KATA
PENGANTAR.............................................................................................
DAFTAR ISI............................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang............................................................................................
B.
Rumusan Masalah.......................................................................................
C.
Tujuan.........................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
A.
Madzhab
Analitis………………………………………………………
B.
Madzhab
Historis………………………………………………………
C.
Hukum
Progresif……………………………………………………….
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan..............................................................................................
B.
Saran........................................................................................................
DAFTAR
PUSTAKA............................................................................................
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat
Allah SWT yang telah mencurahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah mata kuliah pengantar ilmu hukum.
Makalah yang berjudul madzab ilmu
hukum ini merupakan aplikasi dari kami, selain untuk memenuhi tugas mata kuliah
tersebut juga untuk memberikan pengetahuan tentang ilmu-ilmu dan aliran-aliran
dalam hukum sehingga diharapkan dapat bermanfaat dalam menambah pengetahuan
kita tentang hukum.
Kami mengucapkan terimakasih kepada
dosen pengajar mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum karena dengan tugas inilah kami
mendapatkan banyak ilmu yang bermanfaat didunia dan akhirat kelak.
Dalam makalah ini kami menyadari
masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu segala kritik dan saran guna perbaikan
dan kesempurnaan sangat kami nantikan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca pada umumnya dan kami sebagai penulis pada khususnya. Atas segala
perhatiannya kami mengucapkan banyak terima kasih.
Bangkalan, 22 November 2017
Penulis
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ilmu hukum adalah
ilmu yang mempelajari peraturan-peraturan yang ditunjukkan pada masyarakat
untuk mengkaji layak atau tidaknya hukum tersebut dalam lingkungan. Membahas
mengenai ilmu hukum, pasti kita akan terbesit beberapa madzhab atau perbedaan
yang berkembang mengenai hukum itu sendiri.
Pemikiran tentang
hukum telah muncul sejak zaman kerajaan yunani kuno dan zaman kerajaan Romawi
beberapa adab yang lalu. Bangsa Yunani memberikan pemikiran besar terhadap
hukum hingga keakar filsafatnya. Sedangkan bangsa Romawi cenderung memberikan
konsep-konsep dan teknik yang berhubungan degan hukum positif.
Disini kami akan
sedikit mengulas tentang madzhab atau yang dikenal dalam ilmu hukum. Makalah
ini juga akan membahas tentang perbedaan-perbedaan hukum itu. Selanjutnya, dari
beberapa perbedaan itu timbul suatu aliran- aliran yang dianut ileh beberapa
orang ahli untuk mengatur suatu masyarakat sesuai dengan kebutuhan masyarakat
itu sendiri, Sehingga terciptalah suatu keadilan hukum.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar
belakang diatas, rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini sebagai
berikut;
1.
Apakah yang dimaksud Madzhab analistis dan bagaimana
pembagiannya?
2.
Bagaimanakah penjelasan Madzhab historis dan bagaimana
perkembanganya?
3.
Apa dan bagaimana penegakkan Hukum progresif?
C. Tujuan
1. Agar
pembaca dapat mengetahui dan memahami apa itu madzab analitis.
2. Agar pembaca dapat mengetahui apa itu madzab historis dan
perkembangannya.
3. Agar
pembaca dapat memahami tentang hukum progresif dan bagaimana
penegakkannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Madzhab Analitis.
Jhon Austin memandang bahwa di era modern
ini yang menjadi sumber hkum yang sah adalah yang berasal dari pihak yang
memiliki kekua saan tertinggi di suatu negara. Sementara keberadaan dari
sumber-sumber lain tidaklah begitu memiliki kekuatan secara hukum. Sumber hukum
yang dimaksud aliran hukum positif adalah produk dari pihak-pihak yang
berdaulat dalam suatu negara untuk pembentukan hukum. Hukum yang telah
diteteokan olehn otoritas yang berdaulat tersebut pada saat diberlakukan
haruslah ditaati tanpa syarat Sekalipun dirasakannya tidak adil.[1]
John Austine telah membagi hukum dalam duta kategori, yakni: 1. Hukum
dalam arti yang sebenarnya (laws properly so called) 2. Hukum dalam
arti yang tidak sebenarnya (laws improperly so called).
Terhadap hukum dalam arti yang sebenarnya. Austin memandangnya menjadi dua bentuk
hukum, yaitu:
1. Hukum yang dibuat oleh Tuhan
(law set by God to his human creatures) 2. Hukum yang dibuat oleh manusia untuk
manusia (laws set by men to men)
Selanjutmya untuk hukum yang dibuat oleh manusia
untuk manusia, Austin membaginya
lagi menjadi: 1. Hukum positif, yaitu hukum
yang dibentuk oleh manusia yang disebut sebagai pengusa, cotohnya
peraturan perundang-undangan.
2. Bukan hukum positif, yaitu hukum yang
dibentuk oleh manusia yang bukan penguasa atau hukum dengan suatu aturan-aturan
kebiasaan yang tidak tertulis pada suatu situasi atau lingkungan tertentu (laws
of fashion/laws of honours), contohnya hukum adat.
Menurut John Austin. Hukum adalah perintah,
yang merupakan suatu produk dari kekuatan politik yang lebih kuat untuk suatu
kekuatan politik yang lebih lemah yang dilengkapi dengan sanksi bagi yang
melanggarnya. Perintah itu haruslah berasal dari pihak yang memang mempunyai
kekuatan atau kekuasaan untuk menggeluarkan
perintah tersebut yang disebut dengan kedaulatan. Selanjutnya, hukum dalam
pengertiannya, adalah juga suatu aturan yang diberlakukan untuk memberi arahan
yang mengandung kewajiban. Dari
penjelasan itu , maka aliran hukum positif analitis telah membakukan bahwa
hukum yang sebenarnya adalah hukum yang memiliki empat unsur, yaitu 1) perintah
(command), 2) sanksi(sanction), 3) kewajiban (duty), 4) kadaulatan
(souverignity).[2]
B.
Madzab Sejarah
Madzab ini
diperkenalkan kepada peradaban hukum oleh Friedrich
Carln Von Savigny, Puchta, dan Sir
Henry Maine. Bagi Savigny
berpendapat hukum itu pada hakikatnya adalah semangat dari suatu bangsa.
Adapunyang menjadi benang filosofos dari madzhab ini adalah sebagai berikut:
·
Hukum itu lahir dari hukum kebiasaan (custom).
Hukum kebiasaan bagi Savigny,
merupakan salah satu manifestasi dari hukum positif. Hukum adat, menurutnya
menjadi simbol atau penanda dari adanya hukum positif yang diakui oleh
masyarakat.
·
Hukum itu ditemukan, bukan dibuat. Mengapa
demikian, karena hukum itu berasal dari naluri suatu bangsa tentang apa yang
dianggap benar (righ) dan proses
pertumbuhan hukum terhadap apa yang dianggap benar itu tidak disadari, maka
suatu legislasi akan menghilangkan arti yang vital dari suatu hukum kebiasaan (custom).
·
Hukum itu berasal dari perasaan rakyat (pupular feeling), yaitu oleh suatu kekutan yang bekerja secara diam-diam (silently operating foreces) hukum
bukanlah sesuatu yang dapat diciptakan secara sewenang-wenang dan terencana
oleh pembuat hukum. Hukum adalah hasil proses yang bersifat internal dan otonam
serta diam-diam (silently operating) dalam diri masyarakat. Proses
ini berakar dalam sebuah bangsa dengan dasar kepercayaan dan keyakinan bangsa
yang bersangkutan serta kesadaran komunal bangsa tersebut. Hukum layaknya
seperti bahasa yang tumbuh dan berkembang dalam relasi kebangsaan dan menjadi
milik bersama dan juga kesadaran bersama.
·
Hukum itu merupakan produk dari bangsa yang genius. Sebagaimana bahasa, ia
terbentuk secara perlahan-lahan dan menjelma karakteristik suatu rakyat
(bangsa). Ia berkembang dengan tumbuhnya suatu bangsa dan mati dengan hapusnya
kepribadian suatu rakyat (bangsa). Savigny
mendefinisikan rakyat (bangsa) sebagai sebuah kesatuan individu yang beranekaragam
(kepentingan, kebutuhan, cita-cita, dan lain-lainnya) hidup dalam keteraturan.
·
Hukum itu hadir sebagai ekspresi jiwa suatu bangsa
(volkgeist) tentang apa yang
dianggapnya benar dan adil. Jiwa suatu bangsa itu berbeda-beda bagi setiap
bangsa. Jiwa bangsa itu berbeda-beda pula dalam perjalanan waktu. Pencerminan
adanya jiwa yang berbeda-beda ini dapat dilihat dari budaya tiap bangsa yang
berbeda-beda pula.
·
Hukum itu tidak bisa berlaku umum dan tidak
statis. Hukum hanya bisa diterapkan bagi bangsa tempat ia dibuatdan hukum itu
merupakan subjek pada setiap kemajuan dan setiap perkembangan sebagaimana
hal-hal lain yang tercermin dari kehidupan suatu bangsa.
·
Ahli hukum sebagai medium perkembangan hukum lebih
baik dari pembuat undang- undang.[3]
Sementara terhadap ilmu hukum itu sendiri, Savigny telah mengurutkannya kepada
tiga tahapan, yakni: pada masa permulaan, hukum berada pada suatu nuansa dan
masa yang bersahaja dan tidak mengambang, tanpa pengertian yang mujarab
(abstrak), tetapi dengan bentuk, lambang dan pernyataan perasaan yang jelas.
Selanjutnya bentuk hukum itu berkembang dari milik umum menjadi milik suatu
golongan dan dalam waktu berikutnya menjadi masak karena hukum tumbuh menjadi
pengertian yang jelas. Terakhir, pada tingkatan usia lanjut, hukum berubah
menjadi suatu hal yang terikat pada bentuk yang tidak ada artinya. Orang tidak
lagi memperhatiakn isi undang-undang yang sekarang menjadi mujarab dan
diperlakukan sebagai perkakas. Kekuatan membentuk hukum terletak pada rakyat
yang memiliki ikatan rohani, ia adalah bangsa, suatu kesatuan jiwa, suatu
kesatuan yang tumbuh dalam berjalannya sejarah karena adat, bahasa, susunan
masyarakat dan kebiasaan.[4]
Lain halnya dengan Sir Henry Maine yang melihat perkembangan hukum
tersebut kedalam lima tahap perkembangan, yakni sebagai berikut:
1. Tahap pertama, hukum
dibuat dalam budaya yang sedemikian patriarkis, dan mendasarkan dirinya pada
perintah personal sang peguasa. Legitimasinya adalah perintah yang suci,
inspirasi dan yang tertinggi.
2. Tahap kedua, adalah
masa dimana hukum dimonopoli oleh sekelompok arstokrat dan sekelompok elit
masyarakat yang memiliki privilege
tertentu (hak istimewa), Maine
menyebutnya sebagai costumary law (hukum adat, hukum kebiasaan).
3. Tahap ketiga, adalah
tahap ketika hukum-hukum yang ada coba dimodifikasi karena konflik yang terjadi
diantara beberapa masyarakat pendukung hukum adat yang bersangkutan.
4. Tahap keempat, adalah
tahap dimana hukum adat mulai ingin dikontekstualisasikan dengan kondisi
masyarakat dan kondisi zaman yang mulai maju dan berkembang. Hukum tradisional,
dalam hal ini hukum adat atau hukum kebiasaan, muali ingin dimodernisasi dengan
pertolongan fiksi hukum, prinsip kesamaan (equality
before the law) dan adanya
lembaga-lembaga legislasi. Yang dituju adalah keharmonisan aturan hukum dengan
relasi-relasi sosial dan kebutuhan masyarakat yang semakin berkembang.
5. Tahap kelima, adalah
tahap dimana ilmu hukum atau jurisprudence
memegang peranan yang besar untuk membentuk hukum. Hukum yang terbentuk semakin
sistematis dan konsisten, juga ilmiah karena ilmu hukum menjadi metodelogi
untuk membentuk hukum.[5]
Dapat disimpulkan bahwa yang dikehendakioleh roh dalam madzab sejarah
dalam pembentukan ataupun pelaksanaan hukum itu adalah kesesuaian dengan jiwa
dari suatu bangsa (volkgeist).
Aliran sejarah dapat dimasukkan kedalam pemikiran yang mendahului
sosiologi hukum, oleh karena penolakannnya terhadap nasionalisasi hukum . di
abad kedelapan belas analisis rasional terhadap hukum tampil dengan sangat
kuat, demikian pula dengan pengikatan kepada asas-asas dalam hukum.
Gabungan
antara aliran sejarah dan sosiologi hukum dapat melahirkan cara berfikir
deduktif yang mengabaikan kenyataan sejarah dengan kekhususan yang ada pada
bangsa-bangsa. Analisis hukum yang demikian itu mengabaikan lingkungan sosial
hukum. Secara umum diatas telah dibahas tentang aliran sejarah. Beberapa
prinsip dalam aliran ini yang mencerminkan keterkaitan antara hukum dan basis
sosialnya adalah (Friedmann,1953:136-137):
1.
Hukum merupakan proses yang tidak disadari dan
organik. Hukum tidak dapat dilihat sebagai institusi yang berdiri sendiri,
melainkan semata-mata suatu proses dan perilaku masyarakat sendiri. Hanya
kitalah yang melihat hukum sebagai suatu institusi yang terpisah dengan semua
atribut dan konsep otonominya. Apa yang sekarang disebut sebagai hukum adalah
keputusan arbitrer yang dibuat oleh badan legislatif.
2.
Hukum itu tumbuh dari hubungan-hubungan hukum yang
sederhana pada masyarakat primitif sampai menjadi hukum yang besar dan kompleks
dalam peradaban modern. Kendati demikian, perundang-undangan dan para ahli
hukum hanya merumusakn hukum secara teknis dan tetap merupakan alat dari
kesadaran masyarakat (populer consciousness).
3.
Hukum itu tidak mempunyai keberlakuan dan
penerapan yang universal. Setiap bangsa memiliki habitat hukumnya, seperti
mereka memiliki bahasa dan adatnya. volksgeist (jiwa dari rakyat) itu
akan tampil sendiri dalam hukum suatu bangsa.
Seperti dikatakan diatas , pengkajian yang menolak untuk melihat hukum
berdasarkan peraturan, tetapi lebih melihatnya sebagai berdasarkan masyarakat
sebagaimana dianut oleh aliran sejarah. [6]
C.
Teori Hukum
Progresif (Satjipto Raharjo)
Gagasan hukum Progresif muncul karena keprihatinan
terhadap keadaan hukum di Indonesia. Terbukti tidak kunjung mewujudkan suatu
kehidupan hukum yang lebih baik. Masuk ke apa yang disebut sebagai Era
Reformasi sejak tumbuhnya Orde Baru pada tahun 1998, Bangsa Indonesia belum
berhasil mengangkat hukum sampai kepada taraf mendekati keadaaan ideal,
tetapi malah makin menimbulkan
kekecewaan, khususnya berhubungan dengan pemberantasan korupsi. Inti dari
kemunduran tersebut adalah kejujuran, empati dan dedikasi dalam menjalankan
hukum menjadi suatu yang makin langka dan mahal.
Dari perenungan terhadap hal dan kejadian tersebut, diajukanlah suatu
gagasan untuk memilih cara yang lebih
progresif. Hal tersebut dirumuskan kedalam gagasan dan tipe hukum yang
progresif atau hukum progresif. Melalui gagasan ini ingin dicari cara untuk
mengatasi keterpurukan hukum di Indonesia secara lebih bermakna ( significant). Bermakna yang dimaksud,
dalam arti perubahan secara lebih cepat, melakukan pembalikan yang mendasar,
melakukan pembebasan, terobosan dan lain-lain. Disini ingin dilakukan
penjelajahan terhadap gagasan hukum progresif, dimulai dari pikiran, filsafat
serta pandangan (outlook) yang mendasarinya.
Asumsi dasar yang ingin diajukan oleh hukum
progresif adalah mengenai pandangan tentang
pandangan tentang hubungan antara hukum dan manusia, ingin ditegaskan prinsip “hukum adalah untuk manusia” bukan sebaliknya “manusia adalah untuk hukum” berkaitan
dengan hal tersebut , maka hukum tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan
untuk sesuatu yang lebih luas dan besar. Maka setiap kali ada masalah dalam dan
dengan hukum, hukumlah yang ditinjau dan diperbaiki serta bukan manusia yang
dipaksa untuk masuk kedalam skema hukum.[7]
Pandangan Satjibto Raharjo tentag teori
hukum Progresif merupakan suatu penjelajahan suatu gagasan yang berintikan 9
(sembilan) pokok pikiran sebagai
berikut:
1. Hukum menolak tradisi
analytical Jurisprudence atau rechdogmatiek
dan berbagai paham dengan aliran seperti legal
realism, freirechtslehre, socialical
jurisprudence, interressenjurisprudenz di jerman, teori hukum alam dan critical legal studies.
2. Hukum menolak
pendapat bahwa ketertiban (order)
hanya bekerja melalui institusi-institusi kenegaraan.
3. Hukum progresif
ditunjukan untuk melindungi rakyat menuju kepada ideal hukum.
4. Hukum menolak
status-quo serta tidak ingin menjadikan hukum sebagai teknologi yang tidak
bernurani, melainkansuatu institusi yang bermoral
5. Hukum adalah suatu
institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera
dan membuat manusia bahagia.
6. Hukum progresif
adalah “hukum yang pro rakyat” dan “hukum yang pro keadilan”
7. Asumsi dasar hukum
progresif adalah bahwa “hukum adalah untuk manusia”, bukan sebaliknya. Berkaitan
dengan hal tersebut, maka hukum tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan
untuk sesuatu yang lebih luas dan lebih besar. Maka setiap kali ada masalah
dalam atau dengan hukum, hukumlah yang ditinjau dan diperbaiki, bukan manusia
yang dipaksa masuk dalam sistem hukum.
8. Hukum bukan merupakan
suatu institusi yang absolut dan final melainkan sangat bergantung pada
bagaimana manusia melihat dan menggunakannya. Manusialah yang merupakan
penentu.
9.
Hukum selalu berada dalam proses untuk terus
menjadi (law as a proces, law in the making).[8]
Menurut Satjipto, hukum progresif adalah hukum yang bisa mengikuti perkembangan zaman
dan mampu menjawab perubahan zaman dengan segala dasar-dasar yang ada
didalamnya. Perubahan-perubahantersebut berkaitan erat dengan basis habitat
dari hukum itu sendiri. Seperti pada abad ke-19, negara modern muncul dan
menjadi basis fisik-teritorial yang menentukan hukum. Konsep-konsep, prinsip,
dan doktrin pun harus ditinjau kembali
dan diperbarui. Melihat kondisi yang selalu berubah, maka garis depan (frontier) ilmu hukum juga senantiasa berubah.
Ilmu hukum menjadi berkualitas sebagai “Ilmu yang senantiasa mengalami
pembentukan” (legal science is always in
the making). Sehingga manfaat kehadiran hukum dalam masyarakat lebih
meningkat.
Gagasan hukum progresif sejatinya menawarkan
tahapan-tahaoan evolusi sistem hukum dalam kaitannya terhadap penertiban
kondisi sosial bernegara. Dengan demikian pendekatan hukum progresif diharapkan
bisa membantu memecahkan persoalan-persoalan bangsa yang kini semakin kompleks.
Penulis juga mengemukakan bahwa hukum progresif juga melahirkan kompetensi
kelembagaan yang besar dalam upaya mencapai keadilan. Namun, penulis sekali
lagi tidak mengklaim bahwa hukum progresif adalah pilihan terbaik dari sebuah
sistem hukum, inovasi-inovasi dari para ahli hukum masih sangat dibutuhkan
sebagai penyempurnaan terhadap sistem yang ada dan perbaikan atas kondisi hukum
di Indonesia saat ini.
Agenda besar gagasan hukum progresif adalah
menempatkan manusia sebagai sentralitas utama dari seluruh perbincangan
mengenai hukum. Dengan kebijaksaan hukum progresif mengajak untuk
memperhatiakan faktor perilaku manusia. Oleh karena itu, hukum progresif
menempatkan perpaduan antara faktor peraturan dan perilaku penegak hukum
didalam masyarakat. Disinilah arti penting pemahaman gagasan hukum progresif,
bahwa konsep “hukum terbaik” mesti
diletakkan dalam konteks keterpaduan yang bersifat utuh (holistik) dalam memahami
problem-problem kemanusiaan. Dengan demikian , gagasan hukum progresif tidak
semata-mata hanya memahami sistem hukum pada sifat yang dogmatik, selain itu
juga aspek perilaku sosial pada sifat yang empirik. Sehingga diharapkan melihat problem kemanusiaan secara utuh berorientasi keadilan
substantif.
Dalam konteks yang demikian itu, hukum akan tampak
selalu bergerak, berubah, mengikuti dinamika kehidupan manusia. Akibatnya hal
ini akan mepengaruhi pada cara berhukum, yang tidak akan sekedar terjebak dalam
ritme “kepastian hukum”, status quo dan hukum sebagai skema yang final,
melainkan suatu kehidupan hukum yang selalu mengalir dan dinamis baik itu
melalui perubahan undang maupun pada kultur hukumnya. Pada saat kita
menerimasebagai sebuah skema yang final, maka hukum tidak lagi tampil sebagai
solusi bagi persoalan kemanusiaan, melainkan manusia lah yang dipaksa untuk
memenuhi kepentingan kepastian hukum.[9]
Hukum progresif
melihat dunia dan hukum dengan pandangan yang mengalir saja, seperti Panta Rei (semua mengalir) dari
filsuf Heraklitos. Apabila orang
berkeyakinan dan bersifat seperti itu, maka ia akan membangun suatu cara berhukum
yang memiliki karakteristiknya sendiri, sebagaimana diuraikan dibawah ini.
Pertama, paragdima
dalam hukum progresif adalah bahwa” hukum adalah untuk manusia”. Pegangan,
optik atau keyakinan dasar ini tidak melihat hukum sebagai suatu yang sentral
dalam berhukum, melainkan manusialah yang berada di titik pusat perputaran
hukum, hukum itu berputar disekitar manusia sebagai pusatnya . Hukum ada untuk
manusia, bukan manusia untuk hukum . apabila kita berpegang pada keyakinan,
bahwa manusia itu adalah untuk hukum, maka manusia itu akan selalu diusahakan,
mungkin juga dipaksakan, untuk bisa masuk pada skema-skema yang telah dibuat
oleh hukum.[10]
Kedua, hukum
progresif menolak untuk mempertahankan keadaan status quo dalam berhukum .
mepertahankan setatus quo memberikan efek yang sama, seperti pada waktu orang
berpendapat bahwa hukum adalah tolak ukur untuk semuanya, dan manusia adalah
untuk hukum. Cara hukum yang demikian itu sejalan dengan cara positivistic,
normative, dan legalistic. Sekali undang-undang mengatakan atau merumuskan
seperti itu, kita tidak bisa berbuat
banyak, kecuali hukumnya diubah dulu.
Ada hal lain yang berhubungan dengan penolkan setatus quo tersebut,
yaitu berkaitan dengan perumusan-perumusan masalah kedalam perundang-undangan.
Substansi undang-undang itu berangkat dari gagasan tertentu dalam masyarakat
yang kemudian bergulir masuk kelembaga atau bedan legislatif. Dalam lembaga
inilah suatu gagasan itu kemudian dirumuskan dalam kata serta kalimat dan
akhirnya menjadi undang-undang.
Bahasa sebagai alat untuk menyampaikan pesan gagasan banyak mengandung
keterbatasan, itulah sebabnya peraturan itu masih membutuhkan komponen yang
disebut penjelasan, sesungguhnya, semua teks tertulis itu membutuhkan
penafsiran, bukan hanya pasal-pasal yang diberi penjelasan oleh undang-undang.
Maka itu kelirulah mengatakan undang-undang atau hukum itu sudah jelas. Oleh
kaena itu kepastian hukum adalah hal yang tidak sederhana, karena teks
undang-undang yang secara eksplisit mengatakan tidak boleh ditambah dan
dikurangi pun masih bisa diberi makna lain.
Ketiga, apabila diakui
bahwa peradaban hukum tertulis akan memunculkan sekalian akibat atau resiko,
maka cra kita berhukum sebaiknya juga
mengantisipasi tentang bagaimana mengatasi hambatan-hambatan dalam menggunakan
hukum tertulis tersebut, secara ekstrim kita tidak tidak dapat menyerahkan
masyarakat untuk sepenuhnya tunduk kepada hukumtertulis tersebut. Menyerah
bulat-bulat seperti itu sama dengan membiarkan diri kita diatur oleh teks
formal tertulis yang belum tentu benar-benar berisi gagasan asli yang ingin
dituangkan kedalam teks tersebut dan yang memiki resiko bersifat kriminogen.
Dictum Renner
menegaskan, bahwa hukum itu tidak berjalan mengikuti logika saja, tetapi juga
unsur atau pertimbangan kemanfaatan social (reasonableness). Andaikata tidak
digunakan pertimbangan terakhir, maka hukum akan berhenti dan uruh tidak akan
mendapatkan perlindungan.
Keempat, hukum
progresif memberikan perhatian besar terhadap peranan perilaku manusia terhadap hukum, ini bertentangan
diametral dengan paham, bahwa hukum itu hanya urusan peraturan. Peranan manusia
disini merupakan konsekuensi terhadap pengakua, bahwa sebaiknya kita tidak
berpeganga mutlak kepada teks formal suatu peraturan.
Hukum progresif
melihat, mengamati dan ingin menemukan cara berhukum yang mampu memberi jalan dan panduan bagi seperti kenyataan
seperti tersebut diatas. Pengamatan dan
pengalaman terhadap peta perjalanan dan kehidupan hukum yang demikian itu
menghasilkan keyakinan, bahwa hukum itu sebaiknya bisa membiarkan semuanya
mengalir secara alami saja. Hal tersebut bisa tercapai, apabila setiap kali
hukum bisa melakukan pembebasan terhadap sekat dan penghalang yang menyebabkan
hukum menjadi mandek, tidak lagi mengalir. Tidak lagi mengalir berarti
kehidupan dan manusia tidak memperoleh pelayanan ynag baik dari hukum.
Berkali-kali dikatakan dalam buku ini, bahwa hukum tidak ada untuk dirinya
sendiri, tetapi untuk manusia.
Akhirnnya dapat
dikemukaan, bahwa hukum progresif adalah cara berhukum yang selalu gelisah untuk membangun diri, sehingga berkualitas
untuk melayani dan membawa rakyat kepada kesejahteraan dan kebahgiaan. Ideal
tersebut dilakukan dengan aktifitas yang berkesinambungan antara merobohkan
hukum, yang mengganjaldan menghambat perkembangan( to arrest development) untuk
membangun yang lebih baik.
Kalau boleh diringkas,
hukum progresif itu sesungguhnya sederhana, yaitu melakukan pembebasan, baik
dalam cara berfikir maupun bertindak dalam hukum, sehingga mampu membiarkan
hukum itu mengalir saja untuk menuntaskan tugasnya mengabdi pada manusia dan
kemanusiaan. [11]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Hukum adalah perintah, yang merupakan suatu produk dari kekuatan politik
yang lebih kuat untuk suatu kekuatan politik yang lebih lemah yang dilengkapi dengan
sanksi bagi yang melanggarnya. aliran hukum positif analitis telah membakukan
bahwa hukum yang sebenarnya adalah hukum yang memiliki empat unsur, yaitu 1)
perintah (command), 2) sanksi(sanction), 3) kewajiban (duty), 4) kadaulatan
(souverignity).
2. Dapat disimpulkan
bahwa yang dikehendakioleh roh dalam madzab sejarah dalam pembentukan ataupun
pelaksanaan hukum itu adalah kesesuaian dengan jiwa dari suatu bangsa (volkgeist).
3. hukum progresif itu sesungguhnya sederhana, yaitu melakukan
pembebasan, baik dalam cara berfikir maupun bertindak dalam hukum, sehingga
mampu membiarkan hukum itu mengalir saja untuk menuntaskan tugasnya mengabdi
pada manusia dan kemanusiaan
B. Kritik/Saran
Kami
menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini banyak sekali kekurangannya. Maka
dari itu berharap kepada pemabaca untuk
memberikan masukan maupun sangahan kepada kami tentang makala yang kami buat
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr.
Satjipto Rahardjo, S.H., Ilmu Hukum, (Bandung, PT.
Citra Aditya Bakti,2000)
Prof. Dr.
Satjipto Rahardjo, S.H., Penegakan Hukum
Progresif , (Bandung,
PT. Citra Aditya Bakti, 2014)
Erwin, Muhamad dan H. Firman Freaddy
Busroh, pengantar ilmu hukum, (Bandung,
PT. Rafika Aditama, 2012)
R.Soeroso,
S.H., Sosiologi Hukum, (Jakarta, Sinar Grafika, 2016)
[1] Muhamad Erwin dan H. Firman Freddy Busroh, Pengantar Ilmu Hukum, cet. Ke-1, (Bandung:
PT Pefika Aditama, 2012), hlm.98.
[2] Muhamad Erwin dan H. Firman Freddy Busroh,
Pengantar Ilmu Hukum, cet. Ke-1, (Bandung:
PT Pefika Aditama, 2012), hlm.99.
[3] Muhamad Erwin dan H. Firman Freddy Busroh,
Pengantar Ilmu Hukum, cet. Ke-1, (Bandung:
PT Pefika Aditama, 2012), hlm.101-103
[4] Ibid, hlm. 103.
[5] Muhamad Erwin dan H. Firman Freddy Busroh,
Pengantar Ilmu Hukum, cet. Ke-1, (Bandung:
PT Pefika Aditama, 2012), hlm. 103-104.
[6] Satjipto Rahardjo , sosiologi hukum (yogyakarta
:genta publishing, 2010), hlm 15-16.
No comments:
Post a Comment