Wednesday, March 18, 2020

MAKALAH MADZHAB ILMU HUKUM



KATA PENGANTAR.............................................................................................
DAFTAR ISI............................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang............................................................................................
B.     Rumusan Masalah.......................................................................................
C.     Tujuan.........................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
A.    Madzhab Analitis………………………………………………………
B.     Madzhab Historis………………………………………………………
C.     Hukum Progresif……………………………………………………….
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan..............................................................................................
B.     Saran........................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah mencurahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah mata kuliah pengantar ilmu hukum.
Makalah yang berjudul madzab ilmu hukum ini merupakan aplikasi dari kami, selain untuk memenuhi tugas mata kuliah tersebut juga untuk memberikan pengetahuan tentang ilmu-ilmu dan aliran-aliran dalam hukum sehingga diharapkan dapat bermanfaat dalam menambah pengetahuan kita tentang hukum.
Kami mengucapkan terimakasih kepada dosen pengajar mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum karena dengan tugas inilah kami mendapatkan banyak ilmu yang bermanfaat didunia dan akhirat kelak.
Dalam makalah ini kami menyadari masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu segala kritik dan saran guna perbaikan dan kesempurnaan sangat kami nantikan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan kami sebagai penulis pada khususnya. Atas segala perhatiannya kami mengucapkan banyak terima kasih. 

Bangkalan, 22 November 2017


                                                                                                                                Penulis

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Ilmu hukum adalah ilmu yang mempelajari peraturan-peraturan yang ditunjukkan pada masyarakat untuk mengkaji layak atau tidaknya hukum tersebut dalam lingkungan. Membahas mengenai ilmu hukum, pasti kita akan terbesit beberapa madzhab atau perbedaan yang berkembang mengenai hukum itu sendiri.
Pemikiran tentang hukum telah muncul sejak zaman kerajaan yunani kuno dan zaman kerajaan Romawi beberapa adab yang lalu. Bangsa Yunani memberikan pemikiran besar terhadap hukum hingga keakar filsafatnya. Sedangkan bangsa Romawi cenderung memberikan konsep-konsep dan teknik yang berhubungan degan hukum positif.
Disini kami akan sedikit mengulas tentang madzhab atau yang dikenal dalam ilmu hukum. Makalah ini juga akan membahas tentang perbedaan-perbedaan hukum itu. Selanjutnya, dari beberapa perbedaan itu timbul suatu aliran- aliran yang dianut ileh beberapa orang ahli untuk mengatur suatu masyarakat sesuai dengan kebutuhan masyarakat itu sendiri, Sehingga terciptalah suatu keadilan hukum.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini sebagai berikut;
1.      Apakah yang dimaksud Madzhab analistis dan bagaimana pembagiannya?
2.      Bagaimanakah penjelasan Madzhab historis dan bagaimana perkembanganya?
3.      Apa dan bagaimana penegakkan Hukum progresif?


C. Tujuan
1. Agar pembaca dapat mengetahui dan memahami apa itu madzab analitis.
2. Agar pembaca dapat mengetahui apa itu madzab historis dan perkembangannya.
3. Agar  pembaca dapat memahami tentang hukum progresif dan bagaimana penegakkannya.

      BAB II
PEMBAHASAN
A.   Madzhab Analitis.
        Jhon Austin memandang bahwa di era modern ini yang menjadi sumber hkum yang sah adalah yang berasal dari pihak yang memiliki kekua saan tertinggi di suatu negara. Sementara keberadaan dari sumber-sumber lain tidaklah begitu memiliki kekuatan secara hukum. Sumber hukum yang dimaksud aliran hukum positif adalah produk dari pihak-pihak yang berdaulat dalam suatu negara untuk pembentukan hukum. Hukum yang telah diteteokan olehn otoritas yang berdaulat tersebut pada saat diberlakukan haruslah ditaati tanpa syarat Sekalipun dirasakannya tidak adil.[1]
John Austine telah membagi hukum  dalam duta kategori, yakni:                                     1. Hukum dalam arti yang sebenarnya (laws properly so called)                                       2. Hukum dalam arti yang tidak sebenarnya (laws improperly so called).
Terhadap hukum dalam arti yang sebenarnya. Austin memandangnya menjadi dua bentuk hukum, yaitu:                                                                                                                          1. Hukum yang dibuat oleh Tuhan (law set by God to his human creatures)                          2. Hukum yang dibuat oleh manusia untuk manusia (laws set by men to men)
Selanjutmya untuk hukum yang dibuat oleh manusia untuk manusia, Austin membaginya lagi menjadi:                                                                                                           1. Hukum positif, yaitu hukum yang dibentuk oleh manusia yang disebut sebagai pengusa, cotohnya peraturan  perundang-undangan.                                                                             2. Bukan hukum positif, yaitu hukum yang dibentuk oleh manusia yang bukan penguasa atau hukum dengan suatu aturan-aturan kebiasaan yang tidak tertulis pada suatu situasi atau lingkungan tertentu (laws of fashion/laws of honours), contohnya hukum adat.
Menurut John Austin. Hukum adalah perintah, yang merupakan suatu produk dari kekuatan politik yang lebih kuat untuk suatu kekuatan politik yang lebih lemah yang dilengkapi dengan sanksi bagi yang melanggarnya. Perintah itu haruslah berasal dari pihak yang memang mempunyai kekuatan  atau kekuasaan untuk menggeluarkan perintah tersebut yang disebut dengan kedaulatan. Selanjutnya, hukum dalam pengertiannya, adalah juga suatu aturan yang diberlakukan untuk memberi arahan yang mengandung kewajiban.                          Dari penjelasan itu , maka aliran hukum positif analitis telah membakukan bahwa hukum yang sebenarnya adalah hukum yang memiliki empat unsur, yaitu 1) perintah (command), 2) sanksi(sanction), 3) kewajiban (duty), 4) kadaulatan (souverignity).[2]
B.   Madzab Sejarah
Madzab ini diperkenalkan kepada peradaban hukum oleh Friedrich Carln Von Savigny, Puchta, dan Sir Henry Maine. Bagi Savigny berpendapat hukum itu pada hakikatnya adalah semangat dari suatu bangsa. Adapunyang menjadi benang filosofos dari madzhab ini adalah sebagai berikut:
·         Hukum itu lahir dari hukum kebiasaan (custom). Hukum kebiasaan bagi Savigny, merupakan salah satu manifestasi dari hukum positif. Hukum adat, menurutnya menjadi simbol atau penanda dari adanya hukum positif yang diakui oleh masyarakat.
·         Hukum itu ditemukan, bukan dibuat. Mengapa demikian, karena hukum itu berasal dari naluri suatu bangsa tentang apa yang dianggap benar (righ) dan proses pertumbuhan hukum terhadap apa yang dianggap benar itu tidak disadari, maka suatu legislasi akan menghilangkan arti yang vital dari suatu hukum kebiasaan (custom).
·         Hukum itu berasal dari perasaan rakyat (pupular feeling), yaitu oleh suatu kekutan yang bekerja secara diam-diam (silently operating foreces) hukum bukanlah sesuatu yang dapat diciptakan secara sewenang-wenang dan terencana oleh pembuat hukum. Hukum adalah hasil proses yang bersifat internal dan otonam serta diam-diam (silently operating) dalam diri masyarakat. Proses ini berakar dalam sebuah bangsa dengan dasar kepercayaan dan keyakinan bangsa yang bersangkutan serta kesadaran komunal bangsa tersebut. Hukum layaknya seperti bahasa yang tumbuh dan berkembang dalam relasi kebangsaan dan menjadi milik bersama dan juga kesadaran bersama.
·         Hukum itu merupakan produk dari  bangsa yang genius. Sebagaimana bahasa, ia terbentuk secara perlahan-lahan dan menjelma karakteristik suatu rakyat (bangsa). Ia berkembang dengan tumbuhnya suatu bangsa dan mati dengan hapusnya kepribadian suatu rakyat (bangsa). Savigny mendefinisikan rakyat (bangsa) sebagai sebuah kesatuan individu yang beranekaragam (kepentingan, kebutuhan, cita-cita, dan lain-lainnya) hidup dalam keteraturan.
·         Hukum itu hadir sebagai ekspresi jiwa suatu bangsa (volkgeist) tentang apa yang dianggapnya benar dan adil. Jiwa suatu bangsa itu berbeda-beda bagi setiap bangsa. Jiwa bangsa itu berbeda-beda pula dalam perjalanan waktu. Pencerminan adanya jiwa yang berbeda-beda ini dapat dilihat dari budaya tiap bangsa yang berbeda-beda pula.
·         Hukum itu tidak bisa berlaku umum dan tidak statis. Hukum hanya bisa diterapkan bagi bangsa tempat ia dibuatdan hukum itu merupakan subjek pada setiap kemajuan dan setiap perkembangan sebagaimana hal-hal lain yang tercermin dari kehidupan suatu bangsa.
·         Ahli hukum sebagai medium perkembangan hukum lebih baik dari pembuat undang- undang.[3]
Sementara terhadap ilmu hukum itu sendiri, Savigny telah mengurutkannya kepada tiga tahapan, yakni: pada masa permulaan, hukum berada pada suatu nuansa dan masa yang bersahaja dan tidak mengambang, tanpa pengertian yang mujarab (abstrak), tetapi dengan bentuk, lambang dan pernyataan perasaan yang jelas. Selanjutnya bentuk hukum itu berkembang dari milik umum menjadi milik suatu golongan dan dalam waktu berikutnya menjadi masak karena hukum tumbuh menjadi pengertian yang jelas. Terakhir, pada tingkatan usia lanjut, hukum berubah menjadi suatu hal yang terikat pada bentuk yang tidak ada artinya. Orang tidak lagi memperhatiakn isi undang-undang yang sekarang menjadi mujarab dan diperlakukan sebagai perkakas. Kekuatan membentuk hukum terletak pada rakyat yang memiliki ikatan rohani, ia adalah bangsa, suatu kesatuan jiwa, suatu kesatuan yang tumbuh dalam berjalannya sejarah karena adat, bahasa, susunan masyarakat dan kebiasaan.[4]
Lain halnya dengan Sir Henry Maine yang melihat perkembangan hukum tersebut kedalam lima tahap perkembangan, yakni sebagai berikut:
1.      Tahap pertama, hukum dibuat dalam budaya yang sedemikian patriarkis, dan mendasarkan dirinya pada perintah personal sang peguasa. Legitimasinya adalah perintah yang suci, inspirasi dan yang tertinggi.
2.      Tahap kedua, adalah masa dimana hukum dimonopoli oleh sekelompok arstokrat dan sekelompok elit masyarakat yang memiliki privilege tertentu (hak istimewa), Maine menyebutnya sebagai costumary law (hukum adat, hukum kebiasaan).
3.      Tahap ketiga, adalah tahap ketika hukum-hukum yang ada coba dimodifikasi karena konflik yang terjadi diantara beberapa masyarakat pendukung hukum adat yang bersangkutan.
4.      Tahap keempat, adalah tahap dimana hukum adat mulai ingin dikontekstualisasikan dengan kondisi masyarakat dan kondisi zaman yang mulai maju dan berkembang. Hukum tradisional, dalam hal ini hukum adat atau hukum kebiasaan, muali ingin dimodernisasi dengan pertolongan fiksi hukum, prinsip kesamaan (equality before the law) dan adanya lembaga-lembaga legislasi. Yang dituju adalah keharmonisan aturan hukum dengan relasi-relasi sosial dan kebutuhan masyarakat yang semakin berkembang.
5.      Tahap kelima, adalah tahap dimana ilmu hukum atau jurisprudence memegang peranan yang besar untuk membentuk hukum. Hukum yang terbentuk semakin sistematis dan konsisten, juga ilmiah karena ilmu hukum menjadi metodelogi untuk membentuk hukum.[5]
         Dapat disimpulkan bahwa yang dikehendakioleh roh dalam madzab sejarah dalam pembentukan ataupun pelaksanaan hukum itu adalah kesesuaian dengan jiwa dari suatu bangsa (volkgeist).
           Aliran sejarah dapat dimasukkan kedalam pemikiran yang mendahului sosiologi hukum, oleh karena penolakannnya terhadap nasionalisasi hukum . di abad kedelapan belas analisis rasional terhadap hukum tampil dengan sangat kuat, demikian pula dengan pengikatan kepada asas-asas dalam hukum.
                               Gabungan antara aliran sejarah dan sosiologi hukum dapat melahirkan cara berfikir deduktif yang mengabaikan kenyataan sejarah dengan kekhususan yang ada pada bangsa-bangsa. Analisis hukum yang demikian itu mengabaikan lingkungan sosial hukum. Secara umum diatas telah dibahas tentang aliran sejarah. Beberapa prinsip dalam aliran ini yang mencerminkan keterkaitan antara hukum dan basis sosialnya adalah (Friedmann,1953:136-137):
1.      Hukum merupakan proses yang tidak disadari dan organik. Hukum tidak dapat dilihat sebagai institusi yang berdiri sendiri, melainkan semata-mata suatu proses dan perilaku masyarakat sendiri. Hanya kitalah yang melihat hukum sebagai suatu institusi yang terpisah dengan semua atribut dan konsep otonominya. Apa yang sekarang disebut sebagai hukum adalah keputusan arbitrer yang dibuat oleh badan legislatif.
2.      Hukum itu tumbuh dari hubungan-hubungan hukum yang sederhana pada masyarakat primitif sampai menjadi hukum yang besar dan kompleks dalam peradaban modern. Kendati demikian, perundang-undangan dan para ahli hukum hanya merumusakn hukum secara teknis dan tetap merupakan alat dari kesadaran masyarakat (populer consciousness).
3.      Hukum itu tidak mempunyai keberlakuan dan penerapan yang universal. Setiap bangsa memiliki habitat hukumnya, seperti mereka memiliki bahasa dan adatnya. volksgeist (jiwa dari rakyat) itu akan tampil sendiri dalam hukum suatu bangsa.
        Seperti dikatakan diatas , pengkajian yang menolak untuk melihat hukum berdasarkan peraturan, tetapi lebih melihatnya sebagai berdasarkan masyarakat sebagaimana dianut oleh aliran sejarah. [6]

C.   Teori Hukum Progresif  (Satjipto Raharjo)
Gagasan hukum Progresif muncul karena keprihatinan terhadap keadaan hukum di Indonesia. Terbukti tidak kunjung mewujudkan suatu kehidupan hukum yang lebih baik. Masuk ke apa yang disebut sebagai Era Reformasi sejak tumbuhnya Orde Baru pada tahun 1998, Bangsa Indonesia belum berhasil mengangkat hukum sampai kepada taraf mendekati keadaaan ideal, tetapi  malah makin menimbulkan kekecewaan, khususnya berhubungan dengan pemberantasan korupsi. Inti dari kemunduran tersebut adalah kejujuran, empati dan dedikasi dalam menjalankan hukum menjadi suatu yang makin langka dan mahal.
Dari perenungan terhadap hal dan  kejadian tersebut, diajukanlah suatu gagasan  untuk memilih cara yang lebih progresif. Hal tersebut dirumuskan kedalam gagasan dan tipe hukum yang progresif atau hukum progresif. Melalui gagasan ini ingin dicari cara untuk mengatasi keterpurukan hukum di Indonesia secara lebih bermakna ( significant). Bermakna yang dimaksud, dalam arti perubahan secara lebih cepat, melakukan pembalikan yang mendasar, melakukan pembebasan, terobosan dan lain-lain. Disini ingin dilakukan penjelajahan terhadap gagasan hukum progresif, dimulai dari pikiran, filsafat serta pandangan (outlook) yang mendasarinya.
Asumsi dasar yang ingin diajukan oleh hukum progresif  adalah mengenai pandangan tentang pandangan tentang hubungan antara hukum dan manusia, ingin ditegaskan prinsip “hukum adalah untuk manusia” bukan sebaliknya “manusia adalah untuk hukum” berkaitan dengan hal tersebut , maka hukum tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan besar. Maka setiap kali ada masalah dalam dan dengan hukum, hukumlah yang ditinjau dan diperbaiki serta bukan manusia yang dipaksa untuk masuk kedalam skema hukum.[7]
                 Pandangan Satjibto Raharjo tentag teori hukum Progresif merupakan suatu penjelajahan suatu gagasan yang berintikan 9 (sembilan)  pokok pikiran sebagai berikut:
1.      Hukum menolak tradisi analytical Jurisprudence atau rechdogmatiek dan berbagai paham dengan aliran seperti legal realism, freirechtslehre, socialical jurisprudence, interressenjurisprudenz di jerman, teori hukum alam dan critical legal studies.
2.      Hukum menolak pendapat bahwa ketertiban (order) hanya bekerja melalui institusi-institusi kenegaraan.
3.      Hukum progresif ditunjukan untuk melindungi rakyat menuju kepada ideal hukum.
4.      Hukum menolak status-quo serta tidak ingin menjadikan hukum sebagai teknologi yang tidak bernurani, melainkansuatu institusi yang bermoral
5.      Hukum adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia.
6.      Hukum progresif adalah “hukum yang pro rakyat” dan “hukum yang pro keadilan”
7.      Asumsi dasar hukum progresif adalah bahwa “hukum adalah untuk manusia”, bukan sebaliknya. Berkaitan dengan hal tersebut, maka hukum tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan lebih besar. Maka setiap kali ada masalah dalam atau dengan hukum, hukumlah yang ditinjau dan diperbaiki, bukan manusia yang dipaksa masuk dalam sistem hukum.
8.      Hukum bukan merupakan suatu institusi yang absolut dan final melainkan sangat bergantung pada bagaimana manusia melihat dan menggunakannya. Manusialah yang merupakan penentu.
9.      Hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi (law as a proces, law in the making).[8]
Menurut Satjipto, hukum progresif adalah  hukum yang bisa mengikuti perkembangan zaman dan mampu menjawab perubahan zaman dengan segala dasar-dasar yang ada didalamnya. Perubahan-perubahantersebut berkaitan erat dengan basis habitat dari hukum itu sendiri. Seperti pada abad ke-19, negara modern muncul dan menjadi basis fisik-teritorial yang menentukan hukum. Konsep-konsep, prinsip, dan doktrin  pun harus ditinjau kembali dan diperbarui. Melihat kondisi yang selalu berubah, maka garis depan (frontier) ilmu hukum juga senantiasa berubah. Ilmu hukum menjadi berkualitas sebagai “Ilmu yang senantiasa mengalami pembentukan” (legal science is always in the making). Sehingga manfaat kehadiran hukum dalam masyarakat lebih meningkat.
Gagasan hukum progresif sejatinya menawarkan tahapan-tahaoan evolusi sistem hukum dalam kaitannya terhadap penertiban kondisi sosial bernegara. Dengan demikian pendekatan hukum progresif diharapkan bisa membantu memecahkan persoalan-persoalan bangsa yang kini semakin kompleks. Penulis juga mengemukakan bahwa hukum progresif juga melahirkan kompetensi kelembagaan yang besar dalam upaya mencapai keadilan. Namun, penulis sekali lagi tidak mengklaim bahwa hukum progresif adalah pilihan terbaik dari sebuah sistem hukum, inovasi-inovasi dari para ahli hukum masih sangat dibutuhkan sebagai penyempurnaan terhadap sistem yang ada dan perbaikan atas kondisi hukum di Indonesia saat ini.
Agenda besar gagasan hukum progresif adalah menempatkan manusia sebagai sentralitas utama dari seluruh perbincangan mengenai hukum. Dengan kebijaksaan hukum progresif mengajak untuk memperhatiakan faktor perilaku manusia. Oleh karena itu, hukum progresif menempatkan perpaduan antara faktor peraturan dan perilaku penegak hukum didalam masyarakat. Disinilah arti penting pemahaman gagasan hukum progresif, bahwa konsep “hukum terbaik”  mesti diletakkan dalam konteks keterpaduan yang bersifat utuh (holistik)  dalam memahami problem-problem kemanusiaan. Dengan demikian , gagasan hukum progresif tidak semata-mata hanya memahami sistem hukum pada sifat yang dogmatik, selain itu juga aspek perilaku sosial pada sifat yang empirik. Sehingga diharapkan  melihat problem  kemanusiaan secara utuh berorientasi keadilan substantif.
Dalam konteks yang demikian itu, hukum akan tampak selalu bergerak, berubah, mengikuti dinamika kehidupan manusia. Akibatnya hal ini akan mepengaruhi pada cara berhukum, yang tidak akan sekedar terjebak dalam ritme “kepastian hukum”, status quo dan hukum sebagai skema yang final, melainkan suatu kehidupan hukum yang selalu mengalir dan dinamis baik itu melalui perubahan undang maupun pada kultur hukumnya. Pada saat kita menerimasebagai sebuah skema yang final, maka hukum tidak lagi tampil sebagai solusi bagi persoalan kemanusiaan, melainkan manusia lah yang dipaksa untuk memenuhi kepentingan kepastian hukum.[9]
Hukum progresif melihat dunia dan hukum dengan pandangan yang mengalir saja, seperti Panta Rei (semua mengalir) dari filsuf  Heraklitos. Apabila orang berkeyakinan dan bersifat seperti itu, maka ia akan membangun suatu cara berhukum yang memiliki karakteristiknya sendiri, sebagaimana diuraikan dibawah ini.
Pertama, paragdima dalam hukum progresif adalah bahwa” hukum adalah untuk manusia”. Pegangan, optik atau keyakinan dasar ini tidak melihat hukum sebagai suatu yang sentral dalam berhukum, melainkan manusialah yang berada di titik pusat perputaran hukum, hukum itu berputar disekitar manusia sebagai pusatnya . Hukum ada untuk manusia, bukan manusia untuk hukum . apabila kita berpegang pada keyakinan, bahwa manusia itu adalah untuk hukum, maka manusia itu akan selalu diusahakan, mungkin juga dipaksakan, untuk bisa masuk pada skema-skema yang telah dibuat oleh hukum.[10]
Kedua, hukum progresif menolak untuk mempertahankan keadaan status quo dalam berhukum . mepertahankan setatus quo memberikan efek yang sama, seperti pada waktu orang berpendapat bahwa hukum adalah tolak ukur untuk semuanya, dan manusia adalah untuk hukum. Cara hukum yang demikian itu sejalan dengan cara positivistic, normative, dan legalistic. Sekali undang-undang mengatakan atau merumuskan seperti itu, kita tidak  bisa berbuat banyak, kecuali hukumnya diubah dulu.  Ada hal lain yang berhubungan dengan penolkan setatus quo tersebut, yaitu berkaitan dengan perumusan-perumusan masalah kedalam perundang-undangan. Substansi undang-undang itu berangkat dari gagasan tertentu dalam masyarakat yang kemudian bergulir masuk kelembaga atau bedan legislatif. Dalam lembaga inilah suatu gagasan itu kemudian dirumuskan dalam kata serta kalimat dan akhirnya menjadi undang-undang.
               Bahasa sebagai alat untuk menyampaikan pesan gagasan banyak mengandung keterbatasan, itulah sebabnya peraturan itu masih membutuhkan komponen yang disebut penjelasan, sesungguhnya, semua teks tertulis itu membutuhkan penafsiran, bukan hanya pasal-pasal yang diberi penjelasan oleh undang-undang. Maka itu kelirulah mengatakan undang-undang atau hukum itu sudah jelas. Oleh kaena itu kepastian hukum adalah hal yang tidak sederhana, karena teks undang-undang yang secara eksplisit mengatakan tidak boleh ditambah dan dikurangi pun masih bisa diberi makna lain.   
Ketiga, apabila diakui bahwa peradaban hukum tertulis akan memunculkan sekalian akibat atau resiko, maka cra kita berhukum  sebaiknya juga mengantisipasi tentang bagaimana mengatasi hambatan-hambatan dalam menggunakan hukum tertulis tersebut, secara ekstrim kita tidak tidak dapat menyerahkan masyarakat untuk sepenuhnya tunduk kepada hukumtertulis tersebut. Menyerah bulat-bulat seperti itu sama dengan membiarkan diri kita diatur oleh teks formal tertulis yang belum tentu benar-benar berisi gagasan asli yang ingin dituangkan kedalam teks tersebut dan yang memiki resiko bersifat kriminogen.
Dictum Renner menegaskan, bahwa hukum itu tidak berjalan mengikuti logika saja, tetapi juga unsur atau pertimbangan kemanfaatan social (reasonableness). Andaikata tidak digunakan pertimbangan terakhir, maka hukum akan berhenti dan uruh tidak akan mendapatkan perlindungan.
Keempat, hukum progresif memberikan perhatian besar terhadap peranan  perilaku manusia terhadap hukum, ini bertentangan diametral dengan paham, bahwa hukum itu hanya urusan peraturan. Peranan manusia disini merupakan konsekuensi terhadap pengakua, bahwa sebaiknya kita tidak berpeganga mutlak kepada teks formal suatu peraturan.
Hukum progresif melihat, mengamati dan ingin menemukan cara berhukum yang mampu memberi  jalan dan panduan bagi seperti kenyataan seperti tersebut diatas.  Pengamatan dan pengalaman terhadap peta perjalanan dan kehidupan hukum yang demikian itu menghasilkan keyakinan, bahwa hukum itu sebaiknya bisa membiarkan semuanya mengalir secara alami saja. Hal tersebut bisa tercapai, apabila setiap kali hukum bisa melakukan pembebasan terhadap sekat dan penghalang yang menyebabkan hukum menjadi mandek, tidak lagi mengalir. Tidak lagi mengalir berarti kehidupan dan manusia tidak memperoleh pelayanan ynag baik dari hukum. Berkali-kali dikatakan dalam buku ini, bahwa hukum tidak ada untuk dirinya sendiri, tetapi untuk manusia.
Akhirnnya dapat dikemukaan, bahwa hukum progresif adalah cara berhukum yang selalu gelisah  untuk membangun diri, sehingga berkualitas untuk melayani dan membawa rakyat kepada kesejahteraan dan kebahgiaan. Ideal tersebut dilakukan dengan aktifitas yang berkesinambungan antara merobohkan hukum, yang mengganjaldan menghambat perkembangan( to arrest development) untuk membangun yang lebih baik.
Kalau boleh diringkas, hukum progresif itu sesungguhnya sederhana, yaitu melakukan pembebasan, baik dalam cara berfikir maupun bertindak dalam hukum, sehingga mampu membiarkan hukum itu mengalir saja untuk menuntaskan tugasnya mengabdi pada manusia dan kemanusiaan. [11]


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Hukum adalah perintah, yang merupakan suatu produk dari kekuatan politik yang lebih kuat untuk suatu kekuatan politik yang lebih lemah yang dilengkapi dengan sanksi bagi yang melanggarnya. aliran hukum positif analitis telah membakukan bahwa hukum yang sebenarnya adalah hukum yang memiliki empat unsur, yaitu 1) perintah (command), 2) sanksi(sanction), 3) kewajiban (duty), 4) kadaulatan (souverignity).
2.      Dapat disimpulkan bahwa yang dikehendakioleh roh dalam madzab sejarah dalam pembentukan ataupun pelaksanaan hukum itu adalah kesesuaian dengan jiwa dari suatu bangsa (volkgeist).
3.      hukum progresif itu sesungguhnya sederhana, yaitu melakukan pembebasan, baik dalam cara berfikir maupun bertindak dalam hukum, sehingga mampu membiarkan hukum itu mengalir saja untuk menuntaskan tugasnya mengabdi pada manusia dan kemanusiaan
B.     Kritik/Saran
Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini banyak sekali kekurangannya. Maka dari itu berharap kepada pemabaca untuk memberikan masukan maupun sangahan kepada kami tentang makala yang kami buat
DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H., Ilmu Hukum, (Bandung, PT. Citra Aditya Bakti,2000)

Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H., Penegakan Hukum Progresif , (Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2014)

Erwin, Muhamad dan H. Firman Freaddy Busroh, pengantar ilmu hukum, (Bandung, PT.  Rafika Aditama, 2012)

R.Soeroso, S.H., Sosiologi Hukum, (Jakarta, Sinar Grafika, 2016)



[1]  Muhamad Erwin dan H. Firman Freddy Busroh, Pengantar Ilmu Hukum, cet. Ke-1, (Bandung: PT Pefika     Aditama, 2012), hlm.98.
[2] Muhamad Erwin dan H. Firman Freddy Busroh, Pengantar Ilmu Hukum, cet. Ke-1, (Bandung: PT Pefika Aditama, 2012), hlm.99.
[3] Muhamad Erwin dan H. Firman Freddy Busroh, Pengantar Ilmu Hukum, cet. Ke-1, (Bandung: PT Pefika Aditama, 2012), hlm.101-103
[4] Ibid, hlm. 103.
[5] Muhamad Erwin dan H. Firman Freddy Busroh, Pengantar Ilmu Hukum, cet. Ke-1, (Bandung: PT Pefika Aditama, 2012), hlm. 103-104.
[6] Satjipto Rahardjo , sosiologi hukum (yogyakarta :genta publishing, 2010), hlm 15-16.
[7] Prof.Dr. satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum,(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000) ,hlm 7.
[8] Prof.Dr. satjipto Rahardjo., Ilmu Hukum Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000).,hlm 8.
[9] Prof.Dr. satjipto Rahardjo., Ilmu Hukum,( Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000)
[10] Satjibto rahardjo, penegakan hukum progresif, (Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2014)
[11] Satjibto rahardjo, penegakan hukum progresif, (Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2014)

No comments:

SEJARAH PERADABAN ISLAM PADA AWAL PERMULAAN ISLAM SAMPAI DENGAN KHULAFAURRASYIDIN

                                                                                     BAB I                                            ...