang ditentukan.
2.
Barang
yang dikirim cacat atau tidak sesuai dengan yang disepakati dalam akad.
3.
Barang
yang dikirim kualitasnya lebih rendah, dan pembeli memilih untuk menolak atau
membatalkan akad.
4.
Barang
yag dikirim kualitasnya tidak sesuai akad tetapi pembeli menerimanya.
5.
Barang
diterima.[3]
B.
Landasan Hukum Salam
Landasan
hukum salam terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits.
1.
Al-Qur’an
يَأَيُّهَاالِّذيْنَءَامَنُواإِذَاتَدَايَنْتُمْ
بِدَيْنٍ إِلَىَ أَجَلٍ مُّسَمَّىَ فَآكْتُبُوهُ
Artinya : “Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya” (Al-Baqarah : 282).
Dalam kaitan tersebut, Ibnu Abbas menjelaskan
keterkaitan ayat tersebut dengan transaksi ba’i as-salam. Hal ini tampak
jelas dari ungkapan beliau “Saya bersaksi bahwa salaf (salam) yang
dijamin untuk jangka waktu tertentu telah dihalalkan oleh Allah pada kitabnya
dan diizinkan-nya”. Ia lalu membaca ayat tersebut di atas.
2.
Al-Hadits
Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW datang
ke Madinah dimana penduduknya melakukan salaf (salam) dalam buah-buahan
(untuk jangka waktu) satu, dua, dan tiga tahun. Beliau berkata :
مَنْ اَسْلَفَ
فِىْ شئْ فَفِي كَيلٍ مَعْلُوْمٍ وَوَزْنٍ مَعْلُوْمٍ اِلَى اجَلٍ معْلُوْمٍ
Artinya : “Barangsiapa yang melakukan salaf (salam),
hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula,
untuk jangka waktu yang diketahui”.
Dari Shuhaib r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan :
jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan
tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual” (HR Ibnu Majah).[4]
3.
Ijma’
Kesepakatan ulama (ijma’) akan bolehnya jual beli
salam dikutip dari pernyataan Ibnu Mundzir yang mengatakan bahwa semua ahli
ilmu telah sepakat bahwa jual beli salam diperbolehkan, karena terdapat
kebutuhan dan keperluan untuk memudahkan urusan manusia. Pemilik lahan pertanian,
perkebunan ataupun perniagaan terkadang membutuhkan modal untuk mengelola usaha
mereka hingga siap dipasarkan, maka jual beli salam diperbolehkan untuk
mengakomodir kebutuhan mereka. Ketentuan ijma’ ini secara jelas memberikan
legalisasi praktik pembiayaan/jual beli salam.[5]
C.
Syarat dan rukun Salam
1.
Rukun Salam
a.
Muslam (pembeli). Pembeli harus cakap hukum dan
tidak ingkar janji atas transaksi yang telah disepakati.
b.
Muslam ilaih (penjual). Merupakan pihak yang
menyediakan barang. Penjual disyaratkan harus cakap hukum dan tidak boleh
ingkar janji.
c.
Modal atau uang. Harga disepakati pada saat awal
akad antara pembeli dan penjual, dan pembayarannya dilakukan pada saat awal
kontrak. Harga barang harus jelas ditulis dalam kontrak, serta tidak boleh
berubah selama masa akad.
d.
Muslam fiihi (barang). Hasil produksi merupakan
objek barang yang akan di serahkan pada saat akhir kontrak oleh penjual sesuai
dengan spesifikasi yang telah ditetapkan dalam akad.
e.
Sighat (ucapan). Merupakan serah terima (baik serah
terima pembayaran dan serah terima barang).[6]
2.
Syarat Salam
a.
Muslam (pembeli/pemesan) dan muslam ilaih
(penjual/penerima pesanan).
1)
Harus cakap hukum.
2)
Tidak dalam keadaan dipaksa atau terpaksa.
3)
Baligh
b.
Modal
transaksi ba’i as-Salam
Syarat-syarat
yang harus dipenuhi dalam modal ba’i as-salam adalah sebagai berikut:
1)
Modal harus diketahui.
Barang yang akan disuplai harus diketahui jenis,
kualitas, dan jumlahnya. Hukum awal mengenai pembayaran adalah bahwa ia harus
dalam bentuk uang tunai.
2)
Penerimaan pembayaran salam.
Kebanyakan ulama mengharuskan pembayaran salam
dilakukan di tempat kontrak. Hal tersebut dimaksudkan agar pembayaran yang
diberikan oleh al-muslam (pembeli) tidak dijadikan sebagai utang
penjual. Lebih khusus lagi, pembayaran salam tidak bisa dalam bentuk pembebasan
utang yang harus dibayar dari muslam ilaih (penjual). Hal ini adalah
untuk mencegah praktik riba melaui mekanisme salam.
c.
Al-Muslam Fiihi (barang)
Di antara syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam al-muslam
fiihi atau barang yang ditransaksikan dalam ba’i as-salam adalah
sebagai berikut :
1)
Harus bisa diidentifikasi secara jelas untuk
mengurangi kesalahan akibat kurangnya pengetahuan tentang macam barang tersebut
(misalnya beras atau kain), tentang klasifikasi kualitas (misalnya kualitas
utama, kelas dua, atau eks ekspor), serta mengenai jumlahnya.
2)
Penyerahan barang dilakukan di kemudian hari.
3)
Kebanyakan ulama mensyaratkan penyerahan barang
harus ditunda pada suatu waktu kemudian, tetapi mazhab Syafi’i membolehkan penyerahan
segera.
4)
Bolehnya menentukan tanggal waktu di masa yang akan
datang untuk penyerahan barang.
5)
Tempat penyerahan. Pihak-pihak yang berkontrak harus
menunjuk tempat yang disepakti dimana barang harus diserahkan. Jika kedua pihak
yang berkontrak tidak menentukan tempat pengiriman, barang harus dikirim ke
tempat yang menjadi kebiasaan, misalnya gudang si penjual atau bagian pembelian
si pembeli.
6)
Penggantian muslam fiihi dengan barang lain.
Para ulama melarang penggantian muslam fiihi dengan barang lainnya.
Penukaran atau penggantian barang as-salam ini tidak diperkenankan,
karena meskipun belum diserahkan, barang tersebut tidak lagi milik si muslam
alaih, tetapi sudah menjadi milik muslam (fidz-dzimmah). Bila
barang tersebut diganti dengan barang yang memiliki spesifikasi dan kualitas
yang sama, meskipun sumbernya berbeda, para ulama membolehkannya. Hal demikian
tidak dianggap sebagai jual beli, melainkan penyerahan unit yang lain untuk
barang yang sama.[7]
D.
Skema Salam

Keterangan
:
1.
Muslam
(pembeli) memesan barang dengan spesifikasi tertentu.
2.
Penjual
(muslam ilaih) dan muslam (pembeli) melakukan akad salam dan bernegoisasi
mengenai harga.
3.
Muslam
(pembeli) menyerahkan dana ke penjual (muslam ilaih) sebagai modal salam atau
pembayaran di awal.
4.
Muslam
ilaih (penjual) memproduksi barang sesuai pesanan (suplier)
5.
Muslam
ilaih mengirimkan barang pesanan sesuai spesifikasi ke muslam (pembeli).
E.
Aplikasi dalam
Lembaga Keuangan Syariah
Dalam dunia perbankan
Syariah, salam merupakan suatu akad jual beli layaknya murabahah. Perbedaannya
mendasar hanya terletak pada pembayaran serta penyerahan objek yang diperjual
belikan. Dalam akad salam, pembeli wajib menyerahkan uang muka atas objek yang
dibelinya, lalu barang diserah terimakan dalam kurun waktu tertentu. Salam
dapat diaplikasikan seabagi bagian dari pembiayaan yang dapat diberikan oleh
bank kepada nasabah debitur yang membutuhkan modal guna menjalankan usahanya,
sedangkan bank dapat memperoleh hasil dari usaha nasabah lalu menjualnya kepada
yang berkepentingan. Ini lebih dikenal dengan salam pararel.
Di perbankan syariah, jual
beli salam lazim ditetapkan pada pembelian alat-alat pertanian, barang
industri, dan kebutuhan rumah tangga. Nasabah yang memerlukan biaya untuk
memproduksi barang-barang industri bisa mengajukan permohonan pembiayaan ke
bank syariah dengan skim jual beli salam. Bank dalam hal ini berposisi sebagai
pemesan (pembeli) barang yang akan diproduksi oleh nasabah. Untuk itu bank
membayar harganya secara kontan. Pada waktu yang ditentukan, nasabah
menyerahkan barang pesanan tersebut kepada. Berikutnya bank bisa menunjuk
nasabah tersebut sebagai wakilnya untuk menjual barang tersebut pada pihak
ketiga secara tunai. Bank bisa juga menjual kembali barang itu kepada nasabah
yang memproduksinya secara tangguh dengan mengambil keuntungan tertentu.
Aplikasi akad salam dalam bank, bank bertindak
sebagai pembeli, sementara nasabah sebagai penjual. Ketika barang telah
diserahkan kepada bank, maka bank akan menjualnya kepada rekanan nasabah atau
kepada nasabah itu sendiri secara tunai maupun cicilan. Harga beli bank adalah
harga pokok ditambah keuntungan.
Pembiayaan ini pada
umumnya dilakukan dalam pembiayaan barang yang belum ada, seperti pembelian
komoditas pertanian. Sekilas pembiayaan ini mirip dengan ijon, namun dalam
transaksi ini baik kualitas, kuantitas, harga, waktu penyerahan barang harus
ditentukan secara jelas dan pasti.
Bay' al salam biasanya dipergunakan pada pembiayaan bagi petani dengan
jangka waktu yang relatif pendek, yaitu 2-6 bulan. Karena yang dibeli oleh bank
adalah barang seperti padi, jagung, dan cabai dan bank tidak berniat untuk
menjadikan barang barang tersebut sebagai simpanan atau inventory, maka
dilakukan akad bay' al salam kedua, misalnya kepada Bulog, pedagang
pasar induk, dan grosir. Inilah yang dalam perbankan Islam dikenal sebagai
salam pararel.
Sejauh ini, skim
pembiayaan salam masih belum banyak disentuh khususnya oleh perbankan syariah.
Produk yang ditawarkan masih berkisar pada musyarakah, mudharabah, murabahah,
dan ijarah. Prosentasi dari pembiayaan istisna' pun masih sedikit dibandingkan
jenis pembiayaan di perbankan syariah lainnya. Pembiayaan salam pun jelas tidak
pernah lagi digunakan mulai tahun 2003 hingga sekarang sebagaimana
dipublikasikan dalam statistik perbankan syariah.
Perlu diamati bahwa salah
satu strategi pengembangan perbankan syariah adalah dengan melakukan inovasi
produk, baik pembiayaan maupun pendanaan sehingga produk perbankan syariah
tidak terkesan monoton dan menarik. Dari sini kemudian perlu langkah langkah
solutif guna menjawab permasalahan itu. Pihak perbankan syariah pun mesti
bertindak tanggap menghadapi kebutuhan masyarakat, sebab jika tidak maka bank
syariah hanya akan terasing dibawah nama besar syariahnya.[8]
Berikut ada beberapa
perbedaan Salam dengan Istishna, yaitu :
1.
Objek
transaksi dalam salam merupakan tanggungan dengan spesifikasi kualitas ataupun
kualitas, sedangkan istishna berupa zat/barangnya.
2.
Dalam
kontrak salam adanya jangka waktu tertentu untuk menyerahkan barang pesanan,
hal ini tidak berlaku dalam akad istishna.
3.
Kontrak
salam bersifat mengikat (lazim), sedangkan istishna tidak bersifat mengikat
(ghairu lazim).
4.
Dalam
kontrak salam persyaratan untuk menyerahkan modal atau pembayaran saat kontrak
dilakukan dalam majelis kontrak, sedangkan dalam istishna dapat dibayar di
muka, cicilan atau waktu mendatang sesuai dengan kesepakatan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Jadi, Salam
berasal dari kata As-Salaf, yang artinya pendahuluan, pesanan atatu jual beli
dengan melakukan pesanan terlebih dahulu. Sedangkan menurut istilah, Salam
adalah akad pemesanan suatu barang dengan kriteria yang telah disepakati dan
dengan pembayaran tunai pada saat akad
berlangsung dan barang datang di kemudian hari.
Landasan
akad salam terdapat dalam Al-Qur’an, Hadist dan Ijma’. Rukun
Salam yaitu :
1.
Muslam
(pembeli). Pembeli harus cakap hukum dan tidak ingkar janji atas transaksi yang
telah disepakati.
2.
Muslam
ilaih (penjual). Merupakan pihak yang menyediakan barang. Penjual disyaratkan
harus cakap hukum dan tidak boleh ingkar janji.
3.
Modal
atau uang. Harga disepakati pada saat awal akad antara pembeli dan penjual, dan
pembayarannya dilakukan pada saat awal kontrak. Harga barang harus jelas
ditulis dalam kontrak, serta tidak boleh berubah selama masa akad.
4.
Muslam
fiihi (barang). Hasil produksi merupakan objek barang yang akan di serahkan
pada saat akhir kontrak oleh penjual sesuai dengan spesifikasi yang telah
ditetapkan dalam akad.
5.
Sighat
(ucapan). Merupakan serah terima (baik serah terima pembayaran dan serah terima
barang).
B.
Saran
Demikianlah makalah yang dapat kami susun. Semoga dapat
bermanfaat bagi kita semua, kami menyadari bahwa makalah ini bukanlah proses
akhir, tetapi merupakan langkah awal yang masih banyak memerlukan perbaikan.
Oleh karena itu kami sangat mengharapkan tanggapan, saran dan kritik yang
membangun demi sempurnanya makalah kami yang selanjutnya. Dan semoga kita bisa
bersama-sama mempelajari materi ini dan selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Antonio, Muhammad
Syafi’i.Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik.Jakarta:Gema
Insani.2016.
Ismail.Perbankan Syariah.Jakarta:Prenamedia
Group.2011.
Ascarya.Akad Dan Produk Bank
Syariah.Jakarta:Raja Grafindo Persada.2012.
Nurhayati, Sri. Akuntansi Syariah
Di Indonesia.Jakarta:Salemba Empat.2013.
Qusthoniah. Analisis Kritis Akad Salam Di Perbankan
Syariah.Jurnal Syariah.Vol
5 No 1.2016.
Mizan. Akad Salam Dalam Transaksi Jual Beli. Jurnal
Ilmu Syariah. Vol 4 No 1.
2016.
[8] Qusthoniah,Analisis Kritis Akad
Salam Di Perbankan Syariah,Universitas Islam Indragiri, Jurnal Syariah Vol
5 No 1,April 2016,102-103.