Thursday, November 22, 2018

MAKALAH Pedoman Umum Beracara di PA


DAFTAR ISI
                                                                                    
KATA PENGANTAR..............................................................................................           .......     i
DAFTAR ISI...........................................................................................................  .......     ii
BAB I : PENDAHULUAN                            
A.    Latar Belakang.....................................................................................  .......     1
B.     Rumusan Masalah............................................................................      .......     1
C.     Tujuan..................................................................................................  .......     2
BAB II : PEMBAHASAN
A.    Kuasa/wakil .......................................................................................   .......     3
B.     Perkara gugur........................................................................................ .......     8
C.     Perkara dibatalkan..............................................................................   ........    9
D.    Perkara verstek..................................................................................     ........  10
E.     Verzet...............................................................................................     ........    13
BAB III : PENUTUP
A.    Kesimpulan........................................................................................... .......     17
B.     Saran..................................................................................................... .......     17
DAFAR PUSTAKA.................................................................................................            .......     18


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Para pihak yang hendak berperkara di muka pengadilan, prinsipnya tidak harus diwakilkan/dikuasakan kepada pihak lain. Dalam artian, pemeriksaan perkara di persidangan bisa secara langsung terhadap para pihak, namun apabila dikehendaki oleh pihah yang berperkara dan memang ada alasan untuk itu, maka kehadiran mereka dalam persidangan bisa dikuasakan/diwakilkan kepada pihak lain. Dalam HIR, pengaturan mengenai surat kuasa khusus dalam pasal 123 HIR.
Seseorang yang tidak mempunyai waktu atau tidak mau direpotkan oleh urusan hukum atau pengadilan, atau bisa juga karena suatu kepentingan lain, sehingga seseorang tersebut tidak dapat menjalani dan menangani secara langsung masalah yang dihadapi, bisa juga karena sakit misalnya, sehingga ia tidak bisa berbuat apa-apa. Maka untuk mewakili seseorang yang berhalangan tersebut, diperlukan jasa orang lain sebagai “kuasa” untuk mewakili kepentingannya dalam melakukan perbuatan-perbuatan tertentu.
Namun selama persidangan berlangsung, ada beberapa kendala yang bisa menghambat jalannya persidangan. Dari yang semula bisa selesai dalam 1 minggu bisa lebih karena kendala tersebut, atau yang biasa disebut dengan perihal acara istimewa. Yaitu dari perkara dibatalkan, perkara gugur, perkara verstek, dan verzet.
Di materi ini, kita mencoba mengupas satu persatu, apa yang dimaksud dari kuasa/ wakil, perkara dibatalkan, perkara gugur, perkara verstek, verzet dan bagaimana alurnya.


B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan kuasa/wakil ?
2.      Bagaimana dengan perkara gugur itu ?
3.      Mengapa perkara bisa dibatalkan ?
4.      Bagaimana perkara verstek itu ?
5.      Apa yang dimaksud dengan verzet ?




C.    Tujuan
1.      Mengetahui apa yang dimaksud dengan kuasa/wakil
2.      Mengetahui bagaimana perkara gugur
3.      Untuk mengetahui perkara yang bisa dibatalkan
4.      Memahami bagaimana perkara verstek
5.      Mengetahui apa yang dimaksud dengan verzet



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Kuasa/wakil
1.      Lembaga kuasa hukum/wakil
Di dalam hukum, dikenal lembaga kuasa (lastgeving). Inti dari lembaga kuasa ini adalah untuk mewakili kepentingan hukum seseorang. Menurut pasal 1792 KUH Perdata, pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seseorang memberikan kuasa kepada orang lain, yang menerimanya untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusan. Pemberi kuasa disebut lastgever (instruction, mandate), sedangkan penerima kuasa disebut lasthebber (mandatory) bertindak mewakili pemberi kuasa terhadap pihak ketiga untuk dan atas nama pemberi kuasa.[1]
Seseorang atau sekelompok orang yang bersengketa dengan pihak lain, baik sebagai penggugat maupun tergugat, dapat menggunakan jasa seorang advokat selaku kuasa hukum untuk bertindak mewakili kepentingan-kepentingan penggugat maupun tergugat di pengadilan dan atau di luar pengadilan. Namun sebenarnya, HIR tidak mewajibkan para pihak untuk mewakilkan kepada orang lain, sehingga pemeriksaan di pengadilan terjadi secara langsung terhadap para pihak yang berkepentingan (pasal 123 HIR, 147 RBg). Jadi, setiap orang yang telah memenuhi syarat kecakapan dalam hukum dapat bertindak atas namanya sendiri di pengadilan. Seorang kuasa hukum yang dapat mewakili kepentingan klien, baik di luar/dalam pengadilan, haruslah advokat resmi yang telah mendapatkan izin praktik dari organisasi advokat, sebagaimana yang diatur dalam UU No. 18 tahun 2003 tentang advokat.
Dahulu kuasa hukum ini tidak harus advokat, tetapi boleh siapa saja selain advokat, pengacara, pengacara praktik, asal dapat menunjukkan izin khusus yang diberikan oleh ketua PN setempat. Namun sejak berlakunya UU advokat tersebut, izin khusus dengan sendirinya dilarang, bahkan diancam pidana lima tahun, karena yang dapat menjadi kuasa hukum hanya advokat yang terdaftar menjadi anggota organisasi profesi advokat. Hak untuk menggunakan kuasa, diatur dalam pasal 147 RBg/123 HIR. Biaya yang dikeluarkan untuk penggunaan jasa kuasa hukum, tidak dapat dibebankan kepada pihak lawan (Yurisprudensi Mahkamah Agung RI, tanggal 11 September 1975, Nomor 983 K/Sip/1973).
2.      Surat kuasa
Pasal 123 HIR/RBg menentukan bahwa surat kuasa yang dapat digunakan untuk beracara di pengadilan, baik untuk mewakili kepentingan pihak penggugat maupun pihak tergugat, harus merupakan surat kuasa khusus atau istimewa. Hal demikian diatur dalam surat edaran Mahkamah Agung, tanggal 19 Januari 1959, Nomor 2 tahun 1959 jo tanggal 14 Oktober 1994, Nomor 6 tahun 1994 yang menentukan bahwa surat kuasa khusus adalah surat kuasa yang khusus tentang subjeknya, objeknya, materi perkaranya, pengadilannya, serta tingkat proses perkaranya, yaitu tingkat PN, banding (PT), kasasi (MA). Kuasa boleh diberikan per tingkat, boleh juga untuk tingkat pertama sampai dengan tingkat kasasi.
Contoh : kuasa untuk menggugat, yang belum terdaftar di pengadilan : ... khusus untuk mewakili pemberi kuasa sepenuhnyasebagai penggugat dalam perkara perdata di PN Surabaya, tentang gugatan ingkar janji (wanprestastie) dan ganti rugi melawan Raharjo, 45 tahun, pedagang, beralamat di jalan arjuno nomor 118 kota Surabaya sebagai tergugat.
Surat kuasa yang tidak memenuhi syarat sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 123 HIR/RIB dan surat edaran MA tersebut, tidak dapat digunakan untuk beracara di pengadilan, sehingga surat kuasa yang demikian itu, akan dapat berakibat fatal, yaitu gugatan menjadi tidak sah. Surat kuasa harus dibuat sebelum tanggal gugatan, serta isi dalam surat kuasa harus sesuai dengan surat gugatan. Jika objek/ subjek dalam surat kuasa tidak sama dengan yang disebutkan dalam surat gugatan, dapat mengakibatkan gugatan tidak sah dan diputuskan tidak dapat diterima (niet onvankeljiek verklaard).
3.      Pemberian kuasa
Dari pasal 1792 KUHPerdata, dapat disimpulkan beberapa faktor penting suatu pemberian kuasa.
1.      Subjek pemberian kuasa terdiri dari pihak yang memberikan kuasa atau pemberi kuasa (lastgever) dan penerima kuasa (lastheber). Pemberi kuasa mewakilkan kepentingan hukumnya kepada penerima kuasa sesuai dengan fungsi hak dan kewenangan dalam surat kuasa.
2.      Pemberian kuasa adalah suatu perjanjian. Perjanjian disini adalah antara pemberi kuasa dan penerima kuasa.
3.      Objek pemberian kuasa objek dari pemberian kuasa, menurut pasal 1792 KUH Perdata, adalah menyelenggarakan suatu urusan. Urusan itu meliputi perbuatan-perbuatan hukum yang berkaitan dengan harta kekayaan si pemberi kuasa.
4.      Berakhirnya kuasa
      Menurut pasal 1813 KUHPerdata, berakhirnya pemberian kuasa dapat disebabkan:
1.      Penarikan kembali kuasa oleh pemberi kuasa. Tanpa persetujuan si penerima kuasa. Penarikan kembali pemberian kuasa secara tegas dilakukan pemberi kuasa dengan cara mencabut secara tegas dengan tertulis atau meminta kembali surat kuasa dari penerima kuasa. Sedangkan penarikan pemberian kuasa secara diam-diam dapat dilakukan pemberi kuasa dengan cara mengangkat kuasa baru untuk substansi pemberian kuasa yang sama. Dalam praktik dikenal adanya Surat Kuasa Mutlak, yaitu surat kuasa yang tidak dapat ditarik kembali secara sepihak oleh pemberi kuasa.
2.      Penghentian kuasa oleh penerima kuasa. Pelepasan kuasa oleh penerima kuasa itu dapat dilakukan dengan cara memberitahukan maksud tersebut kepada pemberi kuasa (pasal 1817 KUHPerdata). Namun pelepasan pemberian kuasa tidak akan mengakibatkan kerugian bagi si pemberi kuasa.
3.      Meninggalnya atau di bawah pengampuan dan pailitnya pemberi kuasa, dan karena perkawinan perempuan sebagai pihak pemberi kuasa atau penerima kuasa. Atau bisa dengan meninggalnya salah satu pihak, dengan sendirinya pemberian kuasa itu berakhir (pasal 1813 KUHPerdata). Pemberian kuasa tidak dapat dilanjutkan kepada ahli waris, kecuali dibuat pemberian kuasa yang baru. Untuk sesseorang yang berada di bawah pengampuan atau dinyatakan pailit, maka terhadap mereka dapat diangkat seorang penerima kuasa untuk mewakili melakukan perbuatan hukum orang yang diampu atau orang pailit.
5.      Jenis kuasa
1.      Kuasa umum
Diatur dalam pasal 1795 KUHPerdata, di mana kuasa umum bertujuan untuk memberi kuasa kepada seseorang untuk mengurus kepentingan pemberi kuasa mengenai perusahaan yang disebut berharder untuk mengatur kepentingan pemberi kuasa. Dari segi hukum, surat kuasa umum tidak dapat dipergunakan di depan pengadilan untuk mewakili pemberi kuasa.
2.      Kuasa khusus
Diatur dalam pasal 1975 BW, yaitu mengenai pemberian kuasa satu kepentingan tertentu atau lebih. Agar bentuk kuasa yang disebut dalam pasal ini sah sebagai surat kuasa khusus di depan pengadilan, kuasa tersebut harus disempurnakan terlebih dahulu dengan syarat yang disebutkan dalam pasal 123 HIR.
3.      Kuasa istimewa
Diatur dalam pasal 1796 BW dikaitkan dengan pasal 157 HIR atau pasal 184 RBg.
4.      Kuasa perantara
Disebut juga agen, yakni di mana pemberi kuasa memberikan kuasa kepada pihak kedua dalam kedudukannya sebagai perantara atau makelar untuk melakukan perbuatan hukum terhadap pihak ketiga dalam perdagangan keagenan. Kuasa perantara ini di konstruksi berdasarkan pasal 1792 KUHPerdata dan pasal 62 KUHD.
6.      Kuasa menurut hukum
Kuasa menurut hukum adalah pemberian khusus dari seseorang atau suatu badan kepada orang atau badan lain karena UU. Jadi, pemberian kuasa menurut hukum bukan berasal dari suatu pemberian kuasa dari pihak pemberi kuasa, melainkan UU yang memberikan kuasa kepada penerima kuasa. Kuasa menurut hukum antara lain sebagai berikut.
1.      Wali terhadap anak di bawah perwalian.
Menurut pasal 51 UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Secara hukum, wali adalah penerima kuasa dari anak di bawah perwalian.
2.      Kurator atas orang yang tidak waras.
Menurut pasal 229 HIR. Dalam hal ini kurator adalah penerima kuasa menurut Undang-Undang yang mewakili kepentingan orang dewasa yang tidak waras itu untuk mengurus kepentingan hukumnya.
3.      Orang tua terhadap anak yang belum dewasa.
Menurut pasal 45 ayat 2 UU no 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Selama seorang anak belum dewasa, maka kepentingan hukumnya diwakili oleh orang tuanya. Dalam hal ini orang tua merupakan pihak penerima kuasa atas anak yang belum dewasa.
4.      Balai Harta Peninggalan (BHP) sebagai kurator kepailitan.
Menurut pasal 13 UU nomor 4 tahun 1998 tentang kepailitan, jika seseorang dianggap pailit oleh putusan pengadilan, dan debitur maupun kreditor tidak mengangkat seorang kurator, maka pengadilan akan mengangkat kurator. Kurator merupakan pihak penerima kuasa atas orang pailit.
5.      Direksi/ badan pengurus badan hukum.
Menurut UU PT, penanggung jawab perseroan adalah direksi. Direksi ini yang melakukan pengurusan baik internal dan eksternal, serta direksi pula yang mewakili perusahaan melakukan hubungan hukum dengan pihak lain.
6.      Pimpinan perwakilan perusahaan asing.
Pimpinan perwakilan perusahaan asing merupakan legal mandatory yang kedudukannya sejajar dengan wettelijke vertegenwoording. Secara hukum, ia adalah penerima kuasa dari perusahaan asing.
7.      Pimpinan cabang perusahaan domestik.
Menurut putusan MA no 779 K/Pdt/1992, pimpinan cabang suatu bank berwenang bertindak untuk dan atas nama pimpinan pusat tanpa memerlukan surat kuasa untuk itu.
7.      Wakil
Peraturan perundang-undangan tidak mengatur bahwa para pihak dalam suatu perkara harus mewakilkan kepada orang lain. Mereka yang mempunyai kepentingan langsung dalam perkara yang bersangkutan, tetapi mereka sekaligus menjadi pihak formil, karena mereka sendirilah yang beracara di muka pengadilan. Akan tetapi, dalam keadaan tertentu orang lain dapat bertindak sebagai penggugat atau tergugat di muka pengadilan tanpa bersangkutan, misalnya seorang wali atau pengampu (pasal 383, 446, 452, 403, dan 405 BW).
Sering terjadi pihak materiil memerlukan suatu wakil untuk beracara di  muka pengadilan karena memang tidak mungkin beracara tanpa diwakili, misalnya suatu badan hukum (Pasal 8 no 2 Rv BW 1955). Dalam hal tersebut harus dibedakan dengan seorang pengacara yang meskipun mewakili kliennya karena seorang pengacara bukan merupakan pihak, baik formil maupun materiil. Untuk mewakili kepada seorang pengacara dalam suatu persidangan harus mempergunakan surat kuasa khusus.
8.      Syarat seorang kuasa/wakil
Jadi, untuk dapat bertindak sebagai kuasa atau wakil dari penggugat, seseorang harus memenuhi salah satu syarat berikut ini.
1.      Harus mempunyai surat kuasa khusus, sesuai dengan bunyi Pasal 123 ayat 1 HIR, 147 1 RBg.
2.      Ditunjuk sebagai kuasa atau wakil dalam surat gugat (Pasal 123 ayat 1 HIR, 147 ayat 1 RBg).
3.      Ditunjuk sebagai kuasa atau wakil dalam catatan gugatan apabila diajukan secara lisan (Pasal 123 ayat 1 HIR, Pasal 147 ayat 1 RBg).
4.      Ditunjuk oleh penggugat sebagai kuasa atau wakil di persidangan (Pasal 123 ayat 1 HIR, Pasal 147 ayat 1 RBg).
5.      Memenuhi syarat dalam Peraturan Menteri Kehakiman 1/1965 tanggal 28 Mei 1965 jo. Keputusan Menteri Kehakiman No.J.P 14/2/11 tanggal 7 Oktober 1965 tentang protokol.
6.      Telah terdaftar sebagai advokat.
Adapun yang bertindak sebagai kuasa atau wakil dari negara atau pemerintah berdasarkan S 1922 No. 522 dan Pasal 123 ayat 1 HIR, Pasal 147 ayat 2 RBg adalah :
1.      Pengacara negara yang diangkat oleh pemerintah
2.      Jaksa
3.      Orang-orang tertentu atau pejabat-pejabat yang diangkat atau ditunjuk.[2]
B.     Perkara gugur
Jika pada hari sidang yang telah ditentukan untuk mengadili perkara, salah satu pihak baik penggugat ataupun tergugat tidak hadir atau tidak menyuruh wakilnya untuk menghadap pada sidang yang ditentukan, maka diberlakukan acara istimewa yang diatur dalam pasal 124 dan pasal 125 HIR. Apabila ada banyak penggugat ataupun tergugat, maka haruslah semuanya penggugat dan tergugat yang tidak hadir. Apabila dari pihak penggugat/tergugat ada yang hadir, acara istimewa ini tidak berlaku, sidang akan diundurkan dan perkara tersebut pada akhirnya akan diputus menurut acara biasa.
Pasal 124 HIR yang  mengatur perihal gugur, berbunyi : “Jikalau si penggugat, walaupun dipanggil dengan patut, tidak menghadap PN pada hari yang ditentukan itu, dan tidak juga menyuruh seorang lain menghadap selaku wakilnya, maka gugatannya dipandang gugur dan si penggugat dihukum membayar biaya perkara, akan tetapi si penggugat berhak, sesudah membayar biaya yang tersebut, memasukan gugatannya sekali lagi”. Sebelum gugatan digugurkan, hakim harus terlebih dahulu teliti memeriksa berita acara pemanggilan pihak-pihak, apakah penggugat telah dipanggil dengan patut, seksama dan jika cara pemanggilan tidak dilakukan sebagai mana  mestinya, hakim tidak boleh menggugurkan gugatan, melainkan akan menyuruh juru sita untuk memanggil penggugat sekali lagi.
Meskipun penggugat telah dipanggil dengan patut, pihak penggugat juga telah mengirim orang atau surat yang menyatakan bahwa pihak penggugat berhalangan secara sah (misalnya sakit parah) atau penggugat telah mengurus wakilnya, akan tetapi ternyata surat kuasa yang telah ia berikan kepada wakilnya tidak memenuhi persyaratan (terdapat kesalahan), maka hakim harus bijaksana untuk mengundurkan sidang.
Jika penggugat sebelum dipanggil telah wafat, maka terserah kepada para ahli warisnya apakah mereka akan meneruskan perkara atau kan mencabut perkara yang bersangkutan. Sebaiknya para ahli waris datang datang menghadap pada ketua PN yang bersangkutan untuk mengutarakan maksudnya agar gugatan tersebut tidak gugur. Jika mereka berkehendak untuk melanjutkan gugatan, maka surat gugat harus diubah dengan mencantumkan para ahli waris sebagai penggugat. Namun jika perihal kematian si penggugat tidak diberitahukan kepada pengadilan oleh pihak warisnya, maka perkara tersebut akan digugurkan.
Apabila gugat digugurkan, maka dibuatlah suatu putusan dan penggugat dihukum untuk membayar baiaya perkara. Pihak penggugat yang perkaranya digugurkan, diperkenankan untuk mengajukan gugatannya sekali lagi setelah ia terlebih dulu membayar biaya perkara (kekurangannya) dan membayar persekot untuk perkaranya yang baru. Jika perkara yang kedua kemudian juga digugurkan, dalam HIR menjelaskan bahwa pengajuan gugat semacam itu diperkenankan.
Dalam perkara yang digugurkan pokok persoalan sama sekali belum diperiksa, oleh karena itu tidaklah diperkenankan dan salah. Apabila sekalian dengan menggugurkan gugutan, pokok perkara ditolak.[3]
C.    Perkara dibatalkan
a.         Jika panjar biaya perkara sudah habis, pihak berperka ditegur untuk membayar tambahan panjar biaya perkara dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari setelah surat teguran itu disampaikan.
b.        Jika setelah ditegur tidak membayar tambahan panjar biaya perkara, maka perkara tersebut dapat dibatalkan dalam bentuk putusan dengan amar sebagai berikut : - Membatalkan perkara nomor ….. - Memerintahkan Panitera untuk mencoret dari daftar perkara. - Menghukum penggugat membayar biaya perkara sejumlah Rp. ….
(………).
Apabila suatu perkara tidak memenuhi syarat subjektif, maka perkara tersebut ‘dapat dibatalkan’, artinya salah satu pihak dapat memintakan pembatalan itu. Sedangkan, jika suatu perkara tidak memenuhi syarat objektif, maka perjanjian tersebut adalah ‘batal demi hukum’, artinya adalah dari semula dianggap tidak pernah ada dilahirkan suatu perkara tersebut dan tidak pernah ada ada lagi perkara tersebut. Contohnya seperti perkara perjanjian.  
D.    Perkara Verstek
1)      Pengetian verstek
Verstek adalah pernyataan bahwa tidak hadirnya tergugat, meskipun menurut hukum acara ia harus datang. Verstek hanya dapat dinyatakan, apabila pihak tergugat kesemuanya tidak datang menghadap sidang pada sidang yang pertama, dan apabila perkara diundurkan sesuai pasal 126 HIR, juga pihak-pihak tergugat kesemuanya tidak datang menghadap lagi.
Apabila tergugat pada sidang pertama hadir dan sidang selanjutnya tidak hadir atau hakim mengundurkan sidang berdasarkan pasal 126 HIR dan pada sidang yang kedua ini tergugat hadir dan sidang selanjutnya tidak hadir lagi, maka perkara akan diperiksa menurut acara biasa dan putusan dijatuhkan secara contradictoir (dengan adanya perlawanan), meskipun sesungguhnya tidak diajukan suatu perlawanan. Pasal 125 ayat 1 HIR menentukan, bahwa untuk putusan verstek yang mengabulkan gugat diharuskan adanya syarat-syarat sebagai berikut :
a.       Tergugat atau para tergugat kesemuanya tidak datang pada hari sidang yang telah ditentukan.
b.      Tergugat atau para tergugat tidak mengirimkan wakil atau kuasa nya yang sah untuk menghadap.
c.       Tergugat atau para tergugat kesemuanya telah dipanggil dengan patut.
d.      Petitum gugatan tidak melawan hak.
e.       Petitum gugatan cukup beralasan.
Syarat tersebut harus diperiksa dengan seksama, baru apabila benar-benar persyaratan semuanya di penuhi, putusan verstek dijatuhkan dengan mengabulkan gugat. Apabila syarat 1, 2, 3 terpenuhi, akan tetapi petitumnya ternyata melawan hak atau tidak beralasan, maka meskipun perkara diputus dengan verstek, gugatan ditolak. Apabila syarat 1, 2, 3 terpenuhi, akan tetapi ternyata ada kesalahn formal dalam gugatan (misalnya gugatan diajukan oleh para orang yang tidak berhak, kuasa yang menandatangani surat gugat ternyata tidak memiliki surat kuasa khusus dari pihak penggugat, maka gugatan dinyatakan tidak dapat diterima).
2)      Dasar hukum verstek
Yang mengatur persoalan verstek adalah pasal 125 HIR yang berbunyi sebagai berikut :
Jikalau si tergugat, walaupun dipanggil dengan patut, tidak menghadap pada hari yang ditentukan dan tidak juga menyuruh seorang lain menghadap selaku wakilnya, maka gugatan itu diterima dengan keputusan tidak hadir, kecuali jika nyata kepada PN bahwa gugatan itu melawan hak atau tidak beralasan.
Akan tetapi, jika si tergugat dalam surat jawabannya yang tersebut dalam pasal 121 mengajukan perlawanan (tangkisan) bahwa PN tidak berhak menerima perkara itu, hendaklah PN walaupun si tergugat sendiri atau wakilnya tidak menghadap, sesudah didengar si penggugat, mengadili perlawanannya dan hanya kalau perlawanan itu ditolak maka keputusan dijatuhkan mengenai pokok perkara.
Jikalau gugatannya diterima, maka keputusan PN dengan perintah ketua diberitahukan kepada orang yang dikalahkan, dan serta itu diterangkan kepadanya bahwa ia berhak dalam waktu dan dengan cara yag ditentukan dalam pasal 129, mengajukan perlawanan terhadap putusan tak hadir itu pada majelis pengadilan itu juga.
Di bawah keputusan tak hadir itu panitera pengadilan mencatat, siapa yang diperintahkan mejalankan pekerjaan itu dan apakah diberitahukannya tentang hal itu, baik dengan surat maupun dengan lisan.
3)      Cara pemberitahuan putusan verstek
Putusan verstek harus diberitahukan kepada orang yang dikalahkan/kepada yang diterangkan, bahwasanya ia berhak mengajukan perlawanan terhadap putusan verstek ini kepada PN yang sama, dalamtenggang waktu dan dengan cara yng ditentukan dalam pasal 129 HIR. Di bawah surat putusan verstek ditulis siapa yang diperintahkan untuk menjalankan pemberitahuan putusan tersebut secara lisan atau tertulis.
Seperti berita acara pemanggilan pihak-pihak untuk menghadap pada sidang PN, surat pemberitahuan putusan verstek dibuat oleh juru sita atas sumpah jabatan dan meruapakan akta autentik yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Jadi, harus menggambarkan keadaan yang benar tejadi dan menyebutkan dengan siapa juru sita tersebut bertemu dan apa yang dikatakan oleh yang bersangkutan, dengan maksud agar putusan ini benar diketahui oleh pihak yang kalah dan apabila ia menghendakinya dapat memajukan perlawanan terhadap putusan verstek tersebut, dalam tenggang waktu dan menurut cara yang telah ditentukan dalam pasal 129 HIR.
4)      Cara pengajuan perlawanan terhadap putusan verstek (verzet tegen verstek)
Diatur dalam pasal 129 HIR. Menurut pasal ini yang dapat mengajukan perlawanan ialah tergugat yang dihukum dengan putusan tidak hadir dan tidak menerima putusan tersebut. Jadi hanya tergugat yang dapat megajukan perlawanan karena telah dikalahkan, baik gugatan dikabulkan seluruhnya atau untuk sebagian. Yang perlu diperhatikan dalam pengajuan verzet ini adalah mengenai tenggang waktu untuk mengajukan verzet, sebagai berikut :
1)      Dalam waktu 14 hari setelah putusan verstek diberitahukan kepada pihak yang dikalahkan itu sendiri.
2)      Apabila pemberitahuan tidak dilakukan terhadap tergugat itu sendiri, maka sampai hari kedelapan setelah teguran seperti yang dimaksud pasal 196 HIR, apabila yangditegur itu datang menghadap.
3)      Kalau ia tidak datang waktu ditegur, sampai hari kedelapan setelah sita eksekutorial (pasal 197 HIR).
Perlawanan (verzet) terhadap putusan verstek hanya dapat diajukan sekali saja, artinya hanya terhadap putusan verstek yang pertama, sedang terhadap putusan verstek yang kedua yang bersangkutan hanya diperkenankan untuk mengajukan permohonan banding. Pasal 8 UU no 20 tahun 1947 yang mengatur perihal banding, berbunyi sebagai berikut :
a)      Dari putusan PN, yang dijatuhkan di luar hadir tergugat tidak boleh minta pemeriksaan ulangan melainkan hanya dapat menggunakan hak perlawanan dalam pemeriksaan tingkat pertama, akan tetapi jikalau penggugat dalam minta pemeriksaan ulangan, tergugat tidak dapat menggunakan hak perlawanan dalam pemeriksaan tingkat pertama.
b)      Jika dari sebab apa pun juga tergugat tidak dapat menggunakan hak perlawanan dalam pemeriksaan tingkat pertama, tergugat boleh meminta pemeriksaan ulangan.
Dari pasal tersebut jelas bahwa tergugat untuk pertama kalinya dikalahkan dengan putusan verstek, tidak diperkenankan untuk mengajukan permohonan banding, melainkan hanya diperkenankan untuk mengajukan perlawanan terhadap putusan verstek sesuai dengan pasal 129 HIR. Dalam gugatan dikabulkan untuk verstek, dapat terjadi bahwa kedua belah pihak, yaitu baik pihak penggugat maupun pihak tergugat, tidak merasa puas terhadap putusan yang dijatuhkan. Mungkin  penggugat akan mengajukan perlawanan terhadap putusan verstek,yang hanya terbuka bagi pihak tergugat yang dikalahkan saja.
Jika pihak penggugat telah mengajukan permohonan banding, apakah pihak tergugat masih dapat mengajukan perlawanan terhadap putusan verstek? Dalam pasal 8 UU no 20 tahun 1947 telah dijelaskan bahwa dalam hal pihak penggugat mengajukan banding, pihak tergugat tidak diperkenankan untuk mengajukan perlawanan terhaadap putusan verstek. Lalu apakah tergugat harus diam atau menerima putusan saja? Tidak, ia dapat pula mengajukan permohonan banding. Apabila belum ada putusan PT dari pihak penggugat.[4]
E.     Verzet
1)      Pengertian verzet
Verzet adalah perlawanan tergugat atas putusan yang dijatuhkan secara verstek. Perlawanan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah dengan gugatan semula. Oleh karena itu, perlawanan bukan gugatan atau perkara baru, tetapi tiada lain merupakan bantahan yang ditujukan kepada ketidakbenaran dalil gugatan, dengan alasan putusan verstek yang dijatuhkan, keliru dan tidak benar. putusan MA No. 494 K/Pdt/1983 mengatakan dalam proses verset atas verstek, pelawan tetap berkedudukan sebagai tergugat dan terlawan sebagai penggugat. Demikian verzet terhadap putusan verstek hanya dapat diajukan oleh pihak-pihak dalam perkara, tidak oleh pihak ketiga.
1.      Sesuai Pasal 129 HIR/153 RBg, tergugat/para tergugat yang dihukum dengan verstek berhak mengajukan verzet atau perlawanan, dalam waktu 14 hari terhitung setelah tanggal pemberitahuan putusan verstek itu kepada tergugat semula jika peberitahuan langsung disampaikan sendiri kepada yang bersangkutan.
2.      Jika putusan itu tidak langsung diberitahukan kepada tergugat sendiri dan pada waktu anmaning tergugat hadir, maka tenggang waktunya sampai pada hari kedelapan sesudah anmaning (peringatan).
3.      Jika tergugat tidak hadir pada waktu anmaning maka tenggang waktunya adalah hari ke-8 sesudah sita eksekusi dilaksanakan. (Pasal 129 ayat 2 jo. Pasal 196 HIR dan Pasal 153 ayat 2 jo. Pasal 207 RBg). Kedua perkara tersebut (perkara verstek dan verset terhadap verstek) berada dalam satu nomor perkara.
4.      Perkara verzet sedapat mungkin dipegang oleh Majelis Hakim yang telah menjatuhkan putusan verstek.
5.      Hakim yang melakukan pemeriksaan perkara verzet atas putusan verstek harus memeriksa gugatan yang telah diputus verstek secara keseluruhan. Pemeriksaan perkara verzet dilakukan secara biasa (Pasal 129 ayat 3 HIR, Pasal 153 ayat 3 RBg, dan SEMA No.9 tahun 1964).
6.      Apabila dalam pemeriksaan verzet pihak penggugat asal (terlawan) tidak hadir, maka pemeriksaan dilanjutkan secara contradictoire, tetapi apabila pelawan yang tidak hadir maka hakim menjatuhkan putusan verstek untuk kedua kalinya. Terhadap putusan verstek yang dijatuhkan kedua kalinya tidak dapat diajukan perlawanan, tetapi bisa diajukan upaya hukum banding (Pasal 129 ayat 5 HIR dan Pasal 153 ayat 5 RBg).
7.      Apabila verzet diterima dan putusan verstek dibatalkan maka putusannya berbunyi:
a.       Menyatakan pelawan adalah pelawan yang benar
b.      Membatalkan putusan verstek
c.       Mengabulkan gugatan penggugat atau menolak gugatan penggugat
8.      Apabila verzet tidak diterima dan putusan verstek tidak dibatalkan, maka putusannya berbunyi :
a.       Menyatakan pelawan adalah pelawan yang tidak benar
b.      Menguatkan putusan verstek tersebut
9.      Terhadap putusan verzet kedua belah pihak berhak mengajukan banding. Dalam mengajukan banding, maka berkas perkara verstek dan verzet disatukan dalam satu berkas dan dikirim ke PT dan hanya ada satu nomor perkara.
2.      Pemeriksaan perlawanan (Verzet)      
a.       Pemeriksaan berdasarkan gugatan semula. Dalam putusan MA No. 938K/Pdt/ 1986, terdapat pertimbangan sebagai berikut.
Substansi verzet terhadap putusan verstek, harus ditujukan kepada isi pertimbangan putusan dan adil gugatan terlawan/penggugat asal. Putusan verzet yang hanya mempertimbangkan masalah sah atau tidak ketidakhadiran tergugat memenuhi panggilan sidang adalah keliru. Sekiranya pelawan hanya mengajukan alasan verzet tentang masalah keabsahan atas ketidakhadiran tergugat memenuhi panggilan, PN yang memeriksa verzet harus memeriksa kembali gugatan semula, karena dengan adanya verzet, putusan verrstek mentah kembali, dan perkara harus diperiksa sejak semula.
b.      Surat perlawanan sebagai jawaban tergugat dalil gugatan.
Berdasarkan pasal 129 ayat 3 HIR, perlawanan diajukan dan diperiksa dengan acara biasa yang berlaku untuk acara perdata. Kedudukan pelawan sama dengan tergugat. Berarti surat perlawanan yang diajukan dan disampaikan kepada PN, pada hakikatnya sama dengan surat jawaban yang digariskan pasal 121 ayat 2 HIR. Kualitas surat perlawanan sebagai jawaban dalam proses verzet dianggap sebagai jawaban pada sidang pertama.
3.      Beban pembuktian dalam putusan verzet/perlawanan
a.       Pemeriksaan dan putusan terhadap perkara perlawanan adalah seperti halnya perkara biasa. Berarti, perlawanan yang semula kedudukannya sebagai tergugat dalam sola pembuktian harus tetap diperlakukan selaku tergugat, artinya yang lebih dulu membuktikan/memberi alat-alat pembuktian adalah terlawan sebagai penggugat asal (SEMA no 9 tahun 1964 tanggal 13-04-1964).
b.      Dalam pemeriksaan, karena kedudukan para pihak tidak berubah maka pihak pengguatlah (terlawan) yang harus memulai dengan pembuktian.
c.       Cara pembuktian perkara verzet, ialah bukti-bukti tertulis cukup di konfirmasikan kepada pelawan, sedangkan bukti saksi-saksi dibaca keterangan saksi terdahulu yang ditulis dalam berita acara dan tidak  mesti dihadirkan dalam sidang.
4.      Putusan perlawanan
1.      Putusan verzet
Dari segi upaya hukum, verzet menurut pasal 129 ayat 1 HIR merupakan upaya perlawanan terhadap putusan verstek. Putusan verzet yang dijatuhkan pengadilan, merupakan koreksi terhadap putusan verstek. Jadi, jika tergugat mengajukan verzet terhadap putusan verstek, PN harus memeriksa dan menilai apakah putusan verstek yang dijatuhkan sudah tepat atau tidak. Tepat atau tidaknya putusan verstek tersebut, dinilai dan dipertimbangkan PN dalam putusan verzet.
2.      Bentuk putusan verzet
1.      Verzet tidak dapat diterima apabila tenggang waktu mengajukan verzet telah dilampui.
2.      Menolak verzet atau perlawanan. Apabila pelawan sebagai tergugat asal tidak mampu melumpuhkan kebenaran dalil gugatan terlawan sebagai penggugat asal, berarti pendapat dan pertimbangan yang terkandung dalam putusan verstek adalah tepat dan benar, karena sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
3.      Mengabulkan perlawanan. Apabila terlawan sebagai penggugat asal, tidak mampu membuktikan dalil gugatan.
5.      Putusan MA RI terhadap Verzet atas putusan perdata yang sudah di-Executie
MA RI dalam putusan kasasi telah membatalkan putusan judex facti. PT Jakarta yang telah memperkuat putusan PN, dikarenakan dinilai telah salah menerapkan hukum acara perdata. Bantahan (verzet) terhadap suatu putusan perkara perdata yang telah dilaksanakan executie-nya, tidak dapat dibenarkan, karena bertentangan dengan Hukum Acara Perdata. Upaya hukum yang harusnya dijalankan oleh pembantah adalah mengajukan suatu “gugatan biasa” (putusan MARI, No.2150 K/Pdt/1985, tanggal 5 Agustus 1986).
Sedangkan bantahan (verzet) terhadap conservatoir beslag (CB) bersifat insidentil, sehingga kalau diterima sebagai bantahan seharusnya diperiksa terrsendiri (insidentil) dengan menunda pemeriiksaan terhadap pokok perkara, sehingga kedua perkara tersebut tidak dapat disatukan apalagi dengan dua nomor (putusan MARI, No. 1346 K/Sip/1971, tanggal 23 Juli 1973).[5]



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seseorang memberikan kuasa kepada orang lain, yang menerimanya untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusan. Pasal 123 HIR/RBg menentukan bahwa surat kuasa yang dapat digunakan untuk beracara di pengadilan, baik untuk mewakili kepentingan pihak penggugat maupun pihak tergugat, harus merupakan surat kuasa khusus atau istimewa. Pasal 124 HIR yang  mengatur perihal gugur, berbunyi : “Jikalau si penggugat, walaupun dipanggil dengan patut, tidak menghadap PN pada hari yang ditentukan itu, dan tidak juga menyuruh seorang lain menghadap selaku wakilnya, maka gugatannya dipandang gugur dan si penggugat dihukum membayar biaya perkara, akan tetapi si penggugat berhak, sesudah membayar biaya yang tersebut, memasukan gugatannya sekali lagi”.
Verstek adalah pernyataan bahwa tidak hadirnya tergugat, meskipun menurut hukum acara ia harus datang. Verstek hanya dapat dinyatakan, apabila pihak tergugat kesemuanya tidak datang menghadap sidang pada sidang yang pertama, dan apabila perkara diundurkan sesuai pasal 126 HIR, juga pihak-pihak tergugat kesemuanya tidak datang menghadap lagi. Verzet adalah perlawanan tergugat atas putusan yang dijatuhkan secara verstek. Perlawanan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah dengan gugatan semula

B.     Saran
Demikianlah makalah yang dapat kami susun. Semoga dapat bermanfaat bagi kita semua, kami menyadari bahwa makalah ini bukanlah proses akhir, tetapi merupakan langkah awal yang masih banyak memerlukan perbaikan. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan tanggapan, saran dan kritik yang membangun demi sempurnanya makalah kami yang selanjutnya. Dan semoga kita bisa bersama-sama mempelajari materi ini dan selanjutnya.



DAFTAR PUSTAKA

Hutagalung Sophar Maru. Praktik Peradilan Perdata dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.Jakarta : Sinar Grafika.2012.

Sugeng Bambang. Pengantar Hukum Acara Perdata Dan Contoh Dokumen Litigasi. Jakarta : Kencana.2012.

Hutagalung Sophar Maru. Praktik Peradilan Perdata Teknis Menangani Perkara di Pengadilan.Jakarta : Sinar Grafika.2011.

Sutantio Retnowulan.Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek. Bandung:CV.mandar maju.2009.


[1] Sophar  maru hutagalung.praktik peradilan perdata dan alternatif penyelesaian sengketa.2012 (jakarta: Sinar Grafika). 96
[2]  Sophar  maru hutagalung. Praktik Peradilan Perdata teknis menangani perkara di pengadilan.2011. (Jakarta : Sinar Grafika). 44-48
[3] Retnowulan sutantio.Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek.2009 (Bandung:CV.mandar maju).22-24
[4] Bambang sugeng, Pengantar Hukum Acara Perdata & Contoh Dokumen Litigasi, 2012, (Jakarta: Kencana),32-40.
[5] Sophar  maru hutagalung.praktik peradilan perdata dan alternatif penyelesaian sengketa.2012.(Jakarta :  Sinar Grafika).136-140.

SEJARAH PERADABAN ISLAM PADA AWAL PERMULAAN ISLAM SAMPAI DENGAN KHULAFAURRASYIDIN

                                                                                     BAB I                                            ...